Penanganan Anak Terlantar dalam Hadits Nabi
NU Online · Selasa, 22 April 2025 | 08:00 WIB
Sunnatullah
Kolomnis
Fenomena anak telantar atau yang dalam literatur fiqih dikenal sebagai laqith merupakan persoalan sosial yang tidak hanya terjadi di zaman modern, tetapi juga telah dikenal sejak masa awal Islam. Dalam konteks masyarakat Islam klasik, laqith merujuk pada seorang anak yang ditemukan tanpa identitas, orang tua, ataupun wali yang diketahui, dan umumnya berada dalam kondisi telantar atau dibuang.
Tentu saja, persoalan semacam ini menjadi perhatian serius, karena menyangkut perlindungan hak asasi manusia yang paling mendasar, khususnya perihal hak untuk hidup, hak atas pengasuhan yang layak, serta jaminan perlindungan hukum dari eksploitasi, kekerasan, atau penelantaran.
Islam sebagai agama yang membawa misi rahmat bagi alam semesta dan menjunjung tinggi kemanusiaan, telah memberikan perhatian besar terhadap kelompok-kelompok yang rentan dan termarjinalkan, termasuk anak-anak yang tidak diketahui asal-usulnya atau telantar. Sebab, dalam Islam tidak hanya menekankan aspek spiritual, tetapi juga menegakkan prinsip keadilan sosial.
Oleh karena itu, penanganan terhadap laqith tidak semata-mata menjadi urusan individu saja, tetapi juga menjadi tanggung jawab kolektif masyarakat dan negara. Dalam hal ini, Nabi Muhammad memberikan pedoman-pedoman moral dan hukum yang berfungsi sebagai dasar dan dalil perlindungan bagi anak-anak telantar.
Dalam hal ini, Nabi Muhammad menetapkan sejumlah prinsip moral dan ketentuan hukum yang menjadi dasar perlindungan terhadap orang-orang telantar (laqiṭh). Prinsip-prinsip ini mencakup pengakuan atas hak hidup, jaminan pengasuhan, serta pemenuhan kebutuhan dasar melalui mekanisme sosial dan institusi negara, seperti Baitul Mal.
Dalam literatur hadits dan fiqih, kita menemukan bahwa para sahabat, termasuk Khalifah Umar bin Khattab, memberikan perhatian khusus terhadap laqith. Mereka tidak hanya menetapkan hukum-hukum terkait status kebebasan anak tersebut, tetapi juga mengatur nafkahnya, nasabnya, hingga perlindungan sosialnya.
Berkaitan dengan hal ini, Syekh Dr. Musthafa al-Khin, Syekh Dr. Musthafa al-Bugha, dan Syekh Dr. Ali asy-Syarbaji dalam kitabnya mengatakan bahwa dalam syariat Islam, ketika seseorang menemukan anak terlantar atau tidak diketahui asal-usulnya (laqith), maka sangat dianjurkan untuk mengambil, merawat, dan melindunginya anak tersebut, sebagai bentuk kasih sayang, tanggung jawab sosial, dan penjagaan terhadap jiwa manusia. Anjuran tersebut berlandaskan salah satu hadits, Rasulullah saw bersabda:
مَنْ لَا يَرْحَمِ النَّاسَ، لَا يَرْحَمْهُ اللَّهُ
Artinya, “Siapa saja yang tidak menyayangi manusia, maka Allah tidak akan menyayanginya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Tidak hanya itu, bahkan sejumlah atsar para sahabat menunjukkan bahwa negara, melalui lembaga keuangan publik seperti baitul mal (perbendaharaan negara), turut bertanggung jawab dalam menjamin kebutuhan hidup orang-orang telantar. Nah, untuk mengetahui lebih jauh bagaimana Islam melalui sabda Nabi Muhammad dan para sahabatnya menyikapi keberadaan orang-orang telantar, berikut ini penulis paparkan beberapa hadits Nabi dan riwayat sahabat yang berhubungan dengan persoalan ini.
عَنْ سُنَيْن أَبِي جَمِيْلَةَ، أَنَّهُ الْتَقَطَ مَنْبُوْذًا فَجَاءَ بِهِ إِلىَ عُمَرَ فَقَالَ لَهُ عُمَرُ: فَهُوَ حُرٌّ وَوَلاَؤُهُ لَكَ وَنَفَقَتُهُ عَلَيْنَا مِنْ بَيْتِ الْمَالِ. وَيُحْتَمَلُ أَنْ يَكُوْنَ الْمُرَادُ بِقَوْلِهِ: « وَوَلاَؤُهُ لَكَ» وَلاَءَ الْإِسْلاَمِ لاَ وَلاَءَ الْعِتَاقِ. فَقَدْ قَالَ النَّبِيُّ: إِنَّمَا الْوَلاَءُ لِمَنْ أَعْتَقَ
Artinya, “Dari Sunain Abu Jamilah, sungguh ia menemukan seorang anak yang dibuang (telantar, manbudz), kemudian ia membawanya kepada Umar bin Khattab. Maka Umar berkata kepadanya: ‘Anak ini merdeka, dan hak perwaliannya untukmu, serta nafkahnya menjadi tanggung jawab kami dari Baitul mal (perbendaharaan negara).’
Dan ada kemungkinan bahwa maksud dari perkataan: ‘wala’-nya untukmu’ adalah perwalian dalam Islam, bukan perwalian karena memerdekakan. Karena sungguh Nabi bersabda: ‘Sesungguhnya hak perwalian adalah untuk orang yang memerdekakan.’” (HR al-Baihaqi dalam Sunan as-Saghir, [Pakistan: Jamiah ad-Dirasat, 1410], jilid V, halaman 177).
Merujuk penjelasan Imam Ibnu Atsir (wafat 606 H), status laqith atau anak yang telantar adalah merdeka. Oleh karena itu, ia tidak berada dalam hubungan perwalian dengan siapa pun, sebab perwalian hanya berlaku dalam tiga kondisi, yaitu: karena adanya hubungan nasab, pernikahan, atau karena seseorang memerdekakan budak.
Antara anak laqith dan orang yang menemukannya (multaqiṭ) tidak terdapat satu pun dari tiga dasar tersebut. Maka secara hukum, tidak ada ikatan waris maupun perwalian antara keduanya. Meski demikian, sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa perwalian anak laqiṭh bisa dinisbatkan kepada orang yang menemukannya, dengan berdalil pada hadits yang menyatakan: “Dan perwaliannya untukmu”, sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Hanya saja, pendapat ini tidak dijadikan hujah oleh mayoritas ulama.
Meskipun demikian, riwayat yang menjadi dasar pendapat tersebut dianggap sahih dan diterima oleh mayoritas ahli hadis, sekalipun tidak dijadikan dasar hukum yang kuat dalam penetapan fikih perihal perwalian laqith pada orang yang menemukannya. (Ibnul Atsir, Jami’ul Ushul fi Ahaditsir Rasul, [Maktabah al-Halwani: 1972], jilid IX, halaman 614).
Dalam riwayat yang lain disebutkan:
اَللَّقِيْطُ لِلْمُسْلِمِيْنَ مِيْرَاثُهُ وَعَلَيْهِمْ جَرِيْرَتُهُ وَلَيْسَ لِصَاحِبِهِ مِنْهُ شَىْءٌ إِلاَّ الْأَجْرُ
Artinya, “Laqith adalah milik kaum Muslimin; warisannya bagi mereka, dan kesalahannya menjadi tanggungan mereka. Sedangkan orang yang menemukannya, tidak memiliki sesuatu pun darinya kecuali pahala.” (HR al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra, [Makkah: Maktabah ad-Dar, 1994], jilid X, halaman 298).
Menjaga dan merawat laqith merupakan bagian dari tanggung jawab sosial yang mulia dan sangat dianjurkan dalam Islam. Tindakan ini termasuk dalam kategori ta’awun ‘alal birr (saling tolong-menolong dalam kebaikan), serta menjadi bentuk nyata kepedulian terhadap sesama umat Islam, khususnya mereka yang paling lemah dan tidak memiliki pelindung.
Dalam banyak hadits, Nabi Muhammad mendorong umatnya untuk menolong sesama Muslim yang membutuhkan, dan menegaskan bahwa siapa saja yang menolong saudaranya, maka Allah akan menolongnya pula. Termasuk dalam hal ini adalah dengan menolong anak telantar, menolong mereka yang membutuhkan pengasuhan dan lain sebagainya, sebab selain berpahala, dengan merawatnya mencerminkan kepekaan hati dan komitmen terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dalam Islam.
Demikianlah sejumlah riwayat dan hadits Nabi Muhammad yang berkaitan dengan laqith, dan menjadi dasar pijakan dalam penetapan hukum-hukum yang berhubungan dengan status dan perlakuan terhadap anak terlantar dalam Islam. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam bisshawab.
Ustadz Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur, dan Awardee Beasiswa non-Degree Kemenag-LPDP Program Karya Turots Ilmiah di Maroko.
Terpopuler
1
Rais 'Aam PBNU Ajak Pengurus Mewarisi Dakwah Wali Songo yang Santun dan Menyejukkan
2
Gus Yahya: Warga NU Harus Teguh pada Mazhab Aswaja, Tak Boleh Buat Mazhab Sendiri
3
Kisah Levina, Jamaah Haji Termuda Pengganti Sang Ibunda yang Telah Berpulang
4
Hal Negatif yang Dialami Jamaah Haji di Tanah Suci Bukan Azab
5
Diundang Hadiri Konferensi Naqsyabandiyah, Mudir ‘Ali JATMAN Siapkan Beasiswa bagi Calon Mursyid
6
Kemenhaj Saudi dan 8 Syarikah Setujui Penggabungan Jamaah Terpisah, PPIH Terbitkan Surat Edaran
Terkini
Lihat Semua