Hikmah

Urgensi Penguasaan Ilmu Kesehatan untuk Hadapi Ancaman Senjata Biologis dan Kimia   

Sab, 2 April 2022 | 13:00 WIB

Urgensi Penguasaan Ilmu Kesehatan untuk Hadapi Ancaman Senjata Biologis dan Kimia   

Urgensi penguasaan ilmu kesehatan untuk hadapi ancaman senjata biologis dan kimia   

Urgensi Penguasaan Ilmu Kesehatan untuk Menghadapi Ancaman Senjata Biologis dan Kimia   


Saling tuduh di antara negara besar terhadap keberadaan senjata biologis akhir-akhir ini mencuat kembali. Perang Rusia-Ukraina yang sedang berlangsung menjadi ajang melontarkan tuduhan. Selain senjata biologis, penggunaan senjata kimia dalam perang juga sangat berpotensi membahayakan warga sipil. Akibatnya, situasi konflik semakin memanas dan jauh dari penyelesaian.


Keberadaan senjata biologis dikhawatirkan dapat menimbulkan besarnya korban perang dan dampak lain terhadap kesehatan manusia. Penggunaannya yang dilarang pada waktu perang belum cukup untuk mencegah dampak buruk yang ditimbulkannya. Tidak terkendalinya senjata biologis dapat menimbulkan wabah penyakit yang menyebar ke daerah lain di luar area perang.


Penggunaan senjata biologis pada masa perang sulit dideteksi dan dibuktikan. Di satu sisi, penggunanya adalah negara yang menguasai teknologi tinggi, dan di sisi lain kamuflasenya tersamar dengan kemunculan penyakit yang seolah-olah alamiah. Namun kaum muslimin tidak boleh lengah, karena pengalaman sejarah menunjukkan bahwa target dari senjata biologis itu ada yang menyasar negeri-negeri berpenduduk muslim.


Serangan Senjata Biologis di Aceh
Di Nusantara, wabah kolera pernah merebak dalam perang Aceh pada masa penjajahan Belanda. Agresi militer Belanda ke Aceh pada abad ke-19 menyisakan kisah unik ini. Sebagai daerah dengan basis muslim yang kuat, Aceh termasuk daerah terakhir yang dikuasai Belanda di Nusantara. Berbagai cara kekerasan dalam perang digunakan oleh kolonialis untuk menaklukkan Aceh, termasuk dengan senjata biologis.


Tentara kolonialis Belanda juga mengirimkan senjata biologis berupa wabah kolera ke  Aceh. Saat agresor Belanda di bawah pimpinan Van Swieten menyerang dengan kapalnya, penduduk Aceh menemukan mayat seorang bekas tentara Italia terinfeksi kolera dan dibuang di wilayah pantai. Tentara Italia yang mayatnya dijadikan senjata biologis itu bernama Nino Bixio. Ia juga seorang pemilik kapal yang membantu Belanda. Setelah beberapa hari mayatnya berada di pantai, barulah warga mengebumikan jasadnya sehingga wabah kolera sudah terlanjur memasuki Aceh.


Hal menarik yang diungkap oleh sejarawan Mohammad Said adalah bahwa penduduk Aceh mengetahui mayat tentara itu telah terserang kolera. Penduduk Aceh saat itu juga mengetahui mayat tentara yang terinfeksi dan ditaruh di daerahnya merupakan bentuk serangan untuk menyebarkan wabah penyakit (Mohammad Said, Aceh Sepanjang Abad, [Meda, PT Harian Waspada: 1985), jilid II,  halaman 18-19).


Penyebaran wabah penyakit melalui mayat tentara yang tidak dikubur pernah dibahas oleh Al-Hafiz adz-Dzahabi. Dalam kitab Thibbun Nabawi, beliau menuliskan:


“Yang menyebabkan wabah adalah pembusukan spontan, seperti air yang terbendung, yang membusuk akibat dari bumi, misalnya, dari seorang prajurit yang mati dan belum dimakamkan.” (Adz-Dzahabi, Thibbun Nabawi, [Beirut, Dâr Ihyâ-ul ‘Ulûm: 1990, halaman 268).


Bukan kebetulan serangan wabah penyakit dari mayat tentara yang belum dimakamkan terjadi di Aceh. Sebagai penguat bahwa serangan senjata biologis itu memang nyata, penduduk Aceh juga menemukan bekas-bekas botol yang digunakan untuk menampung bibit penyakit kolera. Botol-botol itu ditemukan di hulu sungai-sungai saat perang Aceh melawan Belanda. Tentara Belanda secara sengaja memasukkan bibit penyakit kolera ke sungai yang menjadi sumber air minum dan keperluan penduduk Aceh sehingga banyak korban yang berjatuhan.


Pengetahuan penting atas serangan penyakit dalam perang ini mereka wariskan kepada generasi Aceh berikutnya. Cerita turun-temurun bahwa kolera dibawa oleh Belanda untuk menyerang Aceh masih ada hingga sekarang. Bukti-bukti berupa botol-botol yang digunakan oleh serdadu Belanda untuk menyimpan dan menyebarkan wabah kolera di Aceh melalui sungai masih disimpan oleh penduduk hingga saat ini. Wabah penyakit dan perang dapat terjadi bersamaan. Keduanya memakan korban manusia dan menimbulkan kerusakan. Sejarah membuktikan bahwa apabila dijadikan senjata biologis, kuman penyebab wabah akan sangat mematikan.


Senjata Kimia di Masa Rasullah
Berbeda dengan senjata biologis, senjata kimia sangat terlihat apabila digunakan dalam peperangan. Beberapa pengalaman perang menunjukkan bahwa kaum muslimin juga menjadi sasaran senjata ini. Mulai dari pengalaman Rasulullah saat diracun oleh orang Yahudi saat perang Khaibar hingga perang di masa modern mengungkapkan fakta. Imam At-Tirmidzi dalam kitab as-Syamâ-ilul Muhammadiyah menceritakan kisah dari Sahabat Ibnu Mas’ud:


كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يُعْجِبُهُ الذِّرَاعُ قَالَ وَسُمُّ فِى الذِّرَاعِ،وَكَانَ يَرَى أَنَّ اَلْيَهُوْدَ سَمُّهُ  


“Bahwa Nabi saw menyukai dzira’ (bagian kaki hewan). Selanjutnya Ibnu Mas’ud berkata: ‘Suatu ketika bagian dzira’ itu diracuni orang’. Ibnu Mas’ud melihat yang meracuninya adalah orang Yahudi.” (At-Tirmidzi, asy-Syamâ-ilul Muhammadiyah, [Bandung, CV Diponegoro: 1986], halaman 135-136).


Dzira’ adalah bagian tubuh hewan dari lutut sampai bagian bawah kaki. Nabi diberi hidangan olahan daging kambing bagian dzira’ tatkala perang Khaibar. Orang yang meracuninya melalui daging kambing itu adalah Zainab binti al-Harits, orang Yahudi. Rasulullah saw selamat, sedangkan seorang sahabat yang makan bersama dengan Beliau meninggal dunia. 


Dengan pengalaman pahit ini para ulama telah memberikan perhatian khusus untuk mengkaji ilmu tentang racun dan mencari berbagai zat penawarnya. Dalam buku Health Science in Early Islam, Sami K. Hamarneh menuliskan bahwa:


“Ilmu tentang racun (toksikologi) juga mendapatkan porsi khusus dalam tulisan para ahli pengobatan muslim klasik, karena bahaya diracuni musuh yang iri selalu mengancam para penguasa muslim dan orang-orang kaya.”(Hamarneh, Health Sciences in Early Islam, [Zahra Publications: 2016], volume I, halaman 56).


“Untuk mengantisipasi racun yang berupa zat kimia, para ahli pengobatan muslim meneliti zat-zat penangkalnya. Jadi, para ahli pengobatan itu akan menguji terlebih dahulu zat theriatic (zat anti racun) dengan cara memasukkan satu takaran racun pada seekor ayam jantan, anjing, atau hewan lainnya dan kemudian memasukkan zat theriatic tersebut untuk melihat sejauh mana kemujaraban zat itu dalam melawan racun.” (Hamarneh, Health Sciences, volume II, halaman 138).

 

Urgensi Penguasaan Teknologi dan Ilmu Kesehatan
Pengalaman di Chechnya, Palestina, Suriah, dan berbagai negara muslim lainnya membuat kaum muslimin menderita akibat senjata kimia. Bukan tidak mungkin perang yang menggunakan senjata biologis juga akan terjadai di masa yang akan datang oleh negara-negara adikuasa untuk menguasai kawasan lainnya. Pengalaman di Aceh saat kaum muslimin melawan kolonial Belanda merupakan perang melawan senjata biologis yang tercatat dalam sejarah. Berbagai penggunaan senjata biologis di wilayah muslim lainnya sangat mungkin tidak tercatat dalam sejarah karena dirahasiakan.


Sudah selayaknya kaum muslimin mengambil berbagai pelajaran dari sejarah yang telah terjadi agar bisa mempertahankan diri dari bencana perang maupun senjata biologis dan kimia. Penguasaan umat Islam terhadap teknologi dan ilmu kesehatan yang mumpuni merupakan kunci untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan penggunaan kedua senjata ini.

 


Yuhansyah Nurfauzi, anggota Komisi Fatwa MUI Cilacap, apoteker dan peneliti di bidang Farmasi.