Ilmu Al-Qur'an

Mengenal Etika Mendengarkan Bacaan Al-Qur’an

Kam, 12 Januari 2023 | 08:00 WIB

Mengenal Etika Mendengarkan Bacaan Al-Qur’an

Ilustrasi: Al-Qur’an (Freepik - NU Online)

Al-Qur’an merupakan kitab suci terakhir yang Allah swt turunkan kepada Nabi Muhammad saw untuk dijadikan pedoman dan sumber hidayah oleh umatnya. Dengan berpedoman pada Al-Qur’an, maka semua umat Islam akan mendapatkan jaminan selamat di dunia dan di akhirat.
 

Selain itu, semua hal-hal yang berkaitan dengan Al-Qur’an memiliki nilai yang sangat agung dan memiliki nilai pahala. Orang yang membaca Al-Qur’an misalnya, dan juga orang-orang yang mendengarkan bacaan tersebut. Semua bernilai kebaikan dan mengandung pahala. Karena itu, semua umat Islam dianjurkan untuk membacanya dan dianjurkan pula untuk mendengarkannya.
 

Dalam kesempatan ini, penulis akan menjelaskan perihal etika-etika mendengarkan bacaan Al-Qur’an dan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi. Hal ini sangat penting untuk diketahui, karena selama ini banyak orang yang mendengarkan bacaannya, namun tidak tahu etika yang harus dipedomani.
 

Berkaitan dengan hal ini, Al-Qur’an menjelaskan perihal etika-etika yang harus dipedomani oleh orang yang mendengarkan bacaannya. Allah swt berfirman:
 

وَإِذَا قُرِئ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُواْ لَهُ وَأَنصِتُواْ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
 

Artinya, “Apabila dibacakan Al-Quran, maka dengarkanlah dan diamlah, agar kamu mendapat rahmat.” (QS Al-A’raf: 204). 
 

Secara eksplisit, ayat ini menjelaskan bahwa yang harus dilakukan oleh orang-orang ketika mendengar bacaan Al-Qur’an adalah mendengarkannya dan diam. Namun secara implisit, terdapat dua lafal yang harus dipahami maksudnya dengan tepat dan benar, yaitu lafal fastami’u dan lafal anshitu.
 

Syekh Dr. Wahbah bin Musthafa Az-Zuhaili dalam kitabnya menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan kata fastami’u bukan sekadar mendengarkan saja, namun juga harus ada tujuan untuk mendengarkan bacaan Al-Qur’an dan disertai niat. Tidak bisa dikatakan istima’ (mendengarkan-dalam konteks ini) jika tidak dilandasi keduanya, tujuan dan niat. 
 

Sedangkan yang dimaksud dengan kata anshitu adalah mendengarkan bacaan Al-Qur’an dengan khidmat, penuh penghayatan, penuh sopan santun, dan merenungkan isi yang terkandung di dalamnya. Merasa takut kepada Allah dan siksaan-Nya, serta merasa bahwa dirinya adalah hamba yang hina, dan tidak memiliki daya apa-apa. (Wahbah bin Musthafa Az-Zuhaili​​​​, Tafsirul Munir fil 'Aqidah wasy Syari’ah wal Manhaj, [Beirut, Darul Fikr, cetakan kedua: 1418 H], juz IX, halaman 227).
 

Lantas, kapankah seseorang harus mendengarkan dan diam ketika mendengarkan bacaan Al-Qur’an?
 

Imam Fakhruddin Ar-Razi (wafat 606 H) dalam kitab tafsirnya menjelaskan, bahwa ayat di atas memiliki makna perintah, sehingga wajib hukum untuk mendengarkan orang yang sedang membaca Al-Qur’an di mana pun dan kapan pun. Hanya saja, para ulama tafsir lintas generasi memiliki pandangan yang berbeda dalam hal ini:
 

Pertama, wajib bagi setiap orang mendengarkan dan diam ketika terdapat Al-Qur’an yang dibaca. Pendapat ini menurut Hasan Bashri dan kalangan Ahlud Dhahir, yang memandang ayat ini dengan pandangan umum, sehingga wajib untuk mendengarkannya.
 

Kedua, hanya wajib dalam shalat saja, yaitu ketika imam membaca Al-Qur’an. Sebab, ayat ini diturunkan ketika banyak kalangan sahabat yang berkata ketika shalat. Ini menurut pendapat Qatadah.
 

Ketiga, ayat ini diturunkan sebagai perintah untuk tidak mengeraskan bacaan Al-Qur’an di belakang imam shalat.
 

Keempat, ayat ini diturunkan sebagai perintah untuk diam ketika khutbah Jumat sedang berlangsung, serta fokus mendengarkannya. Pendapat ini dikutip dari ulama kalangan Syafi’iyah. (Fakhruddin Ar-Razi, Tafsir Mafatih al-Ghaib, [Beirut, Darul Ihya At-Turats: 1420 H], juz XV, halaman 439).
 

Syekh Hasanain Muhammad Makhluf, salah satu mufti  besar di Mesir pada tahun 1946-1950 M, menjelaskan bahwa terdapat beberapa etika yang harus diperhatikan oleh orang-orang yang mendengarkan Al-Qur’an, di antaranya adalah memiliki tujuan untuk beribadah kepada Allah,  memperhatikan bacaannya, menumbuhkan kesadaran dalam dirinya, mendengarkan dengan seksama, dan diam. Dalam kitabnya disebutkan:
 

وَمِنْ أَدَابِ السِّمَاعِ اَلْاِنْتِبَاهُ وِالتَّيَقُّظُ وَالْاِصْغَاءُ وَالْاِنْصَاتُ

 

Artinya, “Dan di antara etika mendengarkan (Al-Qur’an) adalah memperhatikan (bacaannya), menumbuhkan kesadaran diri (menjadi motivasi), mendengarkan dengan benar, dan diam.” (Hasanain Makhluf, Al-Qur’an: Adabu Tilawatih wa Sima’ih, [Beirut, Darul Fikr], halaman 40).
 

Demikian penjelasan perihal etika-etika ketika mendengar bacaan Al-Qur’an. Dengan mengetahuinya, semoga menjadi penambah untuk terus senang membaca Al-Qur’an dan mendengarkannya, serta bisa menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber hidayah untuk terus meningkatkan ketakwaan kepada Allah.


 

Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur.