Bahtsul Masail

Suami Larang Isteri Kunjungi Orang Tuanya

Sen, 22 Februari 2016 | 17:02 WIB

Assalamu ‘alaikum wr. wb
Dalam kehidupan keluarga pasti ada persoalan. Beberapa bulan lalu hubungan antara suami saya dan pihak keluarga saya sempat menegang. Ketegangan akhirnya mereda. Yang menjadi persoalan selanjutnya suami saya melarang saya mengunjungi orang tua saya. Padahal orang tua saya sudah sepuh dan sering sakit-sakitan. Larangan ini amat memberatkan saya sebagai anak.

Di satu sisi saya harus taat kepada suami, tetapi di sisi lain saya juga sebagai anak yang jelas tidak ingin memutus tali silaturahmi. Yang ingin saya tanyakan, apakah boleh saya melanggar perintah suami dalam hal ini? Mohon penjelasannya. Saya ucapkan terima kasih. Wassalamu ‘alaikum wr. wb. (Bandung/Nama dirahasiakan)

Jawaban
Assalamu ‘alaikum wr. wb
Penanya yang budiman, semoga selalu dirahmati Allah swt. Bahwa dalam kehidupan berumah tangga tentu ada persoalan. Tetapi persoalan tersebut hendaknya mendewasakan kehidupan rumah tangga dan menambah keharmonisannya.

Persoalan yang ada memang sangat dilematis. Di satu sisi sebagai seorang istri harus menaati suami, namun di sisi lain pemutusan tali silaturahmi dengan keluarga juga merupakan masalah serius. Ini ibarat buah simalakama.

Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa suami boleh melarang istri untuk mengunjungi atau menjenguk kedua orang tuanya. Misalnya kita bisa melihat dalam keterangan dalam kitab Tuhfatul Habib ‘ala Syarhil Khathib yang ditulis oleh Sulaiman al-Bujairimi.

وَلِلزَّوْجِ مَنْعُ زَوْجَتِهِ مِنْ عِيَادَةِ أَبَوَيْهَا وَمِنْ شُهُودِ جِنَازَتِهِمَا وَجِنَازَةِ وَلَدِهَا وَالْأَوْلَى اَنْ لَا يَفْعَلَ

“Suami boleh melarang istrinya untuk menjenguk kedua orang tuanya, menyaksikan jenazah keduanya atau anaknya. Sedang yang lebih utama adalah ia (suami) tidak melakukan larangan tersebut,” (Lihat Sulaiman al-Bujairimi, Tuhfatul Habib ‘ala Syarhil Khathib, Bairut-Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet ke-1, 1417 H/1996 M, juz, IV, h. 253).

Namun ada pendapat ulama yang berkebalikan dengan pendapat di atas. Menurut Ibnu Nujaim (salah seorang ulama dari kalangan Madzhab Hanafi) cenderung membolehkan seorang istri menjenguk kedua orang tuanya meskipun tidak diizinkan suaminya. Dengan kata lain, apabila suami melarang istrinya untuk tidak mengunjungi kedua orang tuanya, dalam hal ini istri boleh tidak menaati permintaan suaminya.

Sebelum sampai pada simpulan tersebut Ibnu Nujaim mengetengahkan keterangan yang terdapat dalam kitab Fathul Qadir yang ditulis Kamal Ibnu Hamam. Dalam kitab tersebut dikatakan, seandainya bapaknya istri baik orang muslim maupun kafir mengalami sakit kronis dan membutuhkan bantuannya sementara suami melarang isterinya untuk menjenguk bapaknya, istri boleh membangkang larangan tersebut.

وَلَوْ كَانَ أَبُوهَا زَمِنًا مَثَلًا وَهُوَ يَحْتَاجُ إلَى خِدْمَتِهَا وَالزَّوْجُ يَمْنَعُهَا مِنْ تَعَاهُدِهِ عَلَيْهَا أَنْ تَعْصِيَهُ مُسْلِمًا كَانَ الْأَبُ أَوْ كَافِرًا ، كَذَا فِي فَتْحِ الْقَدِيرِ

“Umpamanya, jika bapak si istri menderita penyakit kronis dan membutuhkan bantuan perawatannya namun si suami melarang istrinya untuk menjenguknya, ia boleh membangkang larangan suaminya baik bapaknya muslim maupun nonmuslim. Demikian sebagaimana pendapat yang terdapat dalam kitab Fathul Qadir, (Lihat Zainuddin Ibnu Nujaim, al-Bahrur Ra`iq Syarhu Kanzid Daqa`iq, Beirut, Darul Ma’rifah, tt, juz, IV, h. 212).

Dari penjelasan Kamal Ibnu Hamam itu, Ibnu Nujaim menarik sebuah simpulan bahwa diperbolehkan bagi seorang istri keluar dari rumah untuk menjenguk kedua orang tua dan mahramnya. Pendapat sahih yang dijadikan fatwa adalah ia boleh keluar setiap hari Jumat untuk menjenguk kedua orang tua dan mahramnya dengan atau tanpa izin suami. Sedang selain itu ia harus meminta izin suami.

وَقَدْ اُسْتُفِيدَ مِمَّا ذَكَرْنَاهُ أَنَّ لَهَا الْخُرُوجَ إلَى زِيَارَةِ الْأَبَوَيْنِ وَالْمَحَارِمِ فَعَلَى الصَّحِيحِ الْمُفْتَى بِهِ تَخْرُجُ لِلْوَالِدَيْنِ فِي كُلِّ جُمُعَةٍ بِإِذْنِهِ وَبِغَيْرِ إذْنِهِ وَلِزِيَارَةِ الْمَحَارِمِ فِي كُلِّ سَنَةٍ مَرَّةً بِإِذْنِهِ وَبِغَيْرِ إذْنِهِ ، وَأَمَّا الْخُرُوجُ لِلْأَهْلِ زَائِدًا عَلَى ذَلِكَ فَلَهَا ذَلِكَ بِإِذْنِهِ

“Dari apa yang telah kami kemukakan, setidaknya kita dapat menarik simpulan bahwa istri boleh keluar rumah untuk menjenguk kedua orang tuanya dan keluarga yang lain (mahram). Maka menurut pendapat sahih yang difatwakan adalah kebolehan bagi istri untuk menjenguk kedua orang tuanya setiap hari Jumat baik dengan seizin suaminya atau tidak, dan kebolehan untuk mengunjungi mahramnya setahun sekali baik seizin suami atau tidak,” (Lihat Zainuddin Ibnu Nujaim, al-Bahrur Ra`iq Syarhu Kanzid Daqa`iq, juz, IV, h. 212).

Berangkat dari penjelasan di atas, setidaknya ada dua pendapat. Pertama, kebolehan suami melarang istri untuk menjenguk kedua orang tua. Konsekuensi dari pendapat ini adalah seorang istri tidak boleh menjenguk kedua orang tuanya tanpa seizin suami.

Kendati demikian, tidak selayaknya suami melarang istri untuk menjenguk kedua orang tuanya. Dalam pemahaman kami, kebolehan ini mesti dipertimbangkan sebab larangan ini jelas sama artinya memutus tali silaturahmi antara anak dan orang tuanya.

Kedua, diperbolehkan bagi istri menjeguk atau bersilaturahmi kepada kedua orang tuanya seminggu sekali meskipun suami melarangnya. Artinya, larangan suami dalam hal ini boleh dilanggar.

Kedua pendapat itu hemat kami tidak perlu dipertentangkan. Keduanya bisa dipertemukan dengan kata kunci ada atau tidak adanya mudharat.

Jadi, kebolehan suami melarang istri untuk mengunjungi orang tua mesti dipahami dalam konteks apabila mengunjunginya menimbulkan mudharat bagi istri. Karenanya larangan suami sudah semestinya dipatuhi.

Namun jika tidak mengandung mudharat, maka tidak ada alasan bagi suami melarang istri untuk menjenguk orang tuanya sehingga apabila suami melarang istri untuk menjenguk orang tuanya, ia boleh melanggar larangan tersebut. Sebab, tak ada alasan yang cukup memadai bagi suami untuk melarang istrinya.

Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Saran kami, perselisihan dalam sebuah keluarga hendaknya didiskusikan secara baik-baik. Dan kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq
Wassalamu’alaikum wr. wb



(Mahbub Ma’afi Ramdlan)