Tasawuf/Akhlak

Frugal Living menurut Ajaran Islam

Ahad, 18 Februari 2024 | 15:00 WIB

Frugal Living menurut Ajaran Islam

Ilustrasi Frugal Living. (Foto: NU Online/Freepik)

Frugal living atau gaya hidup hemat yang mengedepankan kebijaksanaan dalam penggunaan uang, semakin populer di berbagai kalangan, terutama generasi muda. Fenomena ini terlihat dari maraknya konten-konten di media sosial yang membahas tips-tips hidup hemat, DIY (Do It Yourself), dan memanfaatkan barang bekas.

 

Deborah Taylor-Hough dalam buku Frugal Living for Dummies [Indianapolis; Willey Publishing, Inc, 2003] menjelaskan bahwa konsep frugal living adalah tentang membuat pilihan-pilihan penting untuk hidup sesuai dengan kemampuan keuangan Anda. Hidup hemat bukan berarti pelit atau hidup kekurangan. Justru, ini tentang membuat pilihan cerdas agar hidup sesuai kemampuan dan terhindar dari jeratan hutang. Konsep ini pada dasarnya adalah bijak dan cermat dalam menggunakan sumber daya yang kita miliki.

 

Dengan demikian frugal living bukan tentang pelit atau kekurangan, melainkan tentang kesadaran dan kontrol terhadap pengeluaran. Orang yang menerapkan gaya hidup ini bukan berarti tidak mampu membeli barang-barang yang diinginkan, tetapi mereka lebih memilih untuk mengalokasikan uangnya dengan bijak untuk hal-hal yang benar-benar penting.

 

Frugal Living dalam Islam

Di era konsumerisme yang merajalela, konsep frugal living atau hidup hemat kian diminati. Lebih dari sekadar tren, ternyata prinsip ini selaras dengan ajaran Islam, yang senantiasa mendorong umatnya hidup sederhana dan mensyukuri nikmat Allah SWT. Mari kita telusuri bagaimana Islam memandang dan memaknai frugal living.

 

Islam dengan tegas melarang pemborosan dan kemewahan yang berlebihan, seperti yang digariskan dalam Al-Qur'an. Larangan ini bukan semata-mata untuk membatasi kesenangan hidup, melainkan untuk mendorong umat Muslim menjadi pengelola harta yang bijak dan bertanggung jawab. 

 

Dalam Al-Qur'an, secara jelas Allah berfirman surah Al-Isra ayat 26-27, terkait larangan boros dan berlebih-lebihan dalam hidup. Allah berfirman:

 

وَاٰتِ ذَا الْقُرْبٰى حَقَّهٗ وَالْمِسْكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِ وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيْرًا [26] اِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَانُوْٓا اِخْوَانَ الشَّيٰطِيْنِ ۗوَكَانَ الشَّيْطٰنُ لِرَبِّهٖ كَفُوْرًا [27]

 

Artinya: “Berikanlah kepada kerabat dekat haknya, (juga kepada) orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan. Janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. [26]. Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya. [27]”.

 

Makki bin Abi Thalib dalam Kitab al-Hidayah ila Bulugh an-Nihayah, menjelaskan bahwa ayat di atas menjelaskan larangan bagi umat Islam untuk menghamburkan harta kekayaan yang Allah berikan untuk bermaksiat kepada-Nya. Lebih lanjut, ayat ini menekankan pentingnya menggunakan harta dengan bijak dan bertanggung jawab, serta menghindari perilaku boros dan berlebihan.

 

Sejatinya sikap pemborosan adalah berlebih-lebihan dalam berfoya-foya dan membelanjakan harta untuk sesuatu yang tidak benar. Hal ini dapat berupa membeli barang-barang yang tidak dibutuhkan, menghabiskan uang untuk kesenangan semata, atau berjudi. Simak penjelasan berikut:

 

أي: لا تمحق ما أعطاك الله [عز وجل] من مال في معصيته، وأصل التبذير التفريق في السرف. قال ابن مسعود: التبذير: الإسراف في الإنفاق في غير حق. وهو قول ابن عباس وقتادة

 

Artinya: “Janganlah kamu hamburkan apa yang Allah berikan kepadamu [Yang Maha Perkasa dan Maha Agung] dari harta kekayaan dengan bermaksiat kepada-Nya. Dan asal mula pemborosan adalah berlebih-lebihan dalam berfoya-foya. Ibnu Mas'ud berkata: Pemborosan adalah berlebih-lebihan dalam membelanjakan harta untuk sesuatu yang tidak benar. Itulah yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Qatadah.” [Makki bin Abi Thalib, al-Hidayah ila Bulugh an-Nihayah, Jilid VI, halaman 4183].

 

Sementara itu, Profesor Quraish Shihab, dalam Tafsir Al-Misbah, menjelaskan bahwa ayat ini melarang kita untuk memboroskan harta. Maksudnya, membelanjakan harta untuk hal-hal yang tidak perlu dan tidak bermanfaat. Perilaku ini diibaratkan seperti sifat setan, yang selalu ingkar kepada Tuhannya. Jadi, orang yang boros bisa dikatakan "saudaranya setan" karena mereka memiliki sifat yang sama, yaitu tidak bijak dalam menggunakan harta dan jauh dari ketaatan kepada Tuhan. (Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah [Ciputat, Lentera Hati: 2002], Jilid VII, halaman 452)

 

Lebih lanjut "tabdzir" atau pemborosan dipahami oleh ulama dalam arti pengeluaran yang bukan hak, karena itu jika seseorang menafkahkan/membelanjakan semua hartanya dalam kebaikan atau hak, maka ia bukanlah seorang pemboros. Misalnya, Sayyidina Abu Bakar ra. menyerahkan semua hartanya kepada Nabi Saw dalam rangka berjihad di jalan Allah. Sedangkan Sayyidina Utsman membelanjakan separuh hartanya. Nafkah mereka diterima Rasulullah Saw dan beliau tidak menilai mereka sebagai para pemboros. 

 

Sebaliknya, tindakan seperti mencuci wajah lebih dari tiga kali saat berwudhu dianggap pemborosan, meskipun dalam situasi tersebut seseorang berwudhu dari aliran sungai. Ini menunjukkan bahwa pemborosan lebih berkaitan dengan cara pengeluaran dari pada jumlah yang dikeluarkan. Jika demikian, pemborosan lebih banyak berkaitan dengan tempat bukannya dengan kuantitas. (Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jilid VII, halaman 452).

 

Zuhud dengan Minimalis

Zuhud adalah sebuah konsep dalam Islam yang mengacu pada sikap sederhana dan tidak terlalu terikat pada materi dunia. Hal ini sering kali mencakup pengurangan keinginan akan barang-barang duniawi dan menghindari perilaku konsumtif yang berlebihan. Konsep zuhud menekankan pentingnya fokus pada kebutuhan dasar dan kebutuhan spiritual daripada terbuai oleh keinginan materi.

 

Zuhud pada dasarnya adalah gaya hidup yang minimalis, yang menghindari tergoda oleh kekayaan dunia dan tidak dikuasai oleh hawa nafsu. Lebih lanjut, gaya hidup minimalis dalam era modern ini berarti membeli hanya barang-barang yang benar-benar diperlukan, bukan barang-barang yang diinginkan semata. Karena membeli barang sesuai keinginan seringkali hanya menghasilkan kerugian dengan barang yang tidak terpakai.

 

Dalam konteks frugal living, prinsip zuhud dapat sejalan dengan prinsip hidup hemat, di mana seseorang mengurangi pengeluaran untuk barang-barang yang tidak penting dan berfokus pada kebutuhan yang lebih esensial. Dengan demikian, mengadopsi sikap zuhud dapat membantu seseorang dalam menjalani gaya hidup yang lebih hemat dan sederhana, yang merupakan salah satu aspek dari frugal living.

 

Islam telah lama mengajarkan prinsip kesederhanaan ini. Dalam Al-Qur'an, Allah menegaskan larangan terhadap perilaku berlebihan dalam konsumsi makanan, barang, dan minuman, karena perilaku berlebihan ini dianggap sebagai kesalahan yang mirip dengan tindakan setan.

 

Lebih dari itu, sikap minimalis, sederhana, dan zuhud ini mampu mencegah manusia dari kecenderungan tamak dan serakah. Karena pada akhirnya, sumber dari sikap tamak dan serakah itu berasal dari perut, yang jika tidak dikendalikan dapat membawa manusia ke kehancuran dan kerusakan. Singkatnya, zuhud adalah benteng yang melindungi manusia dari ambisi yang berlebihan dan perilaku serakah yang berpotensi merugikan.

 

Abdul Karim al-Qusyairi dalam kitab Risalah al-Qusyairiyah mengatakan Zuhud bukan berarti meninggalkan semua hal-hal duniawi. Zuhud adalah tentang hidup dengan cukup dan bersyukur atas apa yang Allah berikan. Simak penjelasan berikut; 

 

 وَمِنْهُم من قَالَ: ينبغي للعبد أَن لا يختار ترك الحلال بتكلفه ولا طلب الفضول مِمَّا لا يحتاج إِلَيْهِ ويراعى القسمة فَإِن رزقه اللَّه سبحانه وتعالى مالا من حلال شكره وإن وقفه اللَّه تَعَالَى عَلَى حد الكفاية لَمْ يتكلم فِي طلب مَا هُوَ فضول المال، فالصبر أَحْسَن بصاحب الفقر والشكر أليق بصاحب المال الحلال وتكلموا فِي معنى الزهد فَكُل نطق عَن وقته وأشار إِلَى حده

 

Artinya: “Dan di antara mereka ada yang berkata, seorang hamba tidak boleh memilih untuk meninggalkan yang halal dengan bersusah payah dan tidak pula mencari hal-hal yang berlebihan yang tidak ia butuhkan. Ia harus memperhatikan pembagian rezeki. Jika Allah SWT memberinya harta yang halal, maka ia bersyukur.”

 

Dan jika Allah memberinya cukup untuk kebutuhannya, maka ia tidak perlu berbicara tentang mencari harta yang berlebihan. Kesabaran adalah yang terbaik bagi orang yang fakir dan syukur adalah yang paling pantas bagi orang yang memiliki harta halal. Mereka berbicara tentang makna zuhud, dan setiap perkataan sesuai dengan waktunya dan menunjukkan batasnya.” [Abdul Karim al-Qusyairi, Kitab Risalah al-Qusyairiyah , [Kairo: Dar Maarif, tt], Jilid I, halaman 240]

 

Zuhud bukan berarti meninggalkan semua hal-hal duniawi. Sebaliknya, konsep zuhud mengajarkan kita untuk hidup dengan sikap yang sederhana dan rendah hati dalam menghadapi segala nikmat dan ujian yang diberikan oleh Allah . Ketika seseorang mempraktikkan zuhud, ia mengutamakan kepuasan batin dan hubungannya dengan Allah daripada sekadar mengejar kesenangan materi yang fana. Dengan demikian, zuhud bukanlah tentang menghindari dunia, tetapi tentang cara kita memandang dan memperlakukan dunia ini.

 

Zuhud adalah tentang hidup dengan cukup dan bersyukur atas apa yang Allah berikan. Ini berarti bahwa seseorang tidak terjerat dalam ambisi dan keinginan yang tidak terbatas untuk memiliki lebih banyak harta atau kekuasaan. 

 

Sebaliknya, seseorang yang berzuhud akan merasa puas dengan apa yang dimilikinya dan bersyukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah, baik itu berupa kekayaan, kesehatan, atau hubungan sosial. Dengan bersyukur, seseorang akan mampu melihat keajaiban dan keindahan dalam setiap detail kehidupan sehari-hari.

 

Dalam praktiknya, zuhud mengajarkan kita untuk mempertimbangkan setiap tindakan dan pilihan kita dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang yang berzuhud akan berpikir dua kali sebelum menghabiskan uang secara berlebihan atau mengejar kesenangan duniawi yang sementara. Mereka akan lebih memperhatikan kebutuhan spiritual dan moral mereka daripada sekadar memenuhi keinginan materi. 

 

Dengan demikian, zuhud mengajarkan kita untuk hidup dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab terhadap segala yang kita miliki. Pun menerapkan konsep zuhud dalam kehidupan sehari-hari, seseorang dapat mencapai kedamaian dan kebahagiaan yang sejati. Tak kalah penting, zuhud mengajarkan kita untuk memandang dunia ini sebagai sementara dan untuk menempatkan prioritas kita pada pencapaian kebahagiaan abadi di akhirat.

 

Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat Kajian Keislaman tinggal di Ciputat.