Hikmah

Gempa, Tsunami, dan Likuifaksi dalam Catatan Sejarah Ulama Terdahulu

Sel, 16 Oktober 2018 | 02:00 WIB

Gempa, Tsunami, dan Likuifaksi dalam Catatan Sejarah Ulama Terdahulu

Ilustrasi (via peepic.com)

Fenomena gempa bumi, tsunami dan likuifaksi (pencairan tanah) adalah musibah mengerikan yang dapat menghancurkan sebuah peradaban dalam sekejap. Beberapa saat lalu, tiga hal ini terjadi di Indonesia. Lombok dihantam gempa sebanyak 1.973 sejak akhir Juli hingga akhir Agustus 2018. Beberapa dari rentetan gempa itu berkekuatan besar hingga menelan banyak korban.

Tak lama kemudian, pada tanggal 28 September lalu Palu dihantam gempa berkekuatan 7,4 pada skala richter. Gempa ini menyebabkan likuifaksi yang mengakibatkan area tanah yang sangat luas di daerah Petobo seolah menjadi ombak yang melahap semua hal di atasnya dan membuat sebagian area bergeser sejauh beberapa kilometer dari tempatnya semula.

Kejadian mengerikan itu menimbulkan beberapa interpretasi dari umat Islam, sebagian melihat itu sebagai azab Allah bagi daerah tersebut dan sebagian lagi melihatnya sebagai musibah yang menuntut adanya empati dari seluruh elemen bangsa tanpa menarik kesimpulan terlalu jauh hingga ke ranah ghaib yang hanya Allah yang tahu.

Dalam hal ini, sebenarnya kita bisa melihat bagaimana reportase para ulama besar Islam seperti Imam as-Suyuthi )911 H), Ibnu Katsir (774 H) dan Ibnu al-Jauzi (597 H) terhadap fenomena gempa, tsunami dan likuifaksi yang terjadi dalam sejarah kaum muslimin. Berikut ini adalah reportase mereka:

Imam Jalaluddin as-Suyuthi melaporkan bahwa kota Ramallah (Palestina) pernah digoncang gempa hebat yang diikuti gelombang tsunami yang sangat besar sebab air laut surut sepanjang beberapa puluh kilometer (perkiraan sehari perjalanan pada masa itu).

وفي سنة ستين كانت بالرملة الزلزلة الهائلة التي خربتها حتى طلع الماء من رءوس الآبار، وهلك من أهلها خمسة وعشرون ألفًا، وأبعد البحر عن ساحله مسيرة يوم، فنزل الناس إلى أرضه يلتقطون السمك، فرجع الماء عليهم فأهلكهم.

“Pada tahun 460 H, terjadi sebuah gempa besar di Ramallah hingga membuat Ramlah hancur lebur. Gempa itu telah membuat air menyembur dari pinggiran sumur. Jumlah korban yang meninggal akibat gempa itu adalah dua puluh lima ribu jiwa. Gempa itu juga telah membuat air surut dari garis pantai sejauh sehari perjalanan. Orang-orang kemudian turun ke dasar laut untuk menangkap ikan yang terdampar, kemudian air kembali pasang dan mencelakakan mereka.” (Jalaluddin as-Suyuthi, Târîkh al-Khulafâ’, halaman 300)

Ibnu Katsir dalam al-Bidâyah wan-Nihâyah juga merekam kejadian tersebut dengan menukil catatan Ibnu al-Jauzi. Dia menyebutkan bahwa gempa Ramallah di Palestina itu juga mengguncang Madinah dan terasa hingga daerah Rahbah (sekarang Abu Dhabi) dan kota Kufah di Irak. Menurut Ibnu Katsir, gempa dahsyat yang diiringi tsunami itu menyebabkan di kota Ramallah hanya tersisa dua rumah saja (Ibnu Katsir, al-Bidâyah wan-Nihâyah, juz XII, halaman 96). 

Adapun reportase tentang fenomena gempa yang diiringi tsunami dan likuifaksi dicatat oleh as-Suyuthi terjadi di daerah Ray, Iran, pada tahun 364 H atau 1858 M. Musibah besar ini dilaporkan sebagai berikut:

وفي سنة ست وأربعين نقص البحر ثمانين ذراعًا، وظهر فيه جبال وجزائر وأشياء لم تعهد، وكان بالري ونواحيها زلازل عظيمة، وخسف ببلد الطالقان، ولم يفلت من أهلها إلا نحو ثلاثين رجلًا، وخسف بمائة وخمسين قرية من قرى الري، واتصل الأمر إلى حلوان فخسف بأكثرها، وقذفت الأرض عظام الموتى، وتفجرت منها المياه، وتقطع بالري جبل، وعلقت قرية بين السماء والأرض بمن فيها نصف النهار، ثم خسف بها وانخرقت الأرض خروقًا عظيمة، وخرج منها مياه منتنة ودخان عظيم، هكذا نقل ابن الجوزي.

“Pada tahun 346 H, air laut menyusut serendah 80 dhira' (40 m). Pada saat itu muncul bukit-bukit dan pulau-pulau, serta hal-hal lain yang sebelumnya belum pernah terjadi. Sementara itu, di Ray dan sekitarnya terjadi gempa yang dahsyat. Dan negeri Thaliqan tenggelam, hanya 30 orang laki-laki saja yang selamat. Sebanyak 150 desa di Ray roboh. Gempa ini merambat hingga ke Helwan sehingga hampir merobohkan sebagian besar desa-desa tersebut. Sementara itu, bumi memuntahkan tulang-belulang mayat, menyemburkan air, sebuah bukit di Ray luluh-lantak, dan sebuah desa beserta penduduknya bergelantung selama setengah hari. Kemudian, desa itu ambles sangat dalam, lalu keluarlah air berbau busuk dan kepulan asap besar. Demikian ini dinukil dari Ibnul Jauzi.” (Jalaluddin as-Suyuthi, Târîkh al-Khulafâ’, halaman 287).

Yang menarik dari semua reportase para ulama ahli tafsir, hadits dan sejarah tersebut, tak satu pun ditemukan pernyataan mereka yang menghubungkan bencana alam dahsyat itu dengan azab bagi penduduk Ramallah di Palestina atau penduduk Ray di Iran. Mereka hanya menyebutkan bagaimana bencana itu terjadi dan dampak kerusakannya dan mencukupkan diri dengan reportase hal itu saja tanpa menarik kesimpulan yang di luar ranah manusia. 

Dari segi teologis, memang ada kemungkinan bahwa sebuah bencana alam diturunkan Allah sebagai azab, sebagaimana disebutkan dalam banyak ayat dan hadits, tapi kita tak bisa memastikan hal itu sebab itu adalah ranah ghaib.  Kemungkinan bahwa bencana itu terjadi sebagai ujian bagi orang beriman dan penghapus dosa bagi kaum muslimin secara umum juga terbuka lebar. Sebab itu, alangkah baiknya bila kita mengedepankan introspeksi dan tobat bila suatu bencana menimpa kita, sebagaimana dilakukan oleh Umar bin Khattab tatkala terjadi gempa di masa kekhalifahannya. Namun, bila sebuah bencana menimpa orang lain, maka cukuplah bagi kita melaporkan kejadian lahiriahnya saja tanpa menarik kesimpulan yang harus kita pertanggungjawabkan di akhirat, seperti yang dilakukan para ulama di atas. Wallahu a'lam.


Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti di Aswaja Center Jember.