Ilmu Hadits

Kajian Hadits: Benarkah Ajal Ditentukan di Bulan Sya’ban?

Kam, 22 Februari 2024 | 17:00 WIB

Kajian Hadits: Benarkah Ajal Ditentukan di Bulan Sya’ban?

Ilustrasi bulan Sya'ban. (Foto: NU Online)

Bulan Sya'ban menempati posisi yang istimewa dalam kalender Islam di antaranya karena menjadi bulan penyambut bulan suci nan mulia, yaitu Ramadhan. Kemuliaan bulan Sya'ban salah satunya tercermin dalam tradisi umat Islam di malam Nisfu Sya’ban.

 

Umat Islam biasa banyak berdoa dan meminta ampun pada malam Nisfu Sya’ban, hingga beberapa riwayat menjelaskan bahwa pada malam tersebut Allah menentukan takdir dan nasib – salah satunya ajal – setiap makhluk-Nya untuk satu tahun ke depan.

 

Salah satu sumber yang menyatakan bahwa ketentuan ajal seseorang ditentukan dalam bulan Sya’ban adalah ayat ke-4 surat Ad-Dukhan, sebagaimana berikut:

 

فِيْهَا يُفْرَقُ كُلُّ اَمْرٍ حَكِيْمٍۙ

Artinya, “Pada (malam itu) dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (QS Ad-Dukhan: 4).

 

Terkait ayat ini, para ulama ahli tafsir berbeda pendapat mengenai waktu ditetapkannya takdir manusia, apakah malam itu adalah malam Lailatul Qadar, atau malam Nisfu Sya’ban. (Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur`an, [Beirut: Muassasash ar-Risalah, 2000], jilid X, hal. 22).

 

Adapun beberapa ulama yang meyakini bahwa ditentukannya takdir dan ketetapan manusia adalah pada bulan Sya’ban, mereka menggunakan hadits di bawah ini sebagai hujjah, yaitu:

 

تقطع الآجال من شعبان إلى شعبان، حتى إن الرجل لينكح ويولد له، وقد خرج اسمه في الموتى

 

Artinya: “Ajal seseorang ditentukan dari bulan Sya’ban ke bulan Sya’ban berikutnya, sehingga ada seseorang bisa menikah dan melahirkan, sementara namanya sudah tercantum dalam daftar orang-orang yang akan meninggal.” (HR Ad-Dailami).

 

Ibnu Rajab al-Hanbali dalam Lathaiful Ma’arif menyebutkan hadits di atas sekaligus mengomentarinya sebagai hadits yang mursal. (Ibnu Rajab al-hanbali, Lathaiful Ma’arif, [Beirut: Dar Ibn Hazm, 2004], jilid I, hal. 134).

 

Lebih detail lagi, mengutip catatan kaki kitab Ma’ariful In’am karya Ibnul Mibrad al-Hanbali dan Al-Mawahib al-Ladunniyah karya al-Qastallani, hadits ini juga diriwayatkan secara mursal dari tabi’in bersama al-Mughirah bin al-Akhnas tanpa adanya kontradiksi terhadap nas, sedangkan dalam Ittihaf Sadatul Muttaqin hadits ini dinisbatkan kepada Ibnu Abi Hatim dari Ibnu ‘Abbas. (Ibnul Mibrad al-Hanbali, Ma’ariful In’am, [Suriah: Darun Nawadir, 2011], jilid I, hal. 100).

 

Merujuk kepada referensi primer yang memuat hadits tersebut, terdapat riwayat dengan makna serupa dalam karya ad-Dinawari yang berjudul al-Mujȃlasah wa Jawȃhir al-‘Ilm karya ad-Dinȃwarȋ, adapun sanad dan haditsnya adalah sebagaimana berikut: 

 

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ خُلَيْدِ بْنِ يَزِيدَ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْكِنْدِيُّ، نَا أَبُو الْيَمَانِ الْحَكَمُ بْنُ نَافِعٍ، نَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ، عَنْ رَاشِدِ بْنِ سَعْدٍ؛ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَطَّلِعُ إِلَى عِبَادِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ؛ فَيَغْفِرُ لِخَلْقِهِ كُلِّهِمْ؛ إِلَّا الْمُشْرِكَ وَالْمُشَاحِنَ، وَفِيهَا يُوحِي اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى إِلَى مَلَكِ الْمَوْتِ لِقَبْضِ كُلِّ نَفْسٍ يُرِيدُ قَبْضَهَا فِي تِلْكَ السَّنَةِ

 

Artinya, “Riwayat ini disampaikan kepada kami oleh Ahmad bin Khulaid bin Yazid bin Abdullah al-Kindi, dari Abu al-Yaman al-Hakam bin Nafi', dari Abu Bakr bin Abi Maryam, dari Rasyid bin Sa'd; bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: "Sesungguhnya Allah Ta'ala melihat kepada hamba-hamba-Nya pada malam Nisfu Sya'ban. Pada malam itu, Dia mengampuni semua makhluk-Nya, kecuali orang musyrik dan orang yang terlibat dalam perselisihan. Pada malam tersebut, Allah Ta'ala juga memberikan wahyu kepada Malaikat Maut untuk mencabut nyawa setiap jiwa yang akan dicabut pada tahun tersebut.”. (Ahmad ibn Marwan ad-Dinawari, Al-Mujalasah Wa Jawahir Al-’Ilm, [Beirut: Dar ibn Hazm, 1419], jilid III, hal. 303).

 

Terkait dengan spesifik status dan derajat hadits mursal ini, az-Zarqani menukil sebagian perkataan huffadhul hadits, bahwa meskipun mursal, namun kualitasnya bahkan lebih kuat dan lebih shahih (ashah) dibandingkan jalur sanad yang menyambungkannya pada Nabi saw. (Az-Zarqani, Syarhuz Zarqani ‘alal Mawahibil Laduniyyah, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah. 1996], jilid X, hal. 566).

 

Mursal sendiri adalah jenis hadits yang diriwayatkan oleh tabi’in tanpa menyebutkan perawi antara dirinya dengan Nabi. Artinya, ada sahabat Nabi saw yang dihilangkan dalam rantai sanad. (Syekh Mahfuzh Turmusi, Manhaj Dzawin Nazhar, [Jakarta: Darul Kutub al-Islamiyyah, 2019], hal. 58).

 

Selain itu, Imam Muslim dalam mukadimah Shahih Muslim menjelaskan bahwa hadits Mursal tergolong sebagai hadits dha’if dan tidak dijadikan hujjah menurut jumhur pakar hadits, begitu pun dengan Imam asy-Syafi’i sebagaimana disebut oleh Al-Baihaqi dalam al-Madkhal (Al-Baihaqi, al-Madkhal ila ‘Ilmis Sunan, [Kairo: Darul Yasr, 2017], jilid I, hal. 27).

 

Kendati demikian, perlu sekali kita melihat hukum hadits mursal dengan lebih detail dan komprehensif. Faktanya, para ulama tidak langsung menghukumi hadits mursal sebagai hadits yang tertolak (mardud).

 

Dr. Mahmud Thahhan dalam Taysir Mushthalahil Hadits halaman 37-38 menjelaskan ada tiga macam pendapat para ulama menyikapi hadits mursal, yaitu:

 
  1. Dha’if dan ditolak. Alasannya karena tidak adanya informasi mengenai keadaan perawi yang ‘dibuang’ dari sanad, boleh jadi ia bukan sahabat Nabi. Pendapat ini merupakan pandangan sebagian ahli ushul dan ahli fiqih.
  2. Shahih dan dapat dijadikan hujjah, dengan syarat orang yang melakukan irsal (membuang satu rawi di atasnya) adalah orang yang tsiqah atau kredibel dalam periwayatan, dan ia juga meriwayatkan hadits tersebut dari orang yang tsiqah juga. Alasannya, orang yang tsiqah tidak mudah meriwayatkan kecuali hanya dari orang yang dinilai tsiqah.
  3. Diterima dengan beberapa syarat:
  • Orang yang melakukan irsal merupakan tabi’in senior (kibar tabi’in)
  • Ketika orang yang melakukan irsal ini ditanya siapa perawi yang dibuang, ia menjawabnya dengan nama perawi yang dinilai tsiqah
  • Riwayatnya tidak bertentangan dengan riwayat lain yang lebih terpercaya 
  • Ada hadits lain yang diriwayatkan dan bersambung sanadnya
  • Atau hadits lainnya yang diriwayatkan juga secara mursal namun dari orang yang berbeda
  • Atau riwayatnya selaras dengan perkataan para sahabat
  • Atau riwayat tersebut pernah difatwakan para ulama
 

Dapat disimpulkan, bahwa riwayat terkait ketentuan ajal pada malam nisfu Sya’ban yang mursal dapat dipertimbangkan. Jika kita merujuk kepada al-Buhur az-Zakhirah, kita mendapati riwayat ini ternyata memiliki sumber dari Abu Hurairah dari Nabi saw. (Muhammad bin Ahmad as-Safarayni al-Hanbali, al-Buhur az-Zakhirah fi ‘Ulumil Akhirah, [Arab Saudi: Darul ‘Ashimah, 2009], hal. 89).

 

Sayangnya, riwayat yang dinilai bersambung kepada Nabi bahkan tidak lebih kuat dari riwayat yang mursal, sebagaimana keterangan Az-Zarqani dalam Syarh Mawahibul Laduniyyah

 

Terkait dengan substansi hadits, az-Zarqani menjelaskan pada malam Nisfu Sya’ban terdapat perbedaan dalam catatan nama-nama orang yang meninggal dunia dengan catatan nama-nama orang yang tidak meninggal dalam rentang waktu tersebut. 

 

Hanya saja, pengambilan keputusan terkait kematian seseorang diserahkan kepada Malaikat Maut pada malam Lailatul Qodar. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Abbas, “Sesungguhnya Allah Ta'ala menetapkan takdir-takdir pada malam Nisfu Sya'ban dan menyerahkan keputusan tersebut kepada pengatur urusan di malam Lailatul Qadar, yaitu empat malaikat: Israfil, Mikail, Jibril, dan Izra'il.” (Az-Zarqani, Syarhuz Zarqani ‘alal Mawahibil Laduniyyah, jilid X, hal. 566).

 

Secara jelas hadits ini ingin menegaskan pada malam Nisfu Sya’ban takdir manusia seperti rejeki, jodoh dan waktu kematian ditetapkan oleh Allah, termasuk di dalamnya takdirnya orang-orang yang akan menikah hingga calon bayi yang akan lahir ke dunia. 

 

Dengan adanya penentuan ketetapan takdir Allah di malam Nisfu Sya’ban, maka kita dianjurkan untuk banyak berdoa supaya diberikan suratan takdir yang baik, juga memohon ampun kiranya ajal telah ditentukan di waktu yang tidak kita ketahui sama sekali. Wallahu a’lam

 

Ustadz Amien Nurhakim, Musyrif Pesantren Darussunnah Jakarta.