Banyak orang terjebak dalam kesalahan ketika mereka menginginkan agar Al-Qur’an mengandung segala teori ilmiah. Setiap lahir teori baru mereka mencarikan untuknya kemungkinan dalam ayat. Lalu ayat ini mereka takwilkan sesuai dengan teori ilmiah tersebut.
Kemukjizatan ilmiah Al-Qur’an bukanlah terletak pada pencakupannya akan teori-teori ilmiah yang selalu baru dan berubah, serta merupakan hasil usaha manusia dalam penelitian dan pengamatan. Tetapi, ia terletak pada dorongannya untuk berfikir dan menggunakan akal.
Al-Qur’an mendorong manusia agar memperhatikan dan memikirkan alam. Ia tidak membatasi aktivitas dan kreativitas akal dalam memikirkan alam semesta, atau menghalanginya dari penambahan ilmu pengetahuan yang dapat dicapainya.
Al-Qur’an menjadikan pemikiran yang lurus dan perhatian yang tepat terhadap alam dan segala apa yang ada di dalamnya sebagai sarana terbesar untuk beriman kepada Allah swt. Al-Qur’an mendorong manusia untuk melakukan aktivitas intelektual sebagaimana dijabarkan dalam ayat-ayatnya.
Pertama, Al-Qur’an mendorong kaum Muslimin agar memikirkan makhluk-makhluk Allah SWT yang ada di langit dan di bumi, seperti dalam firman Allah swt dalam surat Ali Imran [3]: 190-191): “Sesunggguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, yaitu mereka yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (saya bersaksi): Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
Kedua, Al-Qur’an mendorong umat Islam agar memikirkan dirinya sendiri, bumi yang ditempatinya, dan alam yang mengitarinya, seperti dalam firman Allah dalam surat ar-Rum [30]: 8: “Dan mengapakah mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan.”
Ketiga, Al-Qur’an membangkitkan pada diri setiap Muslim kesadaran ilmiah untuk memahami dan melakukan perbandingan, seperti dalam firman Allah dalam surat al-Baqarah [2]: 219: “Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir.” Juga dalam surat al-Hasyr [59]: 21: “Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir.”
Dari sini sudah jelas, bahwa tuntunan-tuntunan di atas menghimbau manusia untuk tidak hanya membaca Al-Qur’an dengan hanya sekedar membaca. Akan tetapi, sekaligus mengajak manusia menerapkan bacaan dan kandungan al-Qur’an dalam kehidupan, sebagaimana pesan Prof HM Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an.
I’jazul Qur’an menurut Ulama
Penggunaan kata I’jazul Qur’an memiliki keterkaitan terhadap kata mukjizat Nabi. Dikarenakan bagian dari mukjizat Rasulullah dianggap yang paling utama adalah Al-Qur’an. Dengan demikian, Al-Qur’an mengandung kemampuan i’jaz. Maka I’jazul Qur’an tidak terlepas dengan istilah mukjizat Nabi.
Akan tetapi, perlu diperhatikan perkembangan dari penggunaan istilah ini sehingga memberikan makna dan pengertian yang utuh berkenaan dengan istilah I’jazul Qur’an.
Sekurang-kurangnya, penulis menggunakan istilah I’jazul Qur’an dan mukjizat Al-Qur’an dengan menekankan perhatian kepada awal munculnya kedua istilah ini. Pertama, istilah I’jazul Qur’an dan mukjizat Nabi tidak terdapat baik dalam Al-Qur’an maupun hadits Rasul saw.
Bahkan, istilah ini juga tidak terdapat pada perkatan sahabat, juga tidak muncul dalam ungkapan-ungkapan tabi’in. Istilah ini mulai muncul pada abad ke-3, kemudian berkembang dengan sangat pesat pada abad-abad selanjutnya hingga masa kita sekarang ini. Maka dikatakan bahwa kedua istilah ini merupakan kata yang muhdats (kata jadian) dan muwallad (istilah baru yang dimunculkan).
Kedua, kata lainnya yang semakna dan menyertai kemunculan kata i’jaz adalah at-tahaddi. Kata ini juga merupakan kata yang muhdats dan muwallad. Tidak terdapat baik di dalam Al-Qur’an maupun Hadits Rasulullah, juga tidak terdapat pada perkatan para Sahabat dan tidak ditemukan dalam ungkapan-ungkapan Tabi’in.
Kata ini baru muncul pada abad ke-3, kemudian berkembang pada abad ke-4 dan menyebar luar dalam abad-abad setelahnya sampai masa sekarang ini. Selanjutnya, I’jazul Qur’an menjadi istilah yang populer digunakan untuk mengusung pembicaraan seputar keunggulan Al-Qur’an sebagai firman Allah swt yang di wahyukan kepada Rasulullah saw.
Pada abad ke-3, ulama dan para sarjana Muslim telah banyak membahas persoalan I’jazul Qur’an. Ibn Sayyar an-Nazzam (w. 232/846), seorang teolog Mu’tazilah, menegaskan adanya sharfah (pengalihan) dalam kemampuan manusia untuk tidak mampu menandingi bahasa yang dipergunakan oleh Al-Qur’an.
Teori ini menyatakan bahwa manusia sebenarnya memiliki kemampuan untuk meniru Al-Qur’an, baik dari sisi substansi maupun redaksionalnya. Hanya saja, kemudian Tuhan melakukan intervensi kepada manusia dengan mengalihkan kemampuan tersebut sehingga menjadikannya tidak mampu meniru Al-Qur’an meskipun satu ayat saja.
Teori sharfah merupakan tempat pijakan an-Nazzam dalam menjelaskan I’jazul Qur’an. An-Nazzam memandang bahwa I’jazul Qur’an tidaklah berada pada keunggulan ungkapan, struktur kalimat, maupun gaya bertutur. Akan tetapi, berada pada posisinya sebagai bahasa yang bersumber dari Tuhan.
Dengan demikian, Al-Qur’an sebagai teks tidaklah berbeda dengan teks lainnya. Keunggulannya terletak pada isi yang dibawa dalam ungkapan Al-Qur’an tersebut, baik sesuatu yang gaib pada masa sekarang maupun mendatang yang tidak dapat diketahui oleh manusia.
Sedangkan Ali ibn Isa ar-Rummani (w. 384/994), seorang teolog yang juga beraliran Muktazilah, berpendapat bahwa I’jazul Qur’an terletak pada dua hal yang tidak dapat dipisahkan dari Al-Qur’an itu sendiri. Pertama, status Al-Qur’an sebagai bahasa Tuhan. Kedua, struktur serta gaya tutur yang dimiliki Al-Qur’an itu sendiri.
Lebih dari itu, I’jazul Qur’an terletak pada harmoni yang menakjubkan antara statusnya sebagai firman Tuhan dan gaya tutur yang digunakan, serta aspek-aspek linguistik lainnya yang tersusun dengan cermat di dalam Al-Qur’an.
Abu Bakar al-Baqillani, seorang ulama yang anti terhadap Muktazilah, menegaskan bahwa I’jazul Qur’an terkandung di dalamnya, dan bukanlah i‘jaz itu muncul dari intervensi Allah terhadap manusia berupa sharfah atau tindakan untuk mengalihkan bangsa Arab agar tidak mampu membuat yang semisal dengan Al-Qur’an.
Meskipun ia tidak menafikan keunggulan Al-Qur’an dalam mengungkap berita-berita gaib. Akan tetapi, al-Baqillani lebih menyoroti bahwa I’jazul Qur’an lebih jelas terlihat dari sisi kebahasan dan susunan kata-katanya. Dalam hal ini, al-Baqillani masih dipandang belum tuntas untuk menjelaskannya, sehingga terlihat ia hanya mengungkap keindahan bahasa Al-Qur’an.
I’jaz dalam Al-Qur’an
Kata i’jaz merupakan bagian yang tak terlepaskan dari seorang rasul yang diutus Allah swt kepada umatnya untuk menyampaikan risalah. I’jaz merupakan kemampuan untuk menundukkan manusia, sehingga secara serta-merta menjadikan seorang manusia mempercayai akan kebenaran dari ajaran atau risalah yang dibawa oleh seorang rasul.
Kemampuan i’jaz ini kemudian menjadi bagian dari rasul yang disebut dengan mukjizat. Mukjizat yang diperlihatkan oleh seorang rasul merupakan sesuatu yang sebelumnya telah diketahui oleh manusia secara umum. Dapat dikatakan juga sesuatu yang dapat dipahami oleh manusia akan tetapi tidak dapat dilakukan atau diperoleh oleh manusia awam.
Maka, mukjizat bukanlah sesuatu yang sangat baru dan tidak dapat dipahami oleh siapapun. Mukjizat merupakan hal yang menyalahi sesuatu yang biasanya terjadi. Akan tetapi, masih dalam batas pengetahuan yang dapat dipahami manusia, sehingga dapat dibuktikan dan disaksikan oleh manusia pada umumnya.
Karena apabila mukjizat bukan sesuatu yang dapat dimengerti, maka tidak akan memberikan manfaat bagi umat yang diperlihatkan mukjizat tersebut. Akan tetapi, kalau dapat dipahami dan ia menyadari kekerdilan dirinya di hadapan mukjizat tersebut sehingga tergerak untuk mengimaninya secara objektif.
Maka mukjizat atau kemampuan i’jaz bagi setiap rasul berbeda antara satu dengan lainnya sesuai kondisi masyarakat tertentu di mana rasul diutus. Sebut saja misalnya Nabi Musa yang diberikan mu’jizat kemampuan mengalahkan para penyihir Fir’aun.
Hal ini dikarenakan kemampuan yang sangat diagungkan dan disanjung pada masa itu adalah kemampuan para penyihir, sehingga mu’jizat yang diberikan kepada Nabi Musa adalah kemampuan menaklukkan penyihir-penyihir Fir’aun.
Kalahnya para penyihir tersebut menyadarkan umat yang menyaksikannya bahwa Nabi Musa memiliki kekuatan di luar kemampuan mereka, sehingga menghilangkan kesombongan diri dan mengakui adanya kekuatan yang lebih dari yang ada pada dirinya.
Apabila mereka menerimanya secara objektif, hal tersebut bakal menggerakkan keimanan di hati mereka. Akan tetapi, bila bersikap sebaliknya maka hal itu akan mengkristalkan sikap kufr di dalam diri mereka.
Allah mengetahui pasti kondisi umat dan rasul yang diutus-Nya sehingga Allah cermat menentukan mukjizat yang layak dan harus diturunkan kepada seorang rasul. Hal ini memudahkan dan membantu rasul dalam menyampaikan risalah yang dibawanya.
Memberikan Nabi Musa tongkat yang mampu mengalahkan para penyihir Fir’aun, memberikan kemampuan medis kepada Nabi Isa, memberikan kemampuan tidak terbakar kepada Nabi Ibrahim, merupakan ketentuan yang telah diketahui Allah dan berdasarkan atas pengetahuan-Nya.
Begitu juga halnya dengan Rasulullah saw, beliau diutus kepada umat yang memiliki kemampuan yang mengesankan, baik dalam berbahasa dan berpikir. Maka diturunkanlah Al-Qur’an sebagai mukjizat untuknya.
Al-Qur’an menjadi penguat dan media utama Rasulullah untuk menegaskan risalahnya dan menundukkan orang-orang Arab, sehingga mengakui kebenaran ajaran yang dibawa rasul dan mengimaninya.
Al-Qur’an menundukkan mereka baik dalam susunan bahasa, berita yang dibawanya, pengetahuan yang terkandung di dalamnya, serta ajaran-ajaran hidup lainnya. Muatan Al-Qur’an tersebut menyadarkan manusia dari kelemahan dirinya, bahwa tak seorang pun mampu untuk membuat karya-karya yang setara dengan Al-Qur’an.
Mengenai I’jazul Qur’an yang berkenaan dengan bahasa telah memunculkan banyak ulama Muslim yang mengkajinya. Sebut saja dari semenjak an-Nazzam, al-Jubbai, al-Jahiz, al-Khattabi, ar-Rummani, al-Baqillani, Qadi Abd al-Jabbar, hingga al-Jurjani.
Akan tetapi, dalam pandangan teori linguistik modern, pandangan yang dikemukakan al-Jurjani lebih representatif dalam mewakili kajian bahasa dan sastra Al-Qur’an yang sesuai dengan pendekatan ilmu-ilmu bahasa saat ini yang lebih dinamis. (*)
Salman Akif Faylasuf,
Alumnus Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo. Sekarang nyantri di Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo
Terpopuler
1
PBNU Tunjuk Ali Masykur Musa Jadi Ketua Pelaksana Kongres JATMAN 2024
2
Ulama Sufi Dunia Syekh Muhammad Hisham Kabbani Wafat dalam Usia 79 Tahun
3
GP Ansor DIY Angkat Penjual Es Teh Sunhaji Jadi Anggota Kehormatan Banser
4
Ricuh Aksi Free West Papua, PWNU DIY Imbau Nahdliyin Tetap Tenang dan Tak Terprovokasi
5
Khutbah Jumat: Meraih Keselamatan Akhirat dengan Meninggalkan 6 Perkara
6
GP Ansor Jatim Ingin Berangkatkan Umrah Bapak Penjual Es Teh yang Viral dalam Pengajian Gus Miftah
Terkini
Lihat Semua