Hikmah

Cara Istana Kerajaan Persia Mendidik Calon Pemimpin Publik

Sel, 17 September 2019 | 08:00 WIB

Raja Kisra dari Dinasti Sassania (penguasa Persia 590-628 Masehi) memanggil seseorang cendekiawan ke istananya. Ia mengutus pengawal istana untuk menghadirkan cendekiawan yang dimaksud. Ia meminta guru cendekia itu untuk mengenalkan anaknya terhadap pelbagai cabang ilmu pengetahuan.

Guru cendekia menerima tugas mulia dari istana. Guru bijak dan cendekia itu menjalankan tugasnya sesuai permintaan Kisra. Selama bertahun-tahun sang guru menekuni tugasnya dengan totalitas.

Sampai pada giliran di mana muridnya telah mencapai puncak kematangan dalam ilmu pengetahuan dan akhlaknya, sang guru memintanya untuk berdiri di hadapannya. Tak terpikirkan apa yang akan dilakukan sang guru karena ketidaklazimannya. Guru bijak cendekia itu kemudian tanpa diduga memukul murid kesayangannya tersebut.

Atas insiden itu, sang murid putra mahkota ini menyimpan dengan rapi dendam sampai gurunya menginjak lansia. Ia tidak terima atas perlakuan sang guru. Ia merahasiakan peristiwa dan dendamnya dari siapa pun termasuk orang tua dan gurunya sendiri.

Waktu terus berjalan. Aktivitas kerajaan tetap berjalan seperti biasa, rutin dan membosankan. Sama halnya dengan aktivitas pembelajaran sang guru dan sang putra mahkota.

Suatu ketika sang ayah wafat. Sang anak putra mahkota pun naik takhta kerajaan yang dikenal dunia sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan peradaban. Ia menggantikan posisi ayahnya yang mangkat. Ia segera menjalankan pemerintahan atas Persia sesuai dengan bekal ilmu pengetahuan dan sejarah kekuasaan yang diketahuinya.

Roda pemerintahan terus berjalan. Aktivitas ekonomi masyarakat pun terus bergerak. Pembangunan infrastruktur juga terus berlangsung. Pengembangan ilmu pengetahuan dan SDM masyarakat Persia tetap berlangsung tanpa kurang sesuatu apa.

Walhasil selama beberapa tahun, semua berjalan sebagaimana biasa hingga pada suatu saat sang raja teringat pada perlakuan gurunya di waktu lampau yang menyisakan dendam. Ia kemudian mengambil kesempatan untuk membalas dendamnya. Ia tanpa peduli meminta pengawal kerajaan untuk mencari gurunya yang kini sudah renta. Hal ini dilakukan demi menuntut keadilan atas kezaliman sang guru.

Di hadapan sang raja, sang guru membungkuk hormat dan memberi salam.

“Wahai tuan guru, aku sangat menghormatimu atas segala jenis pengetahuan yang pernah kaukenalkan kepadaku.” kata raja membuka percakapan kepada gurunya yang berusia sangat lanjut.

Sang guru masih mendengarkan raja yang dulu adalah murid kesayangannya. Ia menunggu lanjutan dari ucapan sang raja.

“Tetapi kau tentu masih ingat bukan pada suatu hari di mana kau memukulku agak sakit tanpa sebab dan kesalahan yang kubuat? Aku ingin menuntut keadilan atas kezaliman tersebut,” kata sang murid dengan tekanan datar.

Pertanyaan sang raja di luar dugaan. Pertanyaan sekaligus tuntutan muridnya itu seakan petir yang menyambar di siang hari. Ia mengingat benar peristiwa tersebut. Ia sadar benar bahwa penuntut keadilan yang dihadapinya bukan murid kesayangannya dulu, tetapi penguasa Persia yang sedang menjabat. Namun demikian, sang guru dapat mengendalikan diri. Ia memahami tujuan dari pemukulan secara sengaja yang cukup sakit kepada muridnya ketika itu. Sementara sang raja dan para pembesar istana menunggu dengan seksama jawaban yang keluar dari mulut sang guru.

“Ketahuilah wahai paduka, ketika kau mencapai kematangan, derajat, dan adab setinggi ini, aku sadar bahwa kau akan menggantikan kursi ayahmu. Aku ingin kau merasakan pukulan dan sakitnya kezaliman ketika itu sehingga kelak kau tidak melakukan pemukulan dan kezaliman kepada rakyatmu,” jawab sang guru.

Sang raja yang bijak, terdidik, dan memiliki standar peradaban yang tinggi sangat mudah menerima penjelasan pesakitan di hadapannya. Ia terpukau dan terpesona pada jawaban bijak sang guru. Baginya, jawaban sang guru mengandung kekuatan ghaib luar biasa. Ia kemudian bangun dari kursi dan memeluk gurunya yang sudah sangat lanjut usia. Ia berterima kasih kepada sang guru atas peringatan dan pelajaran berharga tersebut karena selama ini tidak ada yang berani mengingatkan sang raja.

“Semoga Allah membalas baik budi tuan guru,” kata penguasa Persia menitikkan air mata.

Sang raja kemudian meminta pengawal istana untuk mengantar kembali pulang gurunya. Sebagai bentuk terima kasih, sang raja juga memberikan hadiah kepada gurunya.

*

Kisah ini diangkat kembali oleh Syekh M Nawawi Al-Bantani, Bahjatul Wasail bi Syarhi Masail, [Semarang, Thaha Putra: tanpa tahun], halaman 38. Syekh M Nawawi Al-Bantani mengutip riwayat ini dari kitab Az-Zawajir ‘an Iqtirafil Kaba’ir karya Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami.

Adapun Kisra adalah sebutan pada khazanah Islam yang dalam sejarah merujuk pada penguasa Persia yang dikenal dengan sebutan Khosrau II, Kisra II, atau Chosroes II. Sejarah klasik Persia menyebutnya dengan julukan Parvez atau "Yang Selalu Berjaya."

Raja Kisra merupakan seorang kaisar kedua puluh dua Dinasti Sassania. Penguasa ini memerintah Persia sekira tahun 590-628 Masehi. Raja Kisra tidak lain putra dari Raja Hormizd IV (penguasa Persia 579-590 Masehi) dan cucu dari Raja Khosrau I (penguasa Persia 531-579 Masehi).

Raja Kisra dari Persia pernah dikirimi surat oleh Nabi Muhammad saw. Melalui Abdullah As-Sahmi sebagai utusan, Nabi Muhammad SAW menawarkan Raja Kisra untuk memeluk agama Islam.
 
Penulis: Alhafiz Kurniawan 
Editor: Muchlishon