Ilmu Al-Qur'an

Syekh Abdul Fattah al-Qadhi, Penulis Produktif Ilmu Qira’at

Ahad, 27 Desember 2020 | 13:00 WIB

Syekh Abdul Fattah al-Qadhi, Penulis Produktif Ilmu Qira’at

Syekh Abdul Fattah al-Qadhi (kanan) saat menyimak bacaan Al-Qur'an. (Foto: Twitter @nuhsaunders)

Ulama dalam bidang ilmu qira’at memiliki kecenderungan dan kelebihan yang berbeda-beda. Ada yang dikenal sebagai seorang musnid yang memiliki banyak murid hingga menjadi muara sanad tertinggi pada masanya seperti Syekh Ahmad al-Zayyat. Ada pula yang produktif menulis dan mengajar hingga sanadnya terkenal dan menjadi muara sanad Mesir, yaitu Syekh Muhammad Mutawali. Ada juga yang produktif menulis karya dalam bidang qira’at tapi sanadnya tidak setenar karyanya, beliau adalah ulama yang akan dibahas dalam artikel ini, yaitu Abdul Fattah al-Qadhi. 


Nama lengkapnya, ‘Abd al-Fattah bin ‘Abd al-Ghani bin Muhammad al-Qadhi. Beliau lahir pada tanggal 25 Sya’ban 1325 H yang bertepatan dengan tanggal 14 Oktober 1907 M di kota Damanhur Kabupaten Buhairat Republik Arab Mesir. Beliau merupakan seorang yang alim dalam bidang ilmu qira’at, ilmu syari’at, dan bahasa Arab. Termasuk salah satu ulama al-Azhar yang memiliki jiwa sastra yang tinggi, dan karya-karyanya pun sangat luar biasa. Al-Qadhi meninggal pada tahun 1403 H yang bertepatan dengan tahun 1982 M, di usia beliau yang ke 75 tahun.


Perjalanan Ilmiah Abdul Fattah al-Qadhi

Al-Qadhi kecil tumbuh dan berkembang di kampung halamannya, Damanhur. Sejak kecil beliau sudah memulai menghafal Al-Qur’an beserta tajwidnya kepada Syekh ‘Ali ‘Iyadah, kemudian memperbagus bacaan dan hafalannya kepada Syekh Mah}mud Muhammad Ghazzal dan Syekh Mahmud Muhammad Nasruddin. Setelah hafalannya dianggap lancar, beliau melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi yaitu belajar qira’at al-Asyr. Dalam hal Al-Qur’an dan qira’atnya, beliau belajar kepada para ulama yang memiliki kredibiltas dan kapabilitas yang tidak diragukan dalam bidang Al-Qur’an dan qira’at pada masanya, di antaranya adalah: Syekh Hammam bin Quthub bin Abdul Hadidan dan Syekh Hasan Subhi. Selain keduanya, al-Qadhi juga belajar qira’at kepada Syekh Mahmud Muhammad Ghazzal dan Syekh Mahmud Muhammad Nasruddin. Setelah merampungkan belajar kepada para Syekh tersebut, al-Qadhi mendapatkan ‘ijazah sebagai legalitas kompetensi dalam ilmu qira’at.

 


Setelah menyelesaikan hafalan Al-Qur’an, beliau melanjutkan pendidikan formal pertamanya di Ma’had al-Azhar (setingkat Sekolah Menengah Pertama) di Alexandria. Setelah merampungkan sekolah menengah pertamanya, beliau melanjutkan ke tingkat tsanawiyah (setingkat Sekolah Menengah Atas) di sekolah yang sama hingga lulus. 


Perjalanan pendidikan beliau terbilang lancar tanpa ada halangan yang menghalau. Terbukti setelah merampungkan studi di Alexandria, beliau merantau ke kota Kairo untuk melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi (setingkat sekolah tinggi) di al-Azhar (sekarang telah menjadi universitas). Pada tahun 1931-1932 M, beliau mendapatkan ‘ijazah ‘alamiyah al-Nidhamiyah (ijazah yang sudah diakui di dunia Internasional) dari al-Azhar. Setelah menamatkan studi di tingkat sekolah tinggi, beliau melanjutkan ke jenjang selanjutnya dan mengambil konsentrasi Tafsir dan Hadis. Di tingkat perguruan tinggi inilah, beliau belajar berbagai macam disiplin ilmu langsung dari pakarnya. Kepakaran guru-guru beliau tidak hanya berada di level nasional tetapi Internasional. Di antara guru-guru beliau adalah Syekh al-Azhar Mahmud Syaltut, Dr. ‘Abdullah Daraz, Syekh Yusuf al-Dujawi, Syekh Ahmad Makki, Syekh Muhammad al-Khidir Husain, Syekh Sayyid bin ‘Ali al-Murshifi dan Syekh Mahmud Khithab al-Subki. Pada tahun 1934-1935 M, beliau telah menyelesaiakan studi tingkat tertingginya (sekarang setingkat doktoral).


Selain belajar kepada guru-guru di lembaga pendidikan formal, ketika berada di Kairo maupun Alexandria, beliau juga belajar kepada:

  1. Syekh Muhammad Taj al-Din dalam bidang Tafsir
  2. Syekh Syahadah Munisi dalam bidang Balaghah
  3. Syekh Hasan al-Syarif dalam bidang Hadis 
  4. Syekh Amin Mahmud Surur dalam bidang Tauhid 
  5. Syekh Ahmad ‘Arafat dalam bidang Akhlak
  6. Syekh Muhammad ‘Abdullah al-Jazzar, Syekh Muhammad Hasan al-Thudi dan Syekh Mahmud Abd al-Daim dalam bidang Fiqh.


Setelah merampungkan jenjang akademik tertinggi, beliau banyak melakukan kegiatan yang bersifat ilmiah, di antaranya yaitu:

 

  • Menjadi tenaga pengajar di Ma’had al-Azhar (setingkat SMA) di Kairo.
  • Ketua program studi qira’at. Program ini bagian dari jurusan bahasa Arab di al-Azhar (sekarang program qira’at telah mandiri)
  • Pengawas umum di berbagai ma’had yang berinduk ke al-Azhar
  • Kepala ma’had di Dasuq dan Damanhur
  • Menjadi wakil direktur umum di beberapa ma’had al-Azhar
  • Direktur utama di beberapa ma’had al-Azhar
  • Ketua program studi qira’at di Kuliah Al-Qur’an al-Karim dan Dirasah Islamiyah di Madinah sampai beliau wafat.
  • Ketua lajnah pentashih Mushaf cetakan al-Azhar
  • Menjadi khatib tetap di Masjid Imam Abdul Wahhab al-Sya’rani Kairo
  • Anggota lajnah pemilihan para qari’ di penyiaran radio Republik Mesir Arab.


Karena memiliki kapabilitas di perbagai ilmu Islam secara umum dan di bidang qira’at secara khusus, Al-Qadhi mendapatkan julukan al-‘Allamah. Cahaya keilmuan beliau tidak hanya tampak di Mesir saja, tapi sinarnya meluas hingga ke negara-negara Islam lainnya, seperti Hijaz, Tunisia dan Pakistan, maka tak ayal jika banyak yang menimba ilmu kepada beliau. Di antara murid-murid beliau adalah: Syekh Ibrahim al-Akhdhar (pemuka qari’ di Madinah), Syekh ‘Ali Abdurrahman al-Hudzaifi (imam Masjid Nabawi, Madinah), Syekh Abdul ‘Aziz al-Qari’ (Mantan Dekan Kuliah Al-Qur’an, Madinah), Syekh Munir Muhammad al-Mudhaffar at-Tunisi, Syekh Raziq Khalil Habbah (Palestina), Sa’id Ahmad bin Muhammad Isa al-Sanadi (kepala sekolah madrasah Dar Al-Qur’an, Pakistan). Sementara murid yang dari Mesir sendiri tidak terhitung jumlahnya, di antaranya yang terkenal, yaitu: Dr. Zakaria al-Bariy (mantan Menteri Perwakafan), Dr. Musa Lasyin (mantan dekan fakultas ushuluddin), Dr. ‘Iwadullah Hijazi (mantan dekan fakultas ushuluddin), Syekh Shadiq Qamhawi (penulis buku Risalah al-Burhan fi al-Tajwid), Syekh Salim Muhaisin (Pakar qira’at dan penulis buku terkenal dalam bidang qira’at), Dr. Sya’ban Muhammad Isma’il (penulis buku al-Qira’at Ahkamuha wa Mashdaruha) dan Syekh Khalil al-Hushari (qari’ Internasional).


Karya-karya ‘Abd al-Fattah al-Qadhi

Sebagai intelektual yang produktif dalam menekuni bidang qira’at, beliau memiliki beberapa karya yang terkenal di dunia Islam, terutama di kalangan mahasiswa dan para pecinta qira’at. Hampir keseluruhan karya beliau berhubungan dengan ilmu Al-Qur’an dan qira’atnya. Di antara karya-karya beliau dalam bidang qira’at adalah:

  1. Al-Wafi, Syarh ‘Ala al-Syathibiyah fi al-Qira’at al-Sab’i. Karya ini merupakan penjelasan mengenai bait-bait syair milik Imam al-Syathibiy tentang qira’at sab’ah yang menjadi diktat khusus di ma’had Al-Qur’an hingga saat ini. Bahasa dan sistematika yang baik dari kitab ini menjadi daya tarik tersendiri bagi setiap insan yang hendak menekuni ilmu qira’at. Dalam karyanya ini, al-Qadhi menjelaskan setiap bait syair yang digubah oleh Imam al-Syathibi dengan menisbatkan setiap bacaan pada imam dan perawinya. Di akhir penjelasan, beliau menyimpulkan serta mencamtumkan contoh secara lengkap. Hal inilah yang menjadi keistimewaan karya ini.
  2. Al-Idhah, Syarh ‘Ala al-Durrah al-Mudhi’ah fi al-Qira’at al-Tsalatsah al-Mutammimat li al-Qira’at al-‘Asyr. Buku ini merupakan penjelasan tentang bait-bait syair gubahan Imam al-Jazari dalam bidang qira’at tiga -sebagai penyempurna kesepuluh imam qira’at (Imam Ja’far bin Qa’qa’, Ya’kub al-Hadrami dan Khallaf al-‘Asyir)-. Metode yang dipakai dalam menjelaskan kitab ini sama persis seperti buku al-Wafi.
  3. Al-Budur al-Zahirah fi al-Qira’at al-Asyr al-Mutawatirah. Kitab ini diterbitkan oleh Dar al-Salam pada tahun 2008. Dalam buku ini, al-Qadhi memetakan setiap perbedaan (farsy al-kalimat) dinisbatkan kepada imam dan perawinya. Setiap bacaan taqlil, imalah, ya’ idhafah wa al-Zawaid dan idgham Kabir diberi bab tersendiri untuk memudahkan pembaca. Peletakan bab-bab tersebut di akhiri pemetaan perbedaan bacaan dalam kalimat.
  4. Nadhm al-Faraid al-Hisan fi ‘Addi Ayi Al-Qur’an. Karya ini berupa bait-bait syair yang menjelaskan tentang jumlah bilangan ayat-ayat Al-Qur’an.
  5. Al-Nadhm al-Jami’ li Qira’at al-Imam Nafi’. Karya ini juga berbentuk syair tentang bacaan Imam Nafi’. Imam Nafi’ mempunyai dua perawi terkenal, yaitu: Qalun dan Warsy. Dalam karyanya ini, al-Qadhi menjelaskan beberapa perbedaan antara bacaan Warsy dan Qalun. Di samping itu, beliau juga memetakan silsilah mata rantai dan jalur dari keduanya.
  6. Syarah Al-Nadhm al-Jami’ li Qira’at al-Imam Nafi’ Min al-Syatibiyah. Karya ini merupakan penjelasan dari karya beliau sebelumnya. Akan tetapi, dalam karya ini beliau lebih spesifik pada jalur al-Syathibi.
  7. Syarah Sirr al-Mashun fi Riwayat Qalun min al-Syathibiah. Kitab ini menjelaskan tentang bacaan imam Qalun, perawi imam Nafi’, dari jalur imam Syatibi.
  8. Syarah Minhat Muli al-Birri Fima Zada al-Nasyar li al-Qurra’ al-Asyrah li al-Allamah al-Abyari. Dalam kitab ini, beliau menjelaskan bait-bait syair yang di tulis oleh imam al-Abyari tentang tiga imam qurra’ sebagai penyempurna sepuluh imam qira’at dalam buku al-Nasyr, karya al-Jazariy.
  9. Al-Qira’at fi Nadhar al-Mustasyriqin wa al-Mulhidin. Merupakan kitab yang sangat baik. Penulisan kitab ini merupakan permintaan mantan Syekh al-Azhar dan Menteri Urusan Waqaf dan al-Azhar, Prof. Dr. ‘Abd al-Halim Mahmud, untuk membantah pemikiran orientalis Ignaz Goldziher, khususnya yang berkaitan dengan qira’at. Dalam muqaddimahnya, al-Qadhi menulis: “Suatu hal yang cukup menarik bagi saya, Prof. Dr. ‘Abd al-Halim Mahmud, Menteri Urusan Waqaf dan al-Azhar telah menyampaikan secara langsung kepada saya terkait buku yang mengkritik qira’at Al-Qur’an yang ditulis oleh orientalis Ignaz Goldziher”. Dalam buku ini, al-Qadhi memaparkan argumentasi secara ilmiah untuk mengkritik cara pandang Goldziher tentang qira’at. Di samping itu, dalam pernyataannya, al-Qadhi juga menyampaikan bahwa dalam mengkritik dan meng-konter, beliau tidak ada rasa fanatik maupun antipati kecuali semata-mata ikhlas untuk menjaga kesucian Al-Qur’an. Pendekatan yang digunakan dalam mengkritik Goldziher adalah pendekatan sejarah. 
  10. Basyir al-Yusri fi ‘Ilm al-Fawasil. Kitab ini menjelaskan tentang fasilah dalam ayat-ayat Al-Qur’an.
  11. Al-Qira’ah al-Syadzah wa Taujihatiha min Lughat al-Arab. Kitab ini menjadi diktat tetap di ma’had Al-Qur’an al-Azhar sampai sekarang. Dalam karyanya ini, beliau menjelaskan tentang qira’at syadz dan orientasi pemaknaan qira’ah syadz.
  12. Tarikh al-Mushhaf al-Syarif. Dalam karyanya ini, beliau menjelaskan tentang sejarah pembukuan Al-Qur’an sejak masa Nabi hingga masa Utsman. kitab ini dicetak oleh Maktabah al-Qahirah pada tahun 2010.
  13. Tarikh al-Qurra’ al-Asyrah wa Ruwatuhum wa Tawatur Qira’atihim wa Manhaj Kullin fi al-Qira’ah. Buku ini menjelaskan tentang profil imam-imam qurra’ dan perawinya serta metode bacaannya.


Di samping karya-karya tentang qira’at dan tajwid, beliau juga menulis tentang studi yang lain. Di antara sebagai berikut:

  1. Al-Siyam wa Fadhailuhu wa Ahkamuhu. Kitab ini cetak berulang-ulang oleh Majma’ al-Buhuts al-Islamiyah, al-Azhar (Kantor Studi Riset Keislaman al-Azhar).
  2. Syarah Arjuzah al-Mirats. Kitab ini merupakan penjelasan dari bait-bait syair yang berada pada kitab Nafisah li al-Ghayah.

 


Moh. Fathurrozi, Pengurus Jam’iyatul Qurra’ wal Huffadz NU Surabaya; Pembina Tahfidz Al-Qur’an Pondok Pesantren Darussalam Keputih