Ilmu Hadits

Kajian Hadits: Anjuran Menghidupkan Malam Idul Adha

Ahad, 16 Juni 2024 | 15:30 WIB

Kajian Hadits: Anjuran Menghidupkan Malam Idul Adha

Kajian Hadits: Anjuran Menghidupkan Malam Idul Adha

Malam sebelum hari raya Idul Adha memiliki keutamaan dan fadhilah yang seyogianya tidak ditinggalkan dan disia-siakan saja. Pada malam ini, umat muslim dianjurkan untuk meramaikannya dengan syiar-syiar keagamaan dan beragam ibadah.
 

Praktik umum merayakan Idul Adha di tengah masyarakat Indonesia adalah seperti takbiran di masjid, membaca zikir dan wirid layaknya tahlil, tasbih, tahmid, dan lain sebagainya secara bersama-sama, hingga takbir keliling. Ritual semacam yang telah disebutkan tentu harus dipertahankan karena bagian dari syiar agama Islam dan edukasi terhadap generasi-generasi muda umat muslim. 
 

Tentunya, apabila dalam praktiknya ada hal-hal yang berujung mengganggu warga sekitar, membuat ketidaknyamanan, hingga mudharat (bahaya) yang mengancam, maka tindakan-tindakan preventif dan evaluatif oleh otoritas yang berwenang harus dilakukan.
 

Hadits Keutamaan Malam Hari Raya

Menyoal tradisi menghidupkan malam Idul Adha di tengah masyarakat Indonesia, penulis melacak akar dari tumbuhnya tradisi ini merupakan hasil dari praktik terhadap hadits Nabi saw yang banyak ditemukan dalam literatur induk fiqih dalam mazhab Syafi’i. Riwayat hadits tersebut adalah:
 

مَنْ قَامَ لَيْلَتَيْ الْعِيدَيْنِ مُحْتَسِبًا لِلَّهِ لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ يَوْمَ تَمُوتُ الْقُلُوبُ
 

Artinya, “Siapapun menghidupkan malam dua hari raya (dengan ibadah) karena mengharap pahala Allah, maka hatinya tidak akan mati di hari semua hati mati.” (HR Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Riyadh: Maktabah Abo Moati, t.t.), jilid II, halaman 668).
 

Kajian Sanad Hadits Keutamaan Malam Hari Raya

Beberapa kalangan pengkaji hadits seperti Albani tidak segan menghukumi salah satu jalur hadits di atas sebagai hadits yang lemah bahkan palsu. Keterangan didapatkan dalam beberapa kitab hadits yang diberi catatan kaki dengan informasi status hadits hasil penelitiannya. (Lihat cetakan Sunan Ibnu Majah, [Beirut: Darul Fikr, t.t.], penyunting: Fuad Abdul Baqi, jilid I, halaman 567).
 

Adapun hasil penilaian para ulama lainnya, hadits ini memang dinilai lemah. Misalnya Fuad Abdul Baqi, seorang penyunting kitab, menilai terdapat rawi bernama Baqiyyah bin al-Walid pada sanad hadits di atas, dan ia merupakan seorang pen-tadlis (menyembunyikan aib yang terdapat dalam sanad hadits, yang berpotensi menyebabkan hadits menjadi dha’if). 
 

Al-Munawi pernah menjelaskan sumber dan kualitas hadits ini dalam Faidhul Qadir dengan mengutip penjelasan-penjelasan para pakar. Ia memaparkan:
 

“Hadits ini diriwayat At-Thabrani dari jalur ‘Ubadah bin Shamit. Al-Haitsami mengomentari, “Di dalam sanadnya terdapat ‘Umar bin Harun yang umum dianggap perawi dha’if. Namun, Ibnu Mahdi memujinya, meskipun banyak ulama yang menilainya lemah.”
 

“Ibn Hajar menilai hadits ini memiliki sanad yang kacau (mudhtharib) dan di dalamnya terdapat ‘Umar bin Harun, perawi dha’if. Selain itu, terdapat perbedaan pendapat tentang sahabat yang meriwayatkannya dan tentang status ketersambungannya kepada Nabi.” 
 

“Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Hasan bin Sufyan dari ‘Ubadah, di mana terdapat Bisyr bin Rafi’ yang dituduh pemalsu hadits dalam sanad hadits tersebut. Sedangkan Ibnu Majah juga meriwayatkannya dari jalur Baqiyyah dari Abu Umamah.” 
 

“Baqiyyah sendiri merupakan pribadi yang jujur, tetapi banyak melakukan tadlis (penyembunyian cacat dalam periwayatan) dan dia meriwayatkannya secara mu’an’anah (menyebutkan ‘dari’ tanpa menyebutkan ‘mendengar langsung’). Ibnu Shahin juga meriwayatkannya dengan sanad yang di dalamnya terdapat perawi yang lemah dan tidak dikenal.” Demikian kutipan panjang Al-Munawi dalam Faydhul Qadir terkait hadits meramaikan malam Idul Fitri dan Idul Adha. (Al-Munawi, Faidhul Qadir, [Beirut: Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah, 1994], jilid III, halaman 98).
 

Meskipun hadits di atas dha’if dan ditemukan beberapa problem pada perawainya, beberapa ulama seperti Imam As-Syafi’i, Imam An-Nawawi, hingga Syekh Zakariya Al-Anshari menggunakan hadits ini sebagai dasar anjuran menghidupkan malam hari raya. An-Nawawi menyebut dalam Al-Adzkar:
 

هكذا جاء في رواية الشافعي وابن ماجه، وهو حديث ضعيف رويناه من رواية أبي أمامة مرفوعا وموقوفا، وكلاهما ضعيف، لكن أحاديث الفضائل يتسامح فيها كما قدمناه في أول الكتاب
 

Artinya, “Demikianlah yang disebutkan dalam riwayat Asy-Syafi'i dan Ibnu Majah. Ini adalah hadits yang lemah, kami meriwayatkannya dari Abu Umamah secara marfu’ (disandarkan kepada Nabi SAW) dan mauquf (hanya sampai pada sahabat), dan keduanya lemah. Namun, hadits-hadits tentang keutamaan ditoleransi (kelemahannya) seperti yang telah kami sebutkan di awal kitab.” (An-Nawawi, Al-Adzkar, [Beirut: Darul Fikr, 1994], jilid I, halaman 358).
 

Merujuk pada keterangan An-Nawawi, maka hadits dha’if tetap dapat diamalkan selama belum parah tingkat dha’if-nya dan juga ada kandungan keutamaan-keutamaan (fadha’il) amal di dalamnya.
 

Kajian Sanad Hadits Keutamaan Malam Hari Raya

Makna “Hatinya hidup tatkala banyak hati manusia telah mati”

Terkait substansi dan matan hadits ini, Al-Munawi menjelaskan maksud hati yang mati dalam teks hadits di atas adalah hati orang-orang yang bodoh, fasik dan sesat. Sayangnya, tidak ada keterangan lebih lanjut dan spesifik terkait karakteristik dari sifat-sifat yang disebutkan oleh Al-Munawi dalam bagian ini. (Al-Munawi, III/98). 
 

Meskipun demikian, terdapat keterangan lain dari Al-Munawi ketika menjelaskan hadits yang serupa. Menurutnya, orang-orang yang hatinya mati adalah mereka yang tenggelam dalam gemerlapnya kehidupan dunia, dan ada potensi tidak dapat menghindar dari kondisi kematian yang buruk (su’ul khatimah) akibat kesibukan duniawinya. (Al-Munawi, III/487).
 

As-Sindi lebih cenderung menginterpretasikan sebab matinya hati adalah karena banyaknya dosa yang telah diperbuat. Sehingga tatkala hari-hari di mana hati manusia telah mati, segelintir orang tetap hidup hatinya. (As-Sindi, Hasyiyatus Sindi ‘ala Sunan Ibni Majah, [Beirut: Darul Jayl, t.t.], jilid I, halaman 532).
 

Anjuran para ahli fiqih berdasarkan hadits 

Berdasarkan hadits ini, para ahli fiqih menyimpulkan bahwa menghidupkan malam hari sebelum Idul Adha merupakan amalan yang sunnah dan dianjurkan. Imam As-Syafi’i dalam Al-Umm menyampaikan riwayat bahwa malam Idul Adha merupakan salah satu malam dikabulkannya doa. Beliau menyukai riwayat seraya tetap menganggapnya sunah dan bukan wajib. (As-Syafi’i, Al-Umm, [Beirut: Darul Ma’rifah, 1393], jilid I, halaman 231).
 

Begitu juga An-Nawawi dalam Al-Majmu’ menegaskan meskipun hadits tersebut dha’if, namun masih dapat ditoleransi untuk keutamaan amal. Menurut An-Nawawi berdasarkan hadits ini, kemuliaan malam hari raya dapat diraih dengan menghidupkan hampir seluruh waktu malam dengan beribadah. 
 

Ia juga mengutip penjelasan Ibnu ‘Abbas, praktik menghidupkan malam hari raya adalah dengan shalat Isya berjamaah dan bertekad kuat untuk melaksanakan shalat subuh berjamaah. (An-Nawawi, Al-Majmu’, [Beirut: Darul Fikr, t,t,], jilid V, halaman 43).
 

Meskipun para fuqaha menyimpulkan hukum menghidupkan malam hari raya sebagai sunah, namun Al-Adzra’i berpendapat bahwa anjurannya tidak mencapai sunnah muakkad, sebab haditsnya dinilai dha’if. Pendapat ini juga diaminkan oleh Syekh Zakariya Al-Anshari dalam Asnal Mathalib. (Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000], jilid I, halaman 281).

 

Simpulan Kajian Hadits Keutamaan Malam Hari Raya

  1. Malam sebelum hari raya Idul Adha memiliki keutamaan dan dianjurkan untuk diisi dengan berbagai bentuk ibadah seperti takbiran, zikir, dan wirid.
  2. Di Indonesia, praktik menghidupkan malam Idul Adha sering dilakukan dengan takbiran di masjid, zikir bersama, dan takbir keliling, yang juga berfungsi sebagai syiar agama dan edukasi bagi umat muslim.
  3. Anjuran menghidupkan malam hari raya berakar dari hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Beberapa ulama seperti Imam As-Syafi'i, Imam An-Nawawi, dan Syekh Zakariya Al-Anshari menilai hadits ini dha'if atau lemah, namun masih tetap dapat diamalkan untuk keutamaan amalan (fadha’ilul ‘amal).
  4. Berdasarkan hadits ini, para ahli fiqih menyimpulkan bahwa menghidupkan malam Idul Adha adalah sunnah yang dianjurkan. Namun, sebagian ulama seperti Al-Adzra'i dan Syekh Zakariya Al-Anshari menilai bahwa anjuran ini tidak mencapai derajat sunnah muakkad karena derajat haditsnya.
  5. Hati yang mati dalam hadits diartikan sebagai hati orang-orang penuh dosa dan tenggelam dalam kehidupan dunia, sehingga berpotensi meninggalkan dunia yang fana dalam kondisi yang buruk (su’ul khatimah).
  6. Menghidupkan malam Idul Adha menurut para ulama dapat dilakukan dengan shalat isya berjamaah, berzikir mengingat Allah, dan bertekad untuk melaksanakan shalat subuh berjamaah.


Dengan demikian, menghidupkan malam Idul Adha dengan berbagai ibadah merupakan amalan yang sunnah dan dianjurkan meskipun hadits yang melandasi praktiknya berstatus dha'if sebagaimana keterangan para ulama. Wallahu a’lam.


Ustadz Amien Nurhakim, Musyrif Pesantren Darussunnah Jakarta