Ilmu Hadits

Bijak Menyikapi Hadits-Hadits Keutamaan Puasa ‘Asyura

Sab, 22 Juli 2023 | 09:00 WIB

Bijak Menyikapi Hadits-Hadits Keutamaan Puasa ‘Asyura

Bijak Menyikapi Hadits-Hadits Keutamaan Puasa ‘Asyura. (Foto: NU Online/Freepik)

Puasa ‘Asyura merupakan salah satu puasa yang disunnahkan di dalam Islam. Sesuai namanya, puasa ini dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram. Di dalam sebuah riwayat diilustrasikan bahwa Rasulullah Saw memerintahkan para sahabatnya untuk menunaikan puasa di 10 Muharram. hadits ini diriwayatkan oleh ibunda Aisyah r.a.:


كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الجَاهِلِيَّةِ، وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ، فَلَمَّا قَدِمَ المَدِينَةَ صَامَهُ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ، فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ، وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ


Artinya: “Puasa Asyura’ adalah puasa yang dilakukan oleh orang Quraisy pada zaman jahiliyyah dan Rasulullah ﷺ juga melakukan puasa pada hari itu. Ketika Nabi datang ke Madinah juga melakukan puasa dan menyuruh para sahabat menjalankan puasa Asyura’. Namun ketika puasa Ramadhan mulai diwajibkan, Nabi meninggalkan puasa Asyura’. Maka barangsiapa yang ingin berpuasa, silakan, dan siapa saja yang ingin meninggalkan, juga silakan,” (HR Bukhari: 2002).


Berdasarkan hadits ini dan beberapa hadits lainnya, para ulama merumuskan hukum kesunnahan puasa ‘Asyura. Bahkan di dalam kitab al-Minhaj Syarah Sahih Muslim, dijelaskan bahwa kesunnahan puasa ‘Asyura sudah mencapai taraf ijma’ di kalangan para ulama. Imam an-Nawawi menyebutkan:


وَالْعُلَمَاءُ مُجْمِعُونَ عَلَى اسْتِحْبَابِهِ وَتَعْيِينِهِ لِلْأَحَادِيثِ


Artinya: “Para ulama sepakat (ijmak) atas kesunnahan dan ketentuan puasa ’Asyura berdasarkan beberapa hadits (yang berbicara tentangnya).” [8/5]


Meskipun para ulama sepakat atas kesunnahan puasa ‘Asyura, sebagai umat Islam kita perlu hati-hati dalam menerima dan menyampaikan hadits-hadits yang terkait dengan keutamaan puasa ‘Asyura. Pasalnya, tidak semua hadits yang acap kita dengar tentang keutamaannya berkualitas sahih ataupun hasan. Bahkan ditemukan ada hadits yang menunjukkan fadhilah puasa ‘Asyura yang berkualitas palsu. 


Salah satunya adalah hadits tentang balasan pahala ibadah selama enam puluh tahun bagi orang yang melaksanakan puasa ‘Asyura. hadits itu berbunyi:


من صَامَ يَوْم عَاشُورَاء ‌كتب ‌الله ‌لَهُ ‌عبَادَة ‌سِتِّينَ ‌سنة


Artinya: “Barang siapa yang menunaikan ibadah puasa pada hari ‘Asyura, maka Allah akan tulis untuknya pahala ibadah selama enam puluh tahun.”


Setelah ditelusuri, hadits ini tidak ditemukan di beberapa kitab hadits yang masyhur, seperti kutubus sittah maupun kumpulan hadits di kutubut tis’ah. Bahkan hadits ini juga tidak dijumpai di kumpulan kitab-kitab hadits para Imam muktabar (tersohor) lainnya, seperti Ibnu Khuzaimah (w. 311 H), at-Thabrani (w. 360 H), al-Hakim (w.405 H), dan lainnya. Hadits ini ditemukan di kitab al-Maudhu’at karya Ibnu al-Jauzi (w. 597 H), yaitu kitab yang menghimpun kumpulan hadits-hadits palsu. Hadits ini diriwayatkan oleh Habib bin Abi Habib. Ia mendapatkan komentar negatif dari sekelompok ulama.


Habib bin Abi Habib bernama lengkap Habib bin Abi Habib al-Kharthathi al-Marwazi. Ia berasal dari Desa Kharthathah, sebuah desa di negeri Marwa. Ibnu Hibban (w. 354 H) di dalam karyanya al-Majruhiin menyebutkan bahwa ia termasuk orang yang memalsukan hadits.


كان يضع الحديث على الثقات، لا يحل كتابة حديثه ولا الرواية عنه إلا على سبيل القدح فيه


Artinya: “Ia telah memalsukan hadits dari perawi yang tsiqah, tidak halal menuliskan dan meriwayatkan haditsnya kecuali menyebutkan celanya (kepalsuannya).” [1/323]


Lebih lanjut Ibnu Hibban (w. 354 H) menyebutkan salah satu hadits mawdhu’ yang diriwayatkan oleh Habib bin Abi Habib, yaitu hadits yang terkait dengan keutamaan hari ‘Asyura ini. hadits ini begitu panjang yang ia terima dari Ibrahim as-Shaigh.


Tidak hanya Ibnu Hibban, penilaian yang serupa juga datang dari para kritikus hadits lainnya. Seperti al-Hakim (w. 405 H) dan Abu Sa’ad as-Sam’ani (w. 562 H). Hal ini sebagaimana diutarakan oleh Ibnu Hajar al-‘Asqalani (w. 852 H) di dalam kitabnya Tahzib at-Tahzib:


وقال الحاكم روى أحاديث موضوعة وكذا رماه بالوضع النقاش وأبو سعيد السمعاني


Artinya: “Dan berkata Imam Hakim, Habib bin Abi Habib telah meriwayatkan hadits-hadits yang palsu. Dan ia juga dilabeli sebagai pemalsu hadits oleh para kritikus hadits lainnya dan juga oleh Abu Said as-Sam’ani.” [2/182]


Dengan demikian, sudah tidak diragukan lagi bahwa hadits ini memang bermasalah, bahkan kualitasnya palsu berdasarkan penjelasan Ulama kritikus hadits. Tidak ada ditemukan satu pun qaul (pendapat/penilaian) kritikus hadits yang memberikan komentar positif terhadapnya. Malah penilaian negatif banyak kita temukan tertuju kepadanya dari sejumlah kritikus hadits yang tidak diragukan lagi kredibilitasnya.


Tidak hanya dari aspek sanad, masalah juga terlihat dari muatan matan yang terdapat di dalam hadits. Imam as-Suyuthi (w. 911 H) di dalam kitabnya Tadribur Rawi Syarh at-Taqrib an-Nawawi, menyebutkan salah satu aspek yang dapat membantu peneliti hadits dalam mengidentifikasi kepalsuan hadits adalah bahwa matan yang terdapat di dalam hadits menjanjikan pahala yang berlipat ganda untuk ibadah yang kecil/ringan.


وَمِنْهَا الْإِفْرَاطُ بِالْوَعِيدِ الشَّدِيدِ عَلَى الْأَمْرِ الصَّغِيرِ، أَوِ الْوَعْدِ الْعَظِيمِ عَلَى الْفِعْلِ الْحَقِيرِ


Artinya: “Dan diantaranya (ciri-ciri hadits palsu) adalah berlebihan dalam memberikan azab bagi perkara sepele, atau jaminan pahala yang agung untuk perilaku yang rendah (ibadah yang biasa saja).” [1/326]. 


Jika ketentuan ini digunakan dalam menganalisis muatan hadits fadhilah puasa ‘Asyura, maka kita akan menemukan hadits ini menjanjikan pahala yang cukup signifikan bagi orang yang menunaikan puasa di 10 Muharram, yaitu pahala yang sebanding dengan menunaikan ibadah selama 60 puluh tahun. Kita bisa membayangkan akan besar dan tingginya pahala yang dijanjikan, padahal ibadah yang ditunaikan hanyalah puasa selama satu hari. Tentu balasan ini tampak berlebihan untuk suatu ibadah yang hanya dihukumi sunnah, tidak diwajibkan.


hadits Sahih Keutamaan Puasa ‘Asyura

Meskipun terdapat hadits yang bermasalah tentang keutamaan puasa ‘Asyura’, hal ini bukan berarti kita harus mengabaikan keutamaan bagi orang yang menunaikan puasa ‘Asyura yang diisyaratkan oleh hadits yang lain. Rasulullah Saw telah menjanjikan balasan yang tak kalah penting bagi orang yang menunaikan puasa ‘Asyura, yaitu dapat menghapus kesalahan yang telah dilakukan selama selama satu tahun. 


وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ ‌يَوْمِ ‌عَاشُورَاءَ؟ فَقَالَ "يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ


Artinya: “Rasulullah Saw pernah ditanya tentang puasa hari ‘Asyura? Lalu Rasulullah Saw bersabda, (Puasa ‘Asyura) dapat menghapus dosa satu tahun yang lalu’.” (HR. Muslim)


Melalui hadits ini, Rasulullah menjanjikan balasan yang besar terhadap orang yang menunaikan puasa ‘Asyura, yaitu dapat menghapus dosa yang telah ia lakukan selama satu tahun sebelumnya. Namun, perlu dijadikan catatan bahwa dosa yang dimaksud di sini bukanlah semua dosa, namun hanya terbatas pada dosa kecil saja. Hal ini dijelaskan oleh Imam Nawawi (w. 656 H) di dalam kitabnya al-Minhaj Syarh Sahih Muslim sebagai berikut:


قَالُوا وَالْمُرَادُ بِهَا الصَّغَائِرُ وَسَبَقَ بَيَانُ مِثْلِ هَذَا فِي تَكْفِيرِ الْخَطَايَا بِالْوُضُوءِ وَذَكَرْنَا هُنَاكَ أَنَّهُ إِنْ لَمْ تَكُنْ صَغَائِرُ يُرْجَى التَّخْفِيفُ مِنَ الْكَبَائِرِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ رُفِعْتَ دَرَجَاتٍ


Artinya: “Para ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan dosa disini hanyalah dosa kecil. Penjelasan ini telah diuraikan pada pembahasan wudhu dapat menghapus kesalahan-kesalahan. Di pembahasan itu, kami telah menyebutkan jika seseorang tidak memiliki dosa kecil, maka perbuatan (wudhu) dapat meringankan dosa besar yang ia lakukan. Lalu, jika ia juga tidak memiliki dosa besar, maka wudhu ataupun puasa yang ia lakukan dapat mengangkat derajatnya.” [8/51]. 


Dengan demikian, sebagai muslim kita perlu arif dan selektif dalam menerima dan menyampaikan keutamaan puasa ‘Asyura. Hal ini juga tidak hanya berlaku tentang fadhilah puasa ‘Asyura, tapi juga untuk fadhilah ibadah-ibadah lainnya. Pasalnya, adanya hadits palsu dalam dunia Islam tidak dapat kita hindarkan. Hadits palsu tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum. Di samping itu, kita juga dilarang menyampaikan hadits palsu kecuali dengan memberikan keterangan bahwa hadits itu palsu dan tidak menisbatkannya kepada Rasulullah Saw. Wallahua’lam


Abdul Kamil, Pegiat kajian tafsir dan hadits, tinggal di Jakarta