Hikmah

Kisah Kekhusyukan Shalat Rasulullah, Sahabat, dan Orang-orang Saleh Lainnya

Kam, 3 Maret 2022 | 14:00 WIB

Kisah Kekhusyukan Shalat Rasulullah, Sahabat, dan Orang-orang Saleh Lainnya

Rasulullah saw pernah memerintah untuk mengembalikan pasangan sandalnya dan menggantinya dengan pasangan sandal biasa. Alasannya, karena pada saat shalat, beliau sempat melirik pasangan sandal tersebut dan mengganggu perhatiannya

Menurut al-Ghazali, obat paling ampuh untuk meraih kekhusyukan shalat adalah menyingkirkan perkara-perkara yang mengganggu perhatian hati. Namun, perkara-perkara yang mengganggu itu tidak mungkin disingkirkan kecuali dengan menyingkirkan sebab-sebabnya, baik sebab yang datang dari luar maupun yang datang dari  dalam diri orang yang shalat. (Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumiddin, [Kairo, Darut Taqwa lit-Turats: 2000 M], jilid I, halaman 260).
  

Selanjutnya al-Ghazali menuturkan beberapa penggalan kisah tentang orang-orang yang khusyuk shalatnya. Termasuk kisah orang-orang yang lebih mengutamakan kekhusyukan. Dikatakan “mengutamakan kekhusyukan” karena ketika ada sesuatu yang menyebabkan terganggunya kekhusyukan, mereka tak sungkan untuk menyingkirkannya.  


Dimulai dari sosok Rasulullah saw yang tentunya adalah pemimpin para khasyi'in atau orang-orang yang khusyuk shalatnya. Diriwayatkan, pada suatu ketika beliau shalat mengenakan khamîshah, sejenis kain segi empat berbahan sutra atau kain wol yang bagian atasnya dihiasi renda-renda atau manik-manik. Khamishah itu merupakan persembahan dari Abu Jahm.


Usai shalat mengenakan khamîshah tersebut, beliau langsung melepaskannya seraya berkata, “Pergilah kalian kepada Abu Jahm membawa khamîshah ini, sebab baru saja ia mengganggu shalatku, lalu bawa saja kepadaku anbijaniyyah Abu Jahm.” Anbijaniyyah sendiri ialah kain yang mirip dengan  khamîshah, tetapi tidak ada manik-maniknya. Hadits ini berstatus muttafaq ‘alaih, diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.


Dalam riwayat lain, Rasulullah saw pernah memerintah untuk mengembalikan pasangan sandalnya dan menggantinya dengan pasangan sandal biasa. Alasannya, karena pada saat shalat, beliau sempat melirik pasangan sandal tersebut dan mengganggu perhatiannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu al-Mubârak secara mursal dalam pembahasan “al-Zuhd” dari hadits Abun Nadhr dengan sanad sahih.


Dalam kesempatan lain, Rasulullah saw pernah mengenakan sandal, namun beliau terkagum dengan sandal itu karena saking bagusnya. Beliau pun lantas bersujud dan berucap: 


تَوَاضَعْتُ لِرَبِّي عَزَّ وَجَلَّ كَيْ لَا يَمْقُتَنِيْ


Artinya, “Aku  tawadhu’ kepada Tuhanku agar Dia tidak murka kepadaku.”


Begitu keluar, Rasulullah langsung memberikan sandal itu kepada peminta yang pertama kali ditemuinya.  


Dikisahkan pula, saat takbiratul ihram di tangan beliau ada sebuah cincin emas. Kemudian usai shalat dan berada di atas mimbar, Rasulullah langsung melemparkan cincin tersebut sambil berkata:


شَغَلَنِيْ هَذَا نَظْرِةٌ إِلَيْهِ وَنَظْرَةٌ إِلَيْكُمْ 


Artinya, “Cincin ini telah menggangguku. Mengganggu pandanganku juga mengganggu pandangan kalian, (HR An-Nasa’i).


Berikutnya, dari kalangan sahabat. Dikatakan bahwa Khalifah Ali ibn Abi Thalib karramallâhu wajhah pada saat datang waktu shalat, hatinya berdebar-debar dan wajahnya langsung berubah. Pertanda kekhusyukan sudah datang sebelum dirinya shalat. Begitu ditanya, ia menjawab, “Mengapa engkau demikian, hai Amirul Mukminin?” Dijawabnya, “Waktu amanat yang ditawarkan Allah kepada langit, bumi, dan gunung, telah datang. Namun, mereka menolak untuk mengembannya. Mereka takut untuk menerimanya. Dan akulah yang mengembannya.”


Diriwayatkan oleh ‘Ali ibn al-Husain bahwa ketika berwudhu kulit Ali ibn Abi Thalib terlihat menguning. Begitu ditanya oleh salah seorang keluarganya, “Apa yang telah menimpamu pada saat wudhu?” Ia menjawab, “Apakah engkau tahu  bahwa di hadapanku ada Zat yang menginginkanku berdiri?”


Ada lagi sahabat Abu Thalhah yang pada suatu ketika shalat dengan sebuah pohon sebagai penghalangnya. Di tengah shalat, ia dikejutkan oleh seekor burung kecil yang terbang di atasnya. Tak sadar, sekilas pandangan matanya menoleh ke arah burung tersebut. Akibatnya, ia lupa berapa rakaat yang telah dikerjakannya. Sewaktu berjumpa dengan Rasulullah saw, Abu Thalhah menceritakan kejadian yang pernah dialaminya itu, “Wahai Rasul, pohon ini adalah sedekah (dariku), maka kelolalah pohon ini sesuai dengan yang kaukehendaki,” (HR. Malik)


Sahabat lainnya pernah mengisahkan bahwa dirinya shalat dengan pohon kurma sebagai penghalang shalatnya. Rupanya, pohon kurma saat itu sengan penuh dengan buah. Karena merasa terkagum, ia pun meliriknya. Akibatnya, ia lupa dengan jumlah rakaat shalatnya. Saat berjumpa dengan Utsman bin ‘Affan, lelaki itu menceritakan apa yang dialaminya.


Ia mengatakan, “Pohon kurma ini adalah sedekah, maka jadikanlah untuk perjuangan di jalan Allah.” Namun Utsman kala itu membelinya dengan harga tertentu.


Rupanya Rasulullah saw dan beberapa sahabat di atas melakukan semua itu demi memutuskan segala yang akan menjadi bahan pikiran sekaligus menebus kekurangan yang ada dalam shalatnya. 


Selanjutnya kita beranjak kepada kisah orang-orang yang telah meneguk kenikmatan shalat. Dikisahkan, pada suatu hari, al-Rabi‘ pergi bersama Ibnu Mas‘ud ke tukang pandai besi. Begitu melihat perapian yang ditiup dan api yang menyala-nyata, ia terkejut hingga terjatuh dan tak sadarkan diri.


Ibnu Mas‘ud lalu duduk dekat kepalanya hingga waktu salat. Namun, al-Rabi‘ masih saja belum tersadar. Akhirnya Ibnu Mas‘ud menggendong al-Rabi‘ ke rumahnya. Tetapi tetap al-Rabi‘ tidak sadarkan diri hingga lima waktu shalat tertinggal.


Pada saat itu, Ibnu Mas‘ud berkomentar, “Demi Allah, inilah rasa takut yang sesungguhnya!” Setelah tersadar, al-Rabi‘ juga menuturkan, “Tidaklah aku menunaikan satu shalat maka tidak ada hal yang dianggap penting di dalamnya kecuali apa yang aku ucapkan dan apa yang diucapkan shalat kepadaku.” 


Dikabarkan, ‘Amir ibn ‘Abdullah termasuk salah seorang yang shalatnya khusyuk. Buktinya, pada saat ‘Amir ‘Abdullah shalat, sedangkan putrinya menabuh tamborin dan istrinya membicarakan kebutuhan rumahnya, ia tidak mendengar suara-suara tersebut dan pikirannya tidak terganggu sedikit pun.


Pada suatu ketika, ia juga pernah ditanya, “Apakah dirimu pernah mengajakmu membicarakan sesuatu di saat shalat?” Ia menjawab, “Iya, membayangkan keadaanku saat berdiri di hadapan Allah dan kepulanganku ke salah satu negeri (akhirat).”


Ia kembali ditanya, “Apakah engkau pernah menemukan sesuatu yang biasa engkau temukan dalam urusan dunia?” Ia menjawab, “Tertembus anak panah lebih baik bagiku daripada dalam shalatku aku menemukan apa biasa kalian temukan.” 


Disebutkan pula,  Muslim ibn Yasar termasuk orang yang khusyuk dalam shalatnya. Pada suatu hari, ia shalat di masjid jami’ kota Bashrah. Tiba-tiba, satu sisi masjid tersebut roboh. Orang-orang pun langsung berkerumun mendekati bagian yang runtuh. Namun, Muslim bin Yasar tidak merasakan itu hingga selesai shalat. 


Khalaf ibn Ayyub pernah ditanya, “Apakah engkau tidak terganggu oleh lalat sewaktu shalat, sehingga engkau harus mengusirnya?”  Ia menjawab, “Aku tidak membiasakan diri dengan sesuatu yang dapat merusak shalatku.”


Kemudian, ia ditanya lagi, “Lantas bagaimana engkau bisa bersabar seperti itu?” Dijawabnya, “Perhatikanlah orang-orang fasik pun mampu bersabar di bawah tekanan penguasa fasik, agar mereka dijuluki  orang bersabar.  Sementara aku berdiri di hadapan Tuhanku. Pantaskah jika aku bergerak hanya karena seekor lalat?” Kemudian, sewaktu hendak menunaikan shalat, Muslim bin Yasar berpesan kepada keluarganya, “Berbicaralah kalian, namun aku tidak akan mendengar kalian.” 


Salah seorang ulama pernah ditanya, “Pernahkah engkau membicarakan sesuatu tentang dunia sewaktu shalat?” Ia menjawab, “Tidak pernah, baik dalam shalat maupun di luar shalat.”


Ulama lain ditanya, “Apakah di dalam shalat, engkau mengingat sesuatu?” Jawabnya, “Apakah ada sesuatu yang lebih aku cintai daripada shalat, lalu aku mengingat sesuatu yang lain di dalamnya?” 


Namun demikian, bukan berarti orang yang shalat adalah orang yang sama sekali tidak sadar. Sebab, pada hakikatnya orang yang shalat adalah orang yang sedang bermunajat kepada tuhannya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits al-Bukhari dan Muslim. Pantaskah pembicaraan yang tidak disadari dianggap sebagai munajat? (Al-Ghazali, 2000: I/260-272). 


Itulah beberapa kisah tentang orang yang khusyuk dan mengutamakan kekhusyu’an. Semoga kita termasuk orang orang yang beruntung dan meraih kekhusyukan shalat.


Ustadz M Tatam Wijaya, anggota Forum Ulama-Umara Sukanagara, Cianjur, Jawa Barat.