Hikmah

Frugal Living sebagai Kritik Sosial dalam Islam

Kamis, 28 November 2024 | 21:00 WIB

Frugal Living sebagai Kritik Sosial dalam Islam

Ilustrasi Frugal Living. Sumber: Canva/NU Online

Polemik kenaikan pajak sebesar 12% sontak mengundang keresahan seluruh lapisan masyarakat. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mengumumkan kenaikan 1 persen ini mulai Januari 2025.

 

Melalui pernyataannya, Dwi Astuti selaku Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (DJP) Kemenkeu menjelaskan bahwa tidak semua barang akan dikenakan PPN. Begitu pula beliau mencoba menegaskan bahwa hasil pajak tersebut juga akan kembali ke masyarakat.


Meski begitu, hal ini tak mengubah sikap antipati dari masyarakat. Terutama bagi yang paling dirugikan, yakni masyarakat kelas menengah. Mereka harus selalu bersiap untuk mengencangkan ikat pinggang dan menghadapi penurunan kualitas hidup. Karena sudah pasti terdapat penurunan upah, sedangkan beberapa barang atau kebutuhan hidup akan mengalami kenaikan harga. 


Efeknya, masyarakat akan mengalami penurunan pendapatan, yang pada gilirannya dapat mendorong semakin maraknya praktik pinjaman atau hutang. Kondisi ini memicu berbagai respons dari masyarakat, salah satunya adalah penerapan gaya hidup hemat atau frugal living, yang semakin populer di beberapa platform media sosial. Bagaimana gaya frugal living ini berperan dalam merespons permasalahan tersebut?


Penerapan Frugal Living saat Kenaikan PPN 

Frugal living adalah seni mengelola keuangan dengan membuat pilihan-pilihan bijak dalam pemenuhan kebutuhan hidup dengan batasan tertentu. Konsep ini menekankan penggunaan sumber daya secara ekonomis, sebagaimana dijelaskan oleh Deborah dalam Frugal Living For Dummies. Namun, dalam konteks kenaikan pajak, frugal living menjadi respons masyarakat untuk mengurangi dampak negatif dari kebijakan tersebut.


Tujuan frugal living yang semula untuk membatasi pengeluaran yang didorong oleh keinginan kini bergeser menjadi ajakan menanggapi kenaikan pajak. Selain itu, gaya hidup hemat ini juga berfungsi untuk mengurangi konsumsi rumah tangga, yang merupakan kontributor utama terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rumah tangga memberikan kontribusi sebesar 4,95 persen terhadap pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2024.


Seruan frugal living kini mendapatkan sambutan luas di media sosial sebagai cara yang lebih tenang untuk menanggapi kenaikan pajak. Jika ajakan untuk mengurangi pengeluaran ini dilakukan secara massal dan terorganisir, dampaknya bisa melemahkan daya beli masyarakat dan menurunkan kinerja dunia usaha.


Frugal living, atau gaya hidup hemat, memang memiliki kelebihan dan kekurangan dalam penerapannya, yang dampaknya terasa baik pada individu maupun perekonomian negara.


Bagi individu, gaya hidup hemat jelas memberikan manfaat, seperti mengurangi konsumsi berlebihan dan menghindari pemborosan. Ini juga membantu mengatasi FOMO (fear of missing out), sehingga seseorang bisa lebih fokus pada kenyamanan dan kebutuhan pribadi.


Bagi negara, penerapan frugal living dapat mengurangi limbah berlebihan, terutama yang berasal dari kemasan produk yang tidak dapat terurai. Akibatnya, pencemaran lingkungan berkurang, dan kualitas tanah serta udara pun membaik.


Namun di sisi lain, bagi beberapa individu, gaya hidup ini bisa membatasi interaksi sosial. Misalnya, mereka mungkin merasa terasing karena memilih untuk tidak menghabiskan uang di tempat makan atau kegiatan sosial lainnya.


Bagi negara, dampak negatif utama adalah penurunan penerimaan pajak, karena pengurangan konsumsi rumah tangga akan mengurangi basis pajak. Ini bisa menghambat pendanaan program-program pemerintah dan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi.


Namun, seruan untuk menerapkan gaya hidup hemat ini seharusnya tidak dipandang sebagai pemberontakan, melainkan sebagai bentuk reaksi sosial yang memberikan kritik konstruktif kepada pembuat kebijakan. Islam pun mengajarkan bahwa kritik yang baik, terutama terhadap pemimpin, adalah bagian dari amar ma’ruf nahi munkar, yang bertujuan untuk perbaikan. Sebagaimana mengutip fatwa Darul Ifta Jordan:


اَلنَّقْدُ فِي الْأَصْلِ تَقْدِيْمُ النُّصْحِ وَالْمُلَاحَظَاتِ بَعْدَ النَّظَرِ وَالتَّمْحِيْصِ. وَهُوَ أَمْرٌ مَشْرُوْعٌ فِي الْاِسْلَامِ، بَلْ اِنَّهُ مَطْلُوْبٌ، وَهُوَ مِنْ صُوَرِ الْأَمْرِ بِالْمَعْرُوْفِ وَالنَّهْيِ عَنِ الْمُنْكَرِ


Artinya, “Kritik pada dasarnya adalah memberikan nasihat dan komentar setelah adanya pertimbangan dan observasi. Kritik merupakan perbuatan yang disyariatkan dalam Islam, bahkan dianjurkan. Kritik juga menjadi bagian dari amar makruf dan nahi mungkar.” (Tim Fatwa, Darul Ifta Jordan, nomor fatwa: 3725, tanggal fatwa: 08-09-2022).


Selain sebagai bentuk reaksi sosial, ajakan frugal living juga bisa menjadi strategi untuk mengelola dinamika ekonomi jika kenaikan pajak benar-benar diterapkan. Gaya hidup ini bukan soal menjadi pelit atau irit, tetapi lebih pada mengelola kebutuhan dengan bijak, bukan sekadar memenuhi keinginan.


Namun, sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama kelas menengah ke bawah, berharap pemerintah mempertimbangkan kembali keputusan ini. Harapan tersebut tercermin dalam demonstrasi frugal living yang ramai di media sosial sebagai bentuk protes dan pengaruh terhadap kebijakan yang diambil.


Ustadzah Sayyida Naila Nabila, Pegiat Kajian Keislaman