Hikmah

Percakapan Wali Allah dan Iblis Tua yang Putus Asa di Hari Arafah

Sel, 11 Juli 2023 | 22:00 WIB

Percakapan Wali Allah dan Iblis Tua yang Putus Asa di Hari Arafah

Ilustrasi wali Allah. (Foto: NU Online)

Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya Ulumiddin menceritakan perjumpaan seorang wali Allah dari kalangan muqarrabin dan Iblis dalam rupa manusia. Imam Al-Ghazali menceritakan dialog keduanya ketika menjelaskan keutamaan ibadah haji.

 

*

 

Alkisah, suatu hari seorang wali mukasyafah dari kalangan muqarrabin berjumpa dengan Iblis laknatullah di padang Arafah. Ia bertemu Iblis dalam rupa manusia lusuh yang kurus, warna kulit pucat sakit, berlinang air mata, dan punggung patah bungkuk.

 

Wali Allah memperhatikan rupa dan penampilan Iblis sebagai orang dengan kelusuhan penuh penyesalan, kesedihan mendalam, dan keputus-asaan di tengah lautan jamaah haji yang semangat melaksanakan rangkaian manasik.

 

“Wahai Iblis, apa yang membuatmu menangis?” tanya wali Allah memulai percakapan.

 

Iblis menjawab, “Jamaah haji ikhlas berduyun-duyun menuju Ka’bah tanpa berdagang. Mereka benar-benar menuju Ka’bah. Sedangkan aku takut apa (ridha Allah) yang mereka harapkan tidak disia-siakan oleh Allah. Inilah yang membuatku sedih.”

 

“Lalu kenapa kamu menjadi kurus begini?”

 

“Ringkikan kuda safar (haji) di jalan Allah. Seandainya kuda meringkik di jalanku (kekufuran dan kemaksiatan), tentu itu lebih kusukai,” jawab Iblis.

 

“Kemudian apa yang membutmu pucat?”

 

Iblis menjawab, “Jamaah haji saling membahu dalam ketaatan. Seandainya mereka saling membahu dalam kemaksiatan, tentu aku lebih senang.”

 

Wali Allah itu kembali bertanya, “Lalu mengapa punggungmu bungkuk seperti itu?”

 

Iblis menjawab penyebab punggungnya yang bungkuk, “Doa orang beriman yang meminta husnul khatimah, ‘Wahai Tuhanku, aku memohon husnul khatimah kepada-Mu.’”

 

“Alangkah celakanya diriku, kapankah mereka akan memandang amalnya dengan pandangan ujub (sehingga menjadi sia-sia)? Jangan-jangan mereka sudah pandai dari tipu dayaku?” Iblis menyesali nasibnya.

 

*

 

Demikian dikisahkan Imam Al-Ghazali (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439-1440 H], juz I, halaman 304). Cerita ini diberi anotasi secukupnya oleh Sayyid Az-Zabidi dalam Kitab Ithafus Sadatil Muttaqin bi Syarhi Ihya Ulumiddin.

 

Cerita ini sebelumnya, kata Sayyid Azzabidi, dikutip terlebih dahulu oleh Syakh Abu Thalib Al-Makki dalam karyanya Kitab Qutul Qulub. (Az-Zabidi, Ithafus Sadatil Muttaqin bi Syarhi Ihya Ulumiddin,[Beirut, Muasasatut Tarikhil Arabi: 1994 M/1414 H], juz IV, halaman 271).

 

Imam Al-Ghazali sebelumnya mengutip hadits nabi yang menjelaskan keutamaan ibadah haji, “Tidak ada hari di mana setan terlihat lebih hina, lebih rendah, dan lebih marah daripada hari Arafah. Semua itu terjadi tidak lain karena terlihat rahmat Allah yang turun terhadap jamaah wukuf.”

 

Allah pun memaafkan dosa-dosa besar pada hari Arafah sampai sebuah riwayat menyebutkan, ‘Ada jenis-jenis dosa tertentu yang tidak dapat ditebus kecuali dengan ibadah wukuf di Arafah." Wallahu a‘lam.

 

Ustadz Alhafiz Kurniawan, Wakil Sekretaris LBM PBNU.