Dalam kitab Siyâr A’lâm al-Nubalâ’, Imam al-Dzahabi memasukkan riwayat tentang Imam Ahmad bin Hanbal dan seseorang yang meminta doa kepadanya. Berikut riwayatnya:
قال عباس بن الدّوري: حدثنا علي بن أبي فزَارَة جار لنا، قال: كانت أمي مقعدة نحو عشرين سنة، فقالت لي يوماً: اذهب إلى أحمد بن حنبل فسَأَلْه أن يدعوَ لي، فأتيتُ فدققت عليه وهو في دهليزه فقال: من هذا؟ قلت: رجل سألتني أمي وهي مقعدةٌ أن أسألك الدعاء، فسمعت كلامه كلام رجل مغضب، فقال: نحن أحوج أن تدعو الله لنا. فولّيت منصرفاً، فخرجت عجوز، فقالت: قد تركته يدعو لها. فجئت إلى بيتنا فدققت الباب فخرجت أمي على رجليها تمشي
Abbas bin (Muhammad) al-Dauri berkata: Diceritakan oleh Ali bin Abi Fazarah, tetangga kami, ia bercerita:
“Ibuku (sakit) lumpuh sekitar dua puluh tahun lamanya. Suatu hari ia berkata padaku: ‘Pergilah ke (rumah) Ahmad bin Hanbal. Mintalah ia mendoakanku.’ Aku pun mendatangi (rumah Ahmad bin Hanbal), kuketuk (pintu rumah)nya, ternyata ia berada di halaman depan (rumah)nya. Ia bertanya: ‘Siapa ini?’
Aku menjawab: ‘(Aku) orang yang disuruh ibuku yang lumpuh untuk memintamu mendoakannya.’ Kemudian aku mendengar nada bicara orang marah dengan mengatakan: ‘Kami lebih butuh doamu.’ Maka aku pun pergi. Tiba-tiba seorang wanita tua keluar dan berkata: ‘Setelah kau pergi, Ahmad bin Hanbal berdoa untuk ibumu.’
(Ketika) sampai di rumah, aku mengetuk pintu, ibuku berjalan keluar dengan kakinya sendiri.” (Imam al-Dzahabi, Siyâr A’lâm al-Nubalâ’, Beirut: Muassasah al-Risalah, 1985, juz 11, h. 211-212)
****
Kita sering mendengar atau membaca cerita tentang keampuhan doa orang-orang terdahulu. Sebagian orang tidak mempercayai kisah-kisah tersebut; sebagian lainnya sangat mempercayai. Ya, silahkan saja. Di sini kita tidak akan membahas soal “percaya” atau “tidak percaya”. Kita hanya akan membahas tentang “kenapa Imam Ahmad bin Hanbal bersikap seperti itu?”
Ada beberapa sudut pandang yang perlu kita renungkan tentang itu. Kita akan membahasnya satu persatu. Pertama, sebagai bentuk tawadhu’, dan kedua, sebagai bentuk pendidikan. Mari kita uraikan bersama.
Uraiannya begini. Pertama, sebagai bentuk tawadhu’. Dalam kisah di atas, jika kita renungi dalam-dalam kemarahan Imam Ahmad tampaknya karena ia tidak ingin terjebak dalam pujian. Sebab, “anggapan” orang tentang kedudukan seseorang di sisi Tuhannya adalah pujian yang paling berbahaya. Bisa menyebabkan lahirnya perasaan “merasa lebih mulia” dari lainnya. Perasaan yang sama dengan Iblis ketika menentang perintah Allah untuk bersujud kepada Nabi Adam. Dengan penuh kebanggaan, Iblis menjawab (QS. Al-A’raf: 12): “Anâ khairum minhu, khalaqtanî min nâr wa khalaqtahu min thîn—aku lebih baik darinya (Adam), Kau ciptakan aku dari api, sedangkan dia Kau ciptakan dari tanah.” Perasaan itulah yang membuatnya terlempar dari surga, karena dia mengira “api” lebih mulia dari “tanah” meski Tuhan tidak pernah mengatakannya, dia mengasumsikan itu sendiri, karena kesombongannya.
Berbeda dengan Nabi Adam As ketika ia berbuat salah (memakan buah khuldi), ia bergegas memohon ampunanNya, menyesali perbuatannya, menzalimkan dirinya sendiri, dan bersimpuh karena perasaan bersalahnya. Nabi Adam tahu, ia tidak lebih mulia dari siapapun; ia tidak lebih baik dari siapapun. Inilah pentingnya merasakan diri sebagai hamba yang kotor dan penuh dosa, agar ketawadhu’an bisa terus hidup di hati kita.
Kedua, sebagai bentuk pendidikan. Maksudnya, sesaleh apapun manusia, jangan anggap mereka tidak butuh doa. Mereka tetap membutuhkan doa dari sesamanya. Karena itu, Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan: “Kami lebih butuh doamu.” Perkataan tersebut dapat dipahami dalam dua hal; 1) Sepintar dan sesaleh apapun manusia, mereka tetap membutuhkan doa. Kebanyakan manusia enggan mendoakan orang yang dianggapnya saleh karena merasa tidak pantas. Imam Ahmad ingin meluruskan hal ini. 2) Bahwa doa orang sakit memiliki keampuhan seperti malaikat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (HR. Imam Ibnu Majah dari Sayyidina Umar bin Khattab):
إِذَا دَخَلْتَ عَلَى مَرِيضٍ، فَمُرْهُ فَلْيَدْعُ لَكَ فَإِنَّ دُعَاءَهُ كَدُعَاءِ الْمَلائِكَةِ
“Jika kau masuk (mengunjungi) orang sakit, mintalah agar ia berdoa untukmu, karena doanya seperti doa malaikat.”
Kita jangan memahami hadits tersebut sebagai bentuk “merepotkan bagi orang sakit”, tapi sebagai bentuk “optimisme.” Dengan mengamalkan hadits tersebut, kita seperti hendak mengatakan, “meski kau sakit, kau memiliki pengaruh yang lebih besar dari kami, bahkan doamu bisa menyelamatkan dan merubah hidup kami.” Artinya, manusia diberi Tuhan keistimewaan dalam keadaannya yang berbeda-beda. Orang sehat diberi keistimewaan amal “menjenguk orang sakit” yang pahalanya luar biasa. Orang sakit diberi keistimewaan doa yang makbul dan dosa yang terkurangi. Semuanya memiliki keistimewaannya sendiri-sendiri.
Maka dari itu, kita harus menjaga hati kita agar tidak merasa lebih mulia dari yang lain. Jika kita melakukannya, kita telah mencontoh Iblis. Dialah makhluk pertama yang melakukannya. Dia merasa lebih tahu dari Tuhannya dengan mengatakan, “khalaqtanî—Kau ciptakan aku” dan “khalaqtahu—Kau ciptakan dia (Adam).” Artinya, dia memandang kemuliaan dari pandangannya sendiri, tidak menggunakan pandangan Allah. Sedangkan pandangan Allah itu rahasia, tidak ada seorang pun yang benar-benar mengetahui kedudukannya di sisi Allah. Inilah yang membuat manusia terus mencari akhir yang baik (husnul khatimah).
Jika ketakwaan manusia terbeber jelas, manusia akan kehilangan rasa takut. Mereka akan gemar berkalkulasi. Misalnya, “Oh, dosaku sudah seratus dua, pahalaku baru seratus. Kalau gitu beramal lagi ah, jangan berbuat dosa dulu.” Inilah hikmah tidak diketahuinya kedudukan kita di sisi Allah, hingga membuat kita terus berharap ampunanNya dan tidak memandang rendah orang lain. Karena segiat apapun kita beramal, kita tidak akan pernah tahu kedudukan kita dan akhir hidup kita. Karena pada akhirnya, Allah lah yang menentukannya. Jadi, berbaik sangkalah kepada sesamamu, beramallah semampumu dan mohon ampunlah sebanyakmu.
Walllahu a’lam...
Muhammad Afiq Zahara, alumnus Pondok Pesantren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.