Syariah

Pemimpin yang Ideal menurut Ulama Ahlussunah wal Jamaah 

Sab, 29 Juli 2023 | 20:00 WIB

Pemimpin yang Ideal menurut Ulama Ahlussunah wal Jamaah 

Pemimpin ideal menurut ulama Ahlussunnah wal Jamaah. (Foto: ilustrasi NU Online/Freepik)

Pemimpin itu laksana naungan Allah yang berada di bumi, begitu riwayat Imam Baihaqi, di Kitab Syu’ab al-Iman. Agung betul derajat seorang pemimpin dalam Islam. Sampai-sampai dikatakan sebagai bayangan Allah di bumi. 


Alasannya, kata Imam al-Suyuti dalam al-Jami’ al-Saghir Jilid I (h. 496), karena pemimpin tempat umat mengeluh dan mengadu. Pemimpin pula tempat orang yang lemah menuntut hak. Pun, kepada pemimpin jua orang yang dizalimi mengadu nasib dari mereka yang berkuasa dan berkekuatan. 


Tugas berat yang diampu seorang pemimpin, membuat mereka dikaruniai kemuliaan dari Tuhan. Imam Bukhari dan Imam Muslim, melukiskannya, kelak di hari kiamat pemimpin adil akan mendapatkan naungan, di mana tidak ada perlindungan selain dari Allah. Pun kelak, balasan atas jasanya ialah surga. 


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ الْإِمَامُ الْعَادِلُ


Artinya, “Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi Muhammad saw, ia bersabda, ‘Ada tujuh kelompok orang yang dinaungi oleh Allah pada hari tiada naungan selain naungan-Nya, yaitu pemimpin yang adil."


Pada sisi lain, kita sebagai rakyat wajib taat pada pemimpin yang terpilih. Tidak boleh memberontak pada yang diangkat secara sah dan konstitusional. Kewajiban taat pada pemimpin tak bisa ditawar, kata Ibnu Rusyd dalam kitab al-Bayan wa at-Tahsil wa Syarh wa Taujih wa Ta’lil li Masaili al-Mustakhrijah, sekalipun banyak yang tak menyukainya.
 

واجب على الرجل طاعة الإمام فيما أحب أو كره، وإن كان غير عدل، ما لم يأمره بمعصية  


Artinya, Wajib atas seseorang taat kepada pemimpin, pada apa yang ia sukai dan ia benci, meskipun pemimpin itu berlaku tidak adil. Tapi dengan catatan, pemimpin itu tak menyuruh maksiat pada Allah.


Sementara itu, Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin, juga berpendapat serupa. Pemimpin baginya adalah penjamin tegaknya agama. Tak sepantasnya pemimpin itu dihina. Tidak pula sepatutnya direndahkan. Seorang muslim yang baik, diharuskan taat pada pemimpin, sekalipun dia zalim. Al Ghazali bertutur dalam Ihya Ulumiddin Jilid 4 (h.99).


واعلم أن السلطان به قوام الدين فلا ينبغي أن يستحقر وإن كان ظالماً فاسقاً


Artinya, "Dan ketahuilah bahwa pemimpin adalah pilar agama, maka tidak sepatutnya dia dihina, meskipun dia adalah seorang yang zalim dan fasik."


Kepemimpinan Ideal Menurut Ulama

Dalam agama Islam, pemimpin diamanahi tanggung jawab yang besar dan berat. Tugasnya, sangat kompleks, dan terkadang membawa kepada kesepian. Kekuasaan terkadang mengurung orang dalam kesendirian, dan mengutuknya dalam kesepian. Tulis Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir, edisi Senin 23 Februari 2015. 


Pesan penting itu juga berbanding lurus dengan tulisan Mohammad Roem di Majalah Prisma edisi Agustus 1977—mengutip pepatah kuno Belanda— ia menulis, memimpin itu jalan menderita (leiden is lijden). Pasalnya, seorang pemimpin diharapkan untuk mengayomi, menegakkan keadilan, dan mewujudkan kesejahteraan dan kemaslahatan bagi umat. 
 

Untuk itu, tidak semua bisa menjadi pemimpin. Seyogianya memiliki kualifikasi tertentu untuk menjadi pemimpin dalam Islam. Pemimpin itu adalah manusia pilihan. Ada beberapa kriteria dan persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon pemimpin agar diakui sebagai pemimpin yang sah.  Tulisan akan fokus beberapa kriteria kepemimpinan yang ideal menurut ulama ahlussunah wal jamaah.


Imam Mawardi, pencetus konsep politik Islam klasik, menulis dalam al-Ahkāmus Sulthāniyyah wal Wilālāyatud Diniyah (h.19), bahwa ada tujuh syarat utama seorang diangkat menjadi pemimpin. Pertama, memiliki sifat yang adil. Pemimpin adil merupakan salah satu faktor krusial dalam pembangunan dan keberhasilan sebuah negara. Sebuah negara yang dipimpin oleh pemimpin adil memiliki potensi untuk menciptakan masyarakat yang stabil, sejahtera, dan harmonis. Di bawah kepemimpinan yang adil, keadilan hukum, keamanan, dan kesejahteraan rakyat dapat tercapai dengan lebih baik.


Mengenai keadilan, yang dimaksud dengan itu, kata Imam Mawardi adalah pemimpin yang memiliki integritas dalam tindak-tanduk perilakunya. Pemimpin adil itu, tambahnya menjauhkan diri dari perbuatan dan keadaan yang menyebabkan dosa dan kemaksiatan. Untuk itu, seorang yang zalim tidak diperkenankan menduduki jabatan sebagai pemimpin, begitu juga dengan seorang pengkhianat, seyogianya tidak dipilih dalam kontestasi demokrasi. 


أمَّا العدالة: فالمراد بها أن يكون صاحب استقامة في السيرة، وأن يكون متجنبًا الأفعال والأحوال الموجبة للفسق والفجور، فكما لا يكون الظالم والغادر مستحقًّا للخلافة


Artinya, "Adapun keadilan, yang dimaksud dengan itu adalah seseorang yang memiliki integritas dalam perilakunya, dan menjauhkan diri dari perbuatan dan keadaan yang menyebabkan dosa dan kemaksiatan. Seperti halnya seorang yang zalim dan pengkhianat tidak pantas untuk menjadi khalifah, begitu juga seseorang yang terlibat dalam persekongkolan dan tipu daya."


Kedua, mempunyai pengetahuan yang luas untuk membuat peraturan dan ijtihad dalam persoalan kenegaraan yang muncul. Pengetahuan yang luas, termasuk syarat utama seorang pemimpin. Dalam era globalisasi yang semakin kompleks dan terhubung erat, peran seorang pemimpin dalam menghadapi tantangan geopolitik dan geoekonomi global menjadi semakin krusial. Pengetahuan luas mengenai masalah-masalah tersebut menjadi kunci dalam merumuskan kebijakan dan strategi yang tepat untuk kepentingan negara dan rakyatnya.


Terlebih saat ini dunia global tengah berada dalam ketidakpastian. Tantangan perubahan iklim, migrasi massal akibat perang, ketimpangan ekonomi, sengketa perbatasan, konflik militer, dan terorisme merupakan beberapa tantangan kompleks yang dihadapi oleh dunia saat ini. Pemimpin yang berada di garis depan dalam menangani masalah-masalah ini harus mampu memahami akar masalahnya, serta mempertimbangkan konsekuensi dan dampak jangka panjang dari tindakan yang diambil. 


Untuk itu, pemimpin harus punya pengetahuan luas dalam persoalan geopolitik dan geoekonomi global. Pengetahuan ini membantu pemimpin dalam merumuskan kebijakan dan strategi yang tepat, menghadapi tantangan kompleks dengan lebih bijaksana, serta memperkuat peran suatu negara dalam kancah internasional.


Dengan demikian, kata Abdu Razaq Ahmad Sanhuri, dalam kitab Fiqhul Khilāfati wa Tatawwuruha Li Tasbihi ‘ashbati Umami Asy Syarqiyah, syarat pemimpin itu memiliki pengetahuan yang luas, tidak cukup hanya menjadi seorang alim, tetapi ia harus mencapai tingkat ijtihad dalam ushul dan furu' secara bersamaan.  Karena tujuan utama dari kepemimpinan adalah untuk menjaga keyakinan, menyelesaikan masalah, dan menyelesaikan perselisihan.


يستلزم أغلبية الفقهاء أن يكون الخليفة على درجة كبيرة من العلم، فلا يكفي أن يكون عالمًا، بل يجب أن يبلغ مرتبة الاجتهاد في الأصول والفروع على السواء


Artinya, "Sebagian besar fuqaha memandang bahwa khalifah harus memiliki tingkat pengetahuan yang tinggi. Tidak cukup hanya menjadi seorang alim, tetapi pemimpin harus mencapai tingkat ijtihad (kemampuan untuk mengeluarkan hukum) dalam mazhab asal (usul) dan cabang (furu') secara seimbang."


Ketiga, sehat panca indra, baik pendengaran, penglihatan, lidah dan sebagainya. Keempat, tidak ada kekurangan dalam anggota tubuhnya yang menghalangi untuk bangun dan bergerak. 


Terkait keterbatasan fisik, ulama seperti Ibnu Ibnu Khaldun dalam al-Muqaddimah membedakan  antara cacat tubuh mutlak, yang mencegah seorang khalifah/pemimpin untuk menjalankan tugasnya, seperti buta, bisu, tuli, amputasi tangan, atau kaki. Dalam kondisi ini, calon tersebut tidak memenuhi syarat untuk menjadi khalifah. Namun, jika hanya sekadar bungkuk atau tuli pada salah satu telinganya, atau kehilangan salah satu tangannya, dalam kondisi ini calon tersebut tetap memenuhi syarat untuk menjadi pemimpin.


Kelima, adalah mempunyai visi pemikiran yang baik, sehingga dapat menciptakan kebijakan yang berpihak pada rakyat dan mampu mewujudkan kemaslahatan bagi masyarakat. Dalam konteks negara modern, seorang pemimpin harus memiliki visi pembangunan berkelanjutan. 


Lebih lanjut, jika ditarik dalam konteks Indonesia, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional telah resmi meluncurkan Rancangan Akhir Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 dalam mendukung pelaksanaan Visi Indonesia Emas 2045.


Indonesia Emas 2045 adalah sebuah visi besar yang diumumkan oleh pemerintah Indonesia. Tujuannya adalah untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju, sejahtera, dan berdaulat pada tahun 2045, yang merupakan tahun peringatan 100 tahun kemerdekaan Republik Indonesia.


Visi ini mencakup berbagai aspek pembangunan, termasuk ekonomi, sosial, politik, dan lingkungan. Di antara sasaran utamanya adalah mengatasi berbagai tantangan dan masalah yang dihadapi oleh Indonesia saat ini, seperti kesenjangan ekonomi, ketimpangan sosial, kerusakan lingkungan, dan keamanan nasional.


Mengingat Indonesia merupakan negara yang beragam, mencapai visi ambisius ini tentu akan menjadi tantangan besar. Ini membutuhkan seorang pemimpin yang memiliki visi dan kebijakan yang tepat sasaran, agar jalan menuju Indonesia Emas 2045 tidak hanya wacana kosong, tetapi bisa diimplementasikan. 


Keenam, harus memiliki keberanian dan mampu menjaga rakyat dari serangan musuh. Pasalnya, Pemimpin yang kuat mampu memberikan stabilitas dan keamanan dalam negara. Sosok pemimpin yang kuat dan berani dapat mengatasi tantangan keamanan internal maupun eksternal, mencegah kerusuhan sosial, dan menjaga ketertiban di masyarakat. Lebih lagi, di tengah ancaman terorisme dan separatis, peran pemimpin yang berani dibutuhkan untuk mewujudkan kedamaian di tengah masyarakat. 


Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Qasas (28) ayat 26.


قَالَتْ اِحْدٰىهُمَا يٰٓاَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ ۖاِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْاَمِيْنُ


Artinya, “Salah seorang dari kedua (perempuan) itu berkata, “Wahai ayahku, pekerjakanlah dia. Sesungguhnya sebaik-baik orang yang engkau pekerjakan adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.”


Dalam Tafsir Thabari, dijelaskan bahwa ini seyogianya menceritakan tentang keberanian Nabi Musa, sosok yang sangat kuat dan dapat dipercaya. Dalam pelarian, Nabi Musa sampai ke tempat Nabi Syuaib, dan menolong putrinya yang tengah kesulitan dalam gembala kambing. Dalam ayat ini dijelaskan tentang penting memilih seorang yang kuat dan juga dapat dipercaya dalam menjalan tugasnya.


(إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الأمِينُ) تقول: إن خير من تستأجره للرعي القويّ على حفظ ماشيتك والقيام عليها في إصلاحها وصلاحها، الأمين الذي لا تخاف خيانته، فيما تأمنه عليه.


Artinya, "(inna khaira manista'jartal-qawiyyul-amīnu) berkata ia; "Seseorang yang lebih baik untuk dipekerjakan adalah yang kuat dalam mengawasi ternak mu, mengurus dan memperbaikinya dengan baik, seorang yang dapat dipercayai sehingga kamu merasa aman dengan dia."


Ketujuh, ialah dari suku Qaraisy. Tentu akan sulit diterapkan dalam era sekarang. Terlebih setalah 1400 tahun Rasulullah wafat. Untuk itu, perlu dicarikan alternatif dan penafsiran ulang dalam permasalahan ini. Imam Ghazali dalam al-Iqtisad fil I’tiqad, menerangkan persoalan ini dan menemukan makna dan tafsir ulang tentang “quraisy” ini. Dalam penjelasannya, seorang pemimpin tidak harus dari suku Quraisy, bisa dengan klan dan suku mana saja, asalkan dia kompeten. 


Imam al-Ghazali mengemukan konsep “syaukah” yakni orang yang kompeten dan mampu bertanggung jawab dalam kepemimpinannya. 


إن الإمامة عندنا تنعقد بالشوكة، والشوكة تقوم بالمبايعة….وليس المقصود هنا أعيان المبايعين، وإنما الغرض قيام شوكة الإمام بالأتباع والأشياع


Artinya; “menurut pendapat kami, kepemimpinan dapat dikatakan sah melalui mekanisme syaukah (kekuatan dan kecakapan), sementara syaukah sendiri akan terwujud melalui mekanisme baiat, kendati demikian, yang kami maksud dengan baiat bukanlah identitas pemimpin yang dibaiatnya (yang dari Quraisy). Adanya baiat karena adanya kecakapan dan kekuatan sang pemimpin dalam memperoleh dukungan dan simpati masa.”


Sementara itu dalam kitab al-Khilâfah (h. 26) karya dari Rasyid Ridha, dikatakan bahwa kepemimimpinan dalam Islam, tidak harus dari klan Quraisy, tetapi ulama memberikan alternatif lain, jika tidak ada dari Bani Quraisy— dan memungkinkan suku dari non Quraisy—, untuk jadi pemimpin. 


قَالَ السعد: وَقد ذكر فِي كتبنَا الْفِقْهِيَّة أَنه لابد للْأمة من إِمَام يحيى الدّين وَيُقِيم السّنة وينتصف للمظلومين ويستوفي الْحُقُوق ويضعها موَاضعهَا. وَيشْتَرط أَن يكون مُكَلّفا مُسلما عدلا حرا ذكرا مُجْتَهدا شجاعا ذَا رَأْي وكفاية سميعا بَصيرًا ناطقا قرشيا. . فَإِن لم يُوجد فِي قُرَيْش من يستجمع الصِّفَات الْمُعْتَبرَة ولى كنانى، فَإِن لم يُوجد فَرجل من ولد إِسْمَاعِيل فَإِن لم يُوجد فَرجل من الْعَجم


Artinya; Sa’ad berkata; Di dalam kitab-kitab fiqih kami telah disebutkan bahwa sesungguhnya umat ini memerlukan seorang imam yang membangkitkan agama, menegakkan sunnah, membela orang-orang yang terzalimi, memenuhi hak-hak, dan menempatkannya pada tempatnya. Syaratnya, dia harus bertanggung jawab, seorang Muslim yang adil, merdeka, bijaksana, berpendapat, dan berpengetahuan, berani, teliti, mendengar, melihat, berbicara, dan berasal dari suku Quraisy. Jika tidak ada orang dari suku Quraisy yang memiliki sifat-sifat yang dihormati dan yang bisa menjadi imam, maka carilah dari suku Kinanah. Jika tidak ada orang dari keturunan Isma'il yang layak, maka carilah dari orang asing (non-Arab).


Zainuddin Lubis, pegiat kajian Islam, tinggal di Ciputat.