Ilmu Hadits

Bahaya Membatalkan Puasa Ramadhan Tanpa Alasan dalam Tinjauan Hadits

Rabu, 12 Maret 2025 | 20:00 WIB

Bahaya Membatalkan Puasa Ramadhan Tanpa Alasan dalam Tinjauan Hadits

Bahaya membatalkan puasa ramadhan tanpa alasan (freepik)

Permasalahan yang sering menjadi perhatian para ulama di bulan Ramadhan adalah orang yang sengaja membatalkan puasa Ramadhan tanpa alasan syar’i yang dibolehkan, seperti sakit, bepergian jauh, atau kondisi lain yang termasuk rukhshah (keringanan) dari Allah.
 

Dalam literatur hadits, terdapat beberapa riwayat yang membahas konsekwensi dari perbuatan tersebut, baik dari sisi hukum syariat maupun ancaman yang terkait dengannya. Salah satu hadits yang sering dijadikan rujukan dalam pembahasan ini adalah riwayat dari Abu Hurairah yang menyatakan:
 

أنَّ رسولَ اللهِ - صلى الله عليه وسلم - قال: مَن أفطَرَ يَومًا مِن رَمَضانَ في غَيرِ رُخصَةٍ رَخَّصَها اللهُ عَزَّ وجَلَّ له لَم يَقضِ عنه وإِن صامَ الدَّهرَ كُلَّه
 

Artinya, "Sungguh Rasulullah saw bersabda, 'Siapa pun yang berbuka (tidak berpuasa) satu hari di bulan Ramadhan tanpa adanya rukhsah (keringanan) yang diberikan oleh Allah ‘azza wa jalla, maka puasanya tidak akan bisa diganti (ditebus) meskipun ia berpuasa sepanjang masa'.” (Hadits riwayat At-Thayalisi, Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i dalam Al-Kubra, dan Ibnu Khuzaimah melalui jalur Syu’bah, dari Habib bin Abi Tsabit, dari ‘Amarah bin ‘Umair, dari Abul Mutawwis, dari ayahnya, dari Abu Hurairah).
 

Secara literal, hadits di atas menegaskan bahwa siapa saja yang dengan sengaja membatalkan puasa Ramadhan tanpa alasan yang dibolehkan oleh syariat, maka puasa sepanjang masa (selamanya) tidak akan dapat menggantikan atau menebus puasa yang ditinggalkannya tersebut. Hadits ini tampak memberikan peringatan keras terhadap pelaku perbuatan tersebut.
 

Namun, status hadits menjadi perdebatan di kalangan ulama hadits. Imam At-Tirmidzi dalam Sunan menyatakan, ia bertanya kepada Imam Al-Bukhari tentang hadits ini. Al-Bukhari menjelaskan bahwa perawi kunci dalam sanad ini, yaitu Abul Muthawwis (Yazid bin al-Mutawwis), adalah perawi yang hanya dikenal meriwayatkan hadits ini saja (tafarrud), dan tidak jelas apakah ayahnya benar-benar mendengar langsung dari Abu Hurairah atau tidak. Hal ini menunjukkan adanya kelemahan dalam sanad. (Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kabir, [Ttp, Markaz Hajar untuk Riset dan Studi Arab & Islam: 1432 H - 2011 M], jilid VIII, halaman 499).
 

Al-Bukhari sendiri tidak memasukkan ‘hadits’ ini dalam Shahih-nya, melainkan hanya menyebutkannya dalam tarjamatul bab (judul bab), sebagai bentuk penguat pembahasan, tanpa menegaskan keabsahannya. Ia juga menjelaskan bahwa Ibnu Mas‘ud memiliki pendapat yang sama dengan hadits di atas.
 

Berbeda dengan Sa‘id bin Al-Musayyib, As-Sya‘bi, Ibnu Jubair, Ibrahim, Qatadah, dan Hammad, yang berpendapat bahwa pelaku yang membatalkan puasa secara sengaja di satu hari bulan Ramadhan, maka harus mengganti (puasa) satu hari sebagai gantinya. (Lihat Shahihul Bukhari, [Beirut, Dar Thawqin Najah: 1422], jilid III, halaman 32).
 

Selain hadits Abu Hurairah, terdapat pula riwayat dari Abdullah bin Mas’ud yang memiliki makna serupa. Informasi ini dinisbatkan kepadanya sebagai hadits mauquf (hadits yang sumbernya dari Sahabat Nabi):
 

مَن أفطَرَ يَومًا مِن رَمَضانَ مِن غَيرِ عِلَّةٍ لَم يُجزِه صيامُ الدَّهرِ حَتَّى يَلقَى اللهَ عَزَّ وجَلَّ، فإِن شاءَ غَفَرَ له وإِن شاءَ عَذَّبَه
 

Artinya, “Siapa pun yang berbuka (tidak berpuasa) satu hari di bulan Ramadan tanpa uzur (alasan yang dibenarkan), maka puasanya sepanjang masa tidak akan mencukupinya hingga ia bertemu dengan Allah ‘Azza wa Jalla. Jika Allah menghendaki, Dia akan mengampuninya, dan jika Dia menghendaki, Dia akan mengazabnya.” (HR Al-Baihaqi).
 

Riwayat ini menyebutkan bahwa seseorang yang membatalkan puasa tanpa alasan tidak akan dapat menebusnya dengan puasa sepanjang masa hingga ia bertemu Allah, dan keputusan akhir ada pada Allah untuk mengampuni atau menghukumnya.
 

Riwayat dari Abdullah bin Mas’ud  di atas juga dikomentari oleh Al-Baihaqi, bahwa pada sanadnya terdapat sosok ‘Abdul Malik putra dari Husain An-Nakha’i, yang dinilai kurang kredibel dalam periwayatan. (Al-Baihaqi, VIII/499). 
 

Terdapat juga beberapa riwayat yang menyoroti konsekuensi meninggalkan puasa Ramadhan sehari secara secara, dengan menggantinya sebulan, seperti riwayat yang disampaikan Ad-Daraquthni:
 

من أفطر يوما من رمضان من غير عذر فعليه صيام شهر
 

Artinya, “Barang siapa yang berbuka (tidak berpuasa) satu hari di bulan Ramadan tanpa uzur, maka ia wajib berpuasa satu bulan sebagai gantinya.” (Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya).
 

Hadits ini menyatakan bahwa pelaku harus berpuasa selama satu bulan sebagai ganti. Namun, Ad-Daruquthni sendiri menyebutkan bahwa sanadnya tidak kuat (ghair tsabit), dan terdapat pada perawi yang dinilai dha’if, yaitu Mandal bin ‘Ali. (Lihat Sunan Ad-Daraquthni, [Beirut, Darul Ma’rifah: 1966], jilid II, halaman 191).
 

Berdasarkan penelitian para ulama hadits, mayoritas riwayat yang menyebutkan ancaman keras terhadap orang yang sengaja membatalkan puasa Ramadhan tanpa alasan syar’i memiliki kelemahan dalam sanadnya. 
 

Dengan demikian, tidak ada satupun hadits shahih yang secara tegas menyatakan bahwa puasa yang sengaja dibatalkan tanpa alasan tidak dapat diqadha seumur hidup, atau membawa konsekuensi seberat yang disebutkan dalam riwayat-riwayat tersebut.
 

Kendati demikian, hadits di atas menjadi salah satu peringatan keras dalam Islam terkait tindakan sengaja membatalkan puasa Ramadhan tanpa alasan syar’i. Para ulama memberikan penafsiran mendalam untuk memahami makna hadits ini, baik dari sisi hukum syariat maupun implikasi moralnya. Al-Mubarakfuri menukil beberapa pendapat ulama sebagai berikut:
 

Al-Muzhiri menyatakan bahwa hadits ini tidak bertujuan untuk meniadakan kewajiban qadha puasa secara harfiah. Menurutnya, ungkapan “tidak akan dapat menggantinya dengan puasa sepanjang masa” merujuk pada puasa sunnah. 
 

Artinya, puasa sunnah, meskipun dilakukan seumur hidup, tidak dapat menyamai keutamaan puasa wajib di bulan Ramadhan. Ia menegaskan bahwa secara hukum, qadha puasa satu hari tetap sah dan mencukupi untuk menggantikan satu hari yang ditinggalkan. Dengan kata lain, kewajiban syariat tetap terpenuhi, meskipun keutamaan khusus puasa Ramadhan tidak dapat dicapai melalui qadha. (Al-Mubarakfuri, Mir’atul Mafatih, [Benares India, Departemen Riset Ilmiah, Dakwah, dan Fatwa: 1404 H / 1984 M], jilid VI, halaman 529).
 

Sementara itu, At-Thayyibi memandang hadits ini sebagai bentuk tasydid wa taghlizh (penegasan dan peringatan keras) yang bertujuan untuk menanamkan rasa takut dan keseriusan dalam menjaga puasa Ramadhan. 
 

Ia menyoroti penggunaan frasa “meskipun ia berpuasa” sebagai penegasan bahwa bahkan puasa qadha yang dilakukan dengan penuh kesungguhan dan tanpa kelalaian di luar bulan Ramadhan tetap tidak dapat menyamai keutamaan puasa Ramadhan yang ditinggalkan tanpa alasan. Sehingga menurutnya, puasa seumur hidup tidak akan cukup untuk menebus hilangnya puasa Ramadhan, baik dari sisi pahala maupun nilai spiritualnya. (Al-Mubarakfuri, VI/529).
 

Ibnul Munir memperluas penafsiran dengan menekankan perbedaan mendasar antara adā’ (pelaksanaan pada waktunya) dan qadha (penggantian di luar waktunya). Ia berpendapat bahwa hadits ini menunjukkan bahwa qadha tidak mampu menggantikan kedudukan adā’ dalam hal kesempurnaan pahala dan keutamaan. 
 

Meskipun seseorang berpuasa sepanjang hidupnya sebagai ganti satu hari yang ditinggalkan, itu tidak akan setara dengan puasa Ramadhan yang dilakukan pada waktu yang ditentukan Allah. Namun, ia menegaskan bahwa ini tidak berarti qadha ditolak secara total. 
 

Dalam hukum syariat, qadha tetap dapat menggugurkan kewajiban secara umum, meskipun tidak mencapai kesempurnaan adā’. Ia juga membandingkan kasus ini dengan ibadah lain, dengan menyatakan bahwa tidak ada ibadah wajib yang terikat waktu yang tidak menerima qadha, kecuali shalat Jumat, yang terikat pada syarat waktu tertentu dan tidak dapat diganti di luar harinya.
 

Ibnu Hajar, sebagai salah satu ulama hadits terkemuka, menyoroti konsensus mayoritas ulama yang berbeda. Menurut mereka, qadha satu hari tetap sah dan cukup sebagai pengganti, terlepas dari perbedaan kondisi, misalnya, hari Ramadhan yang ditinggalkan sangat panjang dan panas, sementara hari qadha pendek dan sejuk ((Al-Mubarakfuri, VI/529). 
 

Ragam Pandangan Ahli Fiqih tentang Orang yang Sengaja Membatalkan Puasa Tanpa Alasan

Imam An-Nawawi menyebutkan dalam Al-Majmu’, menurut mazhab Syafi’i, orang yang sengaja membatalkan puasa di siang hari Ramadhan tanpa alasan syar’i wajib mengganti satu hari sebagai pengganti hari yang ditinggalkan, serta menahan diri dari makan dan minum untuk sisa hari itu. 
 

وإذا قضى يوما كفاه عن الصوم وبرئت ذمته منه
 

Artinya, “Jika ia telah meng-qadha satu hari puasa Ramadhan, maka itu sudah cukup baginya untuk menggantikan kewajiban puasa yang ditinggalkannya, dan ia tidak memiliki tanggungan lain." (An-Nawawi, Al-Majmu’, [Beirut, Darul Fikr: t.t.], jilid VI, halaman 329). 
 

Pendapat di atas juga dipegang oleh Abu Hanifah, Malik, Ahmad, dan mayoritas ulama. Al-‘Abdi menyatakan bahwa ini adalah pandangan seluruh ahli fiqih, kecuali beberapa fuqaha sebagaimana berikut:

  1. Ibnu Mundzir dan beberapa ulama lain meriwayatkan dari Rabi’ah bin Abi Abdurrahman bahwa orang tersebut wajib berpuasa selama dua belas hari sebagai ganti setiap satu hari yang ditinggalkan, dengan alasan bahwa satu tahun terdiri dari 12 bulan.
  2. Sa’id bin al-Musayyab berpendapat bahwa ia wajib berpuasa 30 hari.
  3. Ibrahim an-Nakha’i menyatakan bahwa ia harus berpuasa tiga ribu hari. (An-Nawawi, VI/329).

.
Lantas, selain mengqadha puasa, apakah harus juga membayar kafarah atau fidyah, jika sengaja membatalkan puasa di siang hari Ramadhan? 
 

Menurut An-Nawawi, dalam mazhab Syafi’i tidak ada kewajiban apa pun yang harus ditanggung, kecuali hanya mengqadha. Pendapat ini juga dipegang oleh Sa’id bin Jubair, Ibnu Sirin, An-Nakha’i, Hammad bin Abi Sulaiman, Ahmad, dan Dawud. (An-Nawawi, VI/329). 
 

Dengan demikian, seorang Muslim harus berhati-hati dalam menjaga puasa Ramadhan dan menghindari pembatalan tanpa alasan yang dibenarkan syariat, karena perbuatan tersebut tidak hanya melanggar perintah Allah, tetapi juga mengurangi keutamaan ibadah yang agung ini.
 

Hadits-hadits yang panjang lebar dibahas di atas, meskipun kualitasnya tidak shahih, tetap memiliki nilai pendidikan untuk menanamkan rasa takut kepada Allah, dan menjaga kesucian serta kualitas ibadah puasa Ramadhan. Wallahu a’lam bis shawab.
 


Ustadz Amien Nurhakim, Redaktur Keislaman NU Online dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas PTIQ Jakarta.