Tasawuf/Akhlak

Enggan Ibadah dan Zikir karena Belum Bisa Khusyuk

Jum, 7 Januari 2022 | 08:00 WIB

Di antara alasan sebagian orang yang enggan untuk melakukan ibadah, zikir, membaca shalawat dan lainnya adalah merasa bahwa dirinya belum bisa khusyuk. Mereka beranggapan bahwa dalam beribadah harus khusyuk. Tanpanya, semua ibadah dan zikir tidak memiliki nilai apa-apa dan tidak mendapatkan pahala.


Sebelum membahas lebih dalam tentang hal ini, perlu diketahui bahwa anggapan di atas bisa benar, tapi tidak sepenuhnya benar dan bisa diterapkan dalam konteks sosial masyarakat secara umum. Sebab, membahas tentang khusyuk dalam beribadah merupakan salah satu pembahasan rumit yang tidak bisa dilakukan oleh semua orang.


Orang-orang yang memiliki kedekatan secara khusus dengan Allah swt, seperti para nabi, orang-orang saleh, dan ulama akan lebih mudah untuk khusyuk dalam beribadah, berzikir, bermunajat dan lainnya, sebab dalam hati mereka sudah tertanam hidayah dan taufik dari-Nya, sehingga dengan mudah untuk khusyuk dalam meningkatkan spiritual ketika mendekatkan diri kepada-Nya.


Namun, apa yang bisa dirasakan para nabi, orang saleh dan para ulama di atas, tidak bisa dengan gampang dirasakan oleh orang biasa, khususnya orang awam dalam hatinya masih jauh dari taufik dan hidayah, masih tersekat oleh dunia dan segala keindahannya. Oleh karenanya, term-term seperti “beribadah harus khusyuk” tidak sepenuhnya benar. Sebab, masih banyak orang-orang yang harus beribadah, berzikir dan bermunajat kepada Allah, kendati pun belum bisa khusyuk.


Benar memang, beribadah dengan khusyuk dan tidak tetap lebih baik yang khusyuk. Akan tetapi, jika barometer untuk beribadah, berzikir, bermunajat, berdoa dan lainnya, harus dengan khusyuk, maka akan ada banyak orang yang belum bisa mencapai tingkatan itu tidak melakukan ibadah. Oleh karenanya, khusyuk tidak seharusnya dijadikan alasan untuk meninggalkan ibadah dan amal saleh lainnya.


Dalam Al-Qur’an, ketika Allah swt membahas tentang takwa (menjalankan perintah dan menjauhi larangan), Ia tidak memerintah umat Islam untuk takwa kepada-Nya melebihi batas yang manusia mampu, Akan tetapi Allah memberikan dispensasi sebatas apa yang mereka bisa, sebagaimana disebutkan,


فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنْفِقُوا خَيْرًا لِأَنْفُسِكُمْ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ


Artinya, “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah; dan infakkanlah harta yang baik untuk dirimu. Barangsiapa dijaga dirinya dari kekikiran, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS At-Thaghabun [64]: 16).


Imam Abu Ja’far ath-Thabari (wafat 310 H) dan mayoritas ulama ahli tafsir mengatakan bahwa diturunkannya ayat ini untuk menghapus (nasakh) ayat sebelumnya yang yang mengharuskan orang-orang beriman untk takwa kepada Allah dengan hakikat takwa, yaitu:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ


Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya.” (Surat Ali ‘Imran ayat 102).


Lebih lanjut, Imam ath-Thabari menjelaskan bahwa hikmah di balik penghapusan ayat di atas adalah Allah mengetahui kondisi makhluk-Nya yang sangat lemah. Artinya, jika seandainya Allah memberikan kewajiban yang sama, antara yang satu dengan lainnya, maka tentunya hanya sebagian orang saja yang akan mampu, sementara sebagian yang lain tidak. (Imam Ath-Thabari, Jami’ul Bayan fi Tafsiril Qur’an, [Muassasah ar-Risalah, cetakan pertama: 2000, tahqiq: Syekh Muhammad Syakir], juz VII, halaman 69).


Dari sini penting untuk ditegaskan kembali, bahwa barometer dalam melakukan kewajiban, seperti melakukan ibadah, misalnya, bukan tentang khusyuk dan tidaknya. Tetapi perihal upaya seseorang untuk bisa melakukan ibadah tersebut. Pada ayat di atas, Allah tidak membebani siapa pun untuk melakukan apa saja yang tidak mereka mampu, begitu juga dengan “khusyuk” dalam beribadah. Mereka yang belum bisa harus tetap melakukan ibadah.


Begitu juga dengan zikir, misalnya, ada beberapa orang yang enggan berzikir kepada Allah dengan alasan tidak bisa khusyuk. Lagi-lagi “khusyuk” menjadi alasan untuk meninggalkan zikir. Padahal, orang-orang saleh yang sudah bisa khusyuk, juga berawal dari keadaan yang sama. Tanpa ada usaha dan upaya, siapa pun tidak bisa meraih derajat itu. Dari sini penting kiranya mengingat pesan Imam Ibnu Athaillah tentang orang-orang yang berzikir, namun belum bisa khusyuk. Beliau mengatakan,


لَا تَتْرُكِ الذِّكْرَ لِعَدَمِ حُضُوْرِكَ مَعَ اللهِ فِيْهِ لِأَنَّ غَفْلَتَكَ عَنْ وُجُوْدِ ذِكْرِهِ أَشَدُّ مِنْ غَفْلَتِكَ فِي وُجُوْدِ ذِكْرِهِ


Artinya, “Janganlah engkau meninggalkan zikir (mengingat Allah) hanya karena ketidakhadiran hatimu kepada-Nya saat berzikir. Sebab, kelalaianmu dari kelalaianmu dari adanya mengingat Allah, lebih buruk daripada kelalaianmu di saat berzikir kepada-Nya.” (Imam Ibnu Athaillah, Syarah Hikam, [Darul Hawi, 2015], halaman 55).

 


Pada penjelasan selanjutnya, Imam Ibnu Athaillah memberikan spirit inspirasi kepada orang-orang yang berzikir namun tidak bisa khusyuk. Menurutnya, bisa jadi Allah akan mengangkat derajat seseorang dengan berzikir yang disertai kelalaian (tidak khusyuk), menuju zikir yang disertai kesadaran; dari zikir yang disertai kesadaran menuju zikir yang diserati hadirnya hati; dari zikir yang disertai hadirnya hati menuju zikir yang mengabaikan selain yang diingat (Allah).


Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, bahwa untuk mencapai derajat mengabaikan semuanya kecuali Allah, atau dalam istilah tasawuf dikenal dengan term maqam fana’, terlebih dahulu harus melalui zikir yang tidak khusyuk. Artinya, harus ada tahapan yang harus dilewati oleh semua umat Islam. Dengan kata lain, orang yang enggan berzikir dengan alasan tidak bisa khusyuk, maka sama halnya ia tidak menginginkan khusyuk dalam dirinya sendiri.


Demikian gambaran seorang salik (orang yang menuju Allah). Ia tidak bisa secara langsung memiliki derajat istimewa dan dekat dengan Tuhannya. Tahapan demi tahapan harus bisa dilewati; mulai dari yang paling rendah, hingga bisa berada di tingkatan yang paling tinggi. Akan tetapi, sebagaimana yang dijelaskan di atas, jika tidak memulai, bagaimana mungkin bisa mencapai puncak spiritualitas untuk memiliki kedekatan dengan-Nya.

 


Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam, Durjan, Kokop, Bangkalan, Jawa Timur.