Ilmu Hadits

Di Tengah Dominasi AI, Begini Pesan Nabi tentang Pentingnya Kesadaran Manusia

NU Online  ยท  Senin, 14 April 2025 | 08:00 WIB

Di Tengah Dominasi AI, Begini Pesan Nabi tentang Pentingnya Kesadaran Manusia

Ilustrasi Artificial Intelligence (AI). (Foto: NU Online/Freepik)

Tren pembuatan gambar ala Studio Ghibli menggunakan AI tengah viral di media sosial, memikat banyak pengguna dengan estetika visual yang memukau dan nostalgia khas karya Hayao Miyazaki. Teknologi AI memungkinkan siapa saja menghasilkan ilustrasi bergaya Ghibli dengan mudah, namun di balik kepopulerannya, ada risiko yang perlu diwaspadai.

 

Perkembangan Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan telah mengubah wajah dunia dengan kecepatan yang luar biasa. Dari asisten virtual hingga sistem pengambilan keputusan otomatis, AI menjanjikan efisiensi dan kemudahan dalam berbagai aspek kehidupan.ย 

 

Namun, di balik kemajuan tersebut, muncul kekhawatiran bahwa AI justru mulai menggeser dan mereduksi kesadaran serta kemampuan manusia. Fenomena ini bukan hanya soal teknologi, tetapi juga menyentuh dimensi etika, spiritual, dan kemanusiaan.ย 

 

Berbagai sumber menyoroti dampak negatif AI yang kian nyata. Sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal Humanities and Social Sciences Communications Sayed Fayaz Ahmad, dkk., menunjukkan bahwa AI berdampak signifikan terhadap hilangnya kemampuan pengambilan keputusan manusia, kemalasan, serta masalah privasi (2023: hlm. 1).ย 

 

Penelitian yang dilakukan di kalangan mahasiswa di Pakistan dan Tiongkok ini mengungkapkan bahwa 68,9% kemalasan manusia, 68,6% masalah privasi dan keamanan, serta 27,7% hilangnya kemampuan pengambilan keputusan disebabkan oleh ketergantungan pada AI. Fenomena ini menunjukkan bahwa AI, meski dirancang untuk membantu, dapat membuat manusia kehilangan inisiatif dan kemampuan berpikir kritis.

 

Selain itu, artikel dari Harvard Business Review menegaskan bahwa AI seharusnya mengaugmentasi kecerdasan manusia, bukan menggantikannya. Namun kenyataannya, banyak sistem AI yang digunakan secara berlebihan justru mengurangi peran manusia dalam proses kreatif dan pengambilan keputusan.ย 

 

Misalnya, David De Cremer dan Garry Kasparov dalam AI Should Augment Human Intelligence, Not Replace It menyebutkan, ketergantungan pada algoritma untuk menyaring informasi dapat membatasi perspektif seseorang, menciptakan bias, dan mengurangi kemampuan untuk berpikir secara independen.

 

Di Indonesia, dampak negatif AI juga mulai terlihat. Mengutip Antara News, penggunaan AI yang berlebihan dapat menyebabkan penurunan kemampuan kognitif, kecanduan teknologi, dan ancaman terhadap privasi data.

 

Artikel serupa dari MSN Indonesia menyebutkan bahwa AI dapat memicu isolasi sosial, manipulasi informasi, dan bahkan dampak lingkungan akibat konsumsi energi yang besar untuk menjalankan sistem AI.ย 

 

Artikel dari Tirto juga menyoroti bahwa AI tidak ramah lingkungan karena kebutuhan daya yang tinggi, yang secara tidak langsung membebani sumber daya alam dan mempercepat krisis iklim.

 

Tren penggunaan AI dalam konteks budaya populer, seperti pembuatan gambar estetik ala Studio Ghibli, juga menunjukkan sisi gelapnya. Menurut Montclair University, meskipun tren ini populer di media sosial, 514,3% lebih banyak unggahan bernada negatif dibandingkan positif.ย 

 

Penilaian ini mencerminkan keresahan masyarakat terhadap hasil AI yang tidak selalu autentik atau etis. SecureITWorld bahkan memperingatkan bahwa pembuatan gambar AI semacam ini dapat menimbulkan risiko keamanan, seperti penyalahgunaan data atau penyebaran konten manipulatif.ย 

 

Pesan Nabi tentang Kesadaran

Di tengah ancaman AI yang menggerus kesadaran manusia, sebagai umat Muslim tentu kita punya pedoman. Ajaran Nabi Muhammad SAW memberikan panduan berharga tentang bagaimana kesadaran harus tetap tertanam dalam kepala kita. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Masโ€™ud dalam Sunan Tirmidzi, Nabi bersabda:

 

ู‚ูŽุงู„ูŽ ุฑูŽุณููˆู„ู ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ุตูŽู„ู‘ูŽู‰ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ุนูŽู„ูŽูŠู’ู‡ู ูˆูŽุณูŽู„ู‘ูŽู…ูŽ: ุงุณู’ุชูŽุญู’ูŠููˆุง ู…ูู†ูŽ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ุญูŽู‚ู‘ูŽ ุงู„ุญูŽูŠูŽุงุกู. ู‚ูŽุงู„ูŽ: ู‚ูู„ู’ู†ูŽุง: ูŠูŽุง ุฑูŽุณููˆู„ูŽ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ุฅูู†ู‘ูŽุง ู†ูŽุณู’ุชูŽุญู’ูŠููŠ ูˆูŽุงู„ุญูŽู…ู’ุฏู ู„ูู„ู‘ูŽู‡ูุŒ ู‚ูŽุงู„ูŽ: ู„ูŽูŠู’ุณูŽ ุฐูŽุงูƒูŽุŒ ูˆูŽู„ูŽูƒูู†ู‘ูŽ ุงู„ูุงุณู’ุชูุญู’ูŠูŽุงุกูŽ ู…ูู†ูŽ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ุญูŽู‚ู‘ูŽ ุงู„ุญูŽูŠูŽุงุกู ุฃูŽู†ู’ ุชูŽุญู’ููŽุธูŽ ุงู„ุฑู‘ูŽุฃู’ุณูŽ ูˆูŽู…ูŽุง ูˆูŽุนูŽู‰ุŒ ูˆูŽุงู„ุจูŽุทู’ู†ูŽ ูˆูŽู…ูŽุง ุญูŽูˆูŽู‰ุŒ ูˆูŽู„ู’ุชูŽุฐู’ูƒูุฑู ุงู„ู…ูŽูˆู’ุชูŽ ูˆูŽุงู„ุจูู„ูŽู‰ุŒ ูˆูŽู…ูŽู†ู’ ุฃูŽุฑูŽุงุฏูŽ ุงู„ุขุฎูุฑูŽุฉูŽ ุชูŽุฑูŽูƒูŽ ุฒููŠู†ูŽุฉูŽ ุงู„ุฏู‘ูู†ู’ูŠูŽุงุŒ ููŽู…ูŽู†ู’ ููŽุนูŽู„ูŽ ุฐูŽู„ููƒูŽ ููŽู‚ูŽุฏู’ ุงุณู’ุชูŽุญู’ูŠูŽุง ู…ูู†ูŽ ุงู„ู„ู‘ูŽู‡ู ุญูŽู‚ู‘ูŽ ุงู„ุญูŽูŠูŽุงุกู

 

Artinya, โ€œRasulullah SAW bersabda, โ€˜Milikilah rasa malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya.โ€™ Kami (para sahabat) pun berkata, โ€˜Wahai Rasulullah, kami sudah memiliki rasa malu, alhamdulillah.โ€™ Beliau menjawab, โ€˜Bukan seperti itu. Rasa malu yang sebenar-benarnya kepada Allah adalah menjaga kepala dan apa yang ada di dalamnya, menjaga perut dan apa yang dikandungnya, serta mengingat kematian dan kehancuran (di alam kubur). Barang siapa menginginkan akhirat, maka ia meninggalkan perhiasan dunia. Siapa yang melakukan hal itu, maka ia benar-benar memiliki rasa malu kepada Allah dengan sebenar-benarnyaโ€™.โ€

 

Kalimat yang perlu digarisbawahi dari hadits di atas adalah lafaz โ€œan tahfazha raโ€™saka wa ma waโ€™a,โ€ atau โ€œjagalah kepala dan apa yang ada di dalam kepalamu.โ€ Apa yang ada di dalam kepala yang dimaksud tentu saja bukan organ-organ fisik, melainkan fungsi kognitifnya yaitu pikiran dan kesadaran.

 

Hadits ini, sebagaimana dijelaskan Al-Mubarakfuri dalam Tuhfatul Ahwadzi menegaskan bahwa kesadaran sejati melibatkan menjaga akal, pikiran, dan indra dari hal-hal yang haram atau merusak (Al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi bi Syarh Jami' at-Tirmidzi, [Madinah: Al-Maktabah as-Salafiyyah, 1383 H / 1963 M], jilid VII, hlm. 154).

 

Senada dengan penjelasan Al-Mubarakfuri di atas, Ibnu Rajab al-Hanbali menginterpretasi hal serupa:

 

ูˆูŽุญููู’ุธู ุงู„ุฑู‘ูŽุฃู’ุณู ูˆูŽู…ูŽุง ูˆูŽุนูŽู‰ ูŠูŽุฏู’ุฎูู„ู ูููŠู‡ู ุญููู’ุธู ุงู„ุณู‘ูŽู…ู’ุนู ูˆูŽุงู„ู’ุจูŽุตูŽุฑู ูˆูŽุงู„ู„ู‘ูุณูŽุงู†ู ู…ูู†ูŽ ุงู„ู’ู…ูุญูŽุฑู‘ูŽู…ูŽุงุชูุŒ ูˆูŽุญููู’ุธู ุงู„ู’ุจูŽุทู’ู†ู ูˆูŽู…ูŽุง ุญูŽูˆูŽู‰ ูŠูŽุชูŽุถูŽู…ู‘ูŽู†ู ุญููู’ุธูŽ ุงู„ู’ู‚ูŽู„ู’ุจู ุนูŽู†ู ุงู„ู’ุฅูุตู’ุฑูŽุงุฑู ุนูŽู„ูŽู‰ ู…ูุญูŽุฑู‘ูŽู…ู

 

Artinya, โ€œMenjaga kepala dan apa yang ada di dalamnya mencakup menjaga pendengaran, penglihatan, dan lisan dari hal-hal yang diharamkan. Sementara menjaga perut dan apa yang dikandungnya mencakup menjaga hati dari terus-menerus berbuat hal yang diharamkan,โ€ (Ibnu Rajab al-Hanbali, Jamiโ€™ul 'Ulum wal Hikam, [Beirut: Muโ€™assasatur Risalah, 1422 H / 2001 M], jilid I, hlm. 436).

 

Menjaga โ€œkepala dan apa yang ada di dalamnyaโ€ dalam konteks teknologi AI saat ini tentu saja mencakup perlindungan terhadap mata, telinga, dan lisan dari konten serta informasi yang menyesatkan.ย 

 

Hal ini menjadi semakin relevan di era AI, di mana kita dibanjiri oleh algoritma dan informasi yang boleh jadi bersifat manipulatif, karena tidak ada verifikator, melainkan hanya arus informasi berlandaskan algoritma.

 

Pandangan NU tentang Belajar Agama pakai AI

Pada Munas Alim Ulama NU 2023, Komisi Waqiโ€™iyah memutuskan bahwa menanyakan persoalan keagamaan kepada AI dan menjadikannya pedoman tidak diperbolehkan, alasannya ada 3, yaitu:

 
  1. Tidak dapat dipastikan kebenaran output-nya karena faktor randomness dan hallucination.
  2. AI NLP tidak memiliki kreativitas dan empati untuk mengetahui kondisi riil penanya.
  3. Bias dari data yang dimasukkan (atau dilatihkan ke AI).
 

Permasalahan agama wajib merujuk kepada pakar atau sumber referensi agama yang otoritatif dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya (mautsuq bih). Imam An-Nawawi dalam Al-Majmuโ€™ Syarhul Muhazdzab berkata:

 

ูˆูŽู„ูŽุง ูŠูŽุฃู’ุฎูุฐู ุงู„ู’ุนูู„ู’ู…ูŽ ุฅู„ู‘ูŽุง ู…ูู…ู‘ูŽู†ู’ ูƒูŽู…ูู„ูŽุชู’ ุฃูŽู‡ู’ู„ููŠู‘ูŽุชูู‡ู ูˆูŽุธูŽู‡ูŽุฑูŽุชู’ ุฏููŠูŽุงู†ูŽุชูู‡ู ูˆูŽุชูŽุญูŽู‚ู‘ูŽู‚ูŽุชู’ ู…ูŽุนู’ุฑูููŽุชูู‡ู ูˆูŽุงุดู’ุชูŽู‡ูŽุฑูŽุชู’ ุตููŠูŽุงู†ูŽุชูู‡ู ูˆูŽุณููŠูŽุงุฏูŽุชูู‡ู: ููŽู‚ูŽุฏู’ ู‚ูŽุงู„ูŽ ุงุจู’ู†ู ุณููŠุฑููŠู†ูŽ ูˆูŽู…ูŽุงู„ููƒูŒ ูˆูŽุฎูŽู„ูŽุงุฆูู‚ู ู…ูู†ู’ ุงู„ุณู‘ูŽู„ูŽูู ู‡ูŽุฐูŽุง ุงู„ู’ุนูู„ู’ู…ู ุฏููŠู†ูŒ ููŽุงู†ู’ุธูุฑููˆุง ุนูŽู…ู‘ูŽู†ู’ ุชูŽุฃู’ุฎูุฐููˆู†ูŽ ุฏููŠู†ูŽูƒูู…ู’

 

Artinya, โ€œJanganlah orang mengambil ilmu kecuali dari orang yang sempurna keahliannya, terlihat jelas keteguhan agamanya, luas pengetahuannya dan masyhur kredibilitasnya. Ibnu Sirin, Imam Malik, dan ulama salaf berkata: โ€œIlmu ini adalah agama, maka lihatlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.โ€™โ€™ (An-Nawawi, Al-Majmuโ€™ Syarh Muhadzdzab, [Beirut: Darul Fikr, T.th], jilid I, hlm. 36).

 

Menghadapi Tantangan AI

Untuk menghadapi tantangan AI, pertama, manusia harus menyeimbangkan penggunaan teknologi dengan menjaga kesadaran. Pendidikan literasi digital dan etika AI perlu diperkuat, serta langkah pencegahan diambil sebelum mengadopsi AI secara luas, terutama di pendidikan, agar AI mendukung, bukan menggantikan, kemampuan berpikir manusia.

 

Kedua, kita sebagai umat Islam, perlu melatih disiplin diri untuk tidak terjebak dalam ketergantungan pada teknologi. Mengambil jeda dari perangkat digital, misalnya mempergunakan waktu untuk merenung dan berdzikir, dapat membantu menjaga dan merawat kesadaran dan kualitas fokus kita.

 

Ketiga, regulasi yang kuat diperlukan untuk mengatasi dampak negatif AI, seperti pelanggaran privasi dan manipulasi informasi. Pemerintah dan komunitas global harus bekerja sama untuk memastikan bahwa AI dikembangkan dengan prinsip etika yang menempatkan kesejahteraan manusia sebagai prioritas.

 

Walhasil, AI memang membawa kemajuan, tetapi juga menimbulkan ancaman serius terhadap kesadaran manusia. Ketergantungan berlebihan pada teknologi ini dapat membuat manusia kehilangan kemampuan berpikir kritis, menjadi malas, dan terisolasi dari nilai-nilai kemanusiaan.ย 

 

Pesan Nabi Muhammad SAW tentang menjaga kesadaran menjadi panduan relevan di era AI. Dengan menyatukan nilai spiritual dan etika, manusia dapat memanfaatkan teknologi tanpa kehilangan kemanusiaan, karena kesadaran penuh (full consciousness atau mindfulness) adalah kunci hidup bermakna di dunia dan akhirat. Wallahu a'lam.

 

Amien Nurhakim, Redaktur Keislaman NU Online dan Dosen Fakultas Ushuluddin Universitas PTIQ Jakarta.