Ilmu Hadits

Kajian Hadits: Gaya Hidup Minimalis ala Rasulullah

Selasa, 5 Maret 2024 | 19:00 WIB

Kajian Hadits: Gaya Hidup Minimalis ala Rasulullah

Ilustrasi gaya hidup minimalis ala Rasulullah (Freepik).

Hidup di era yang dipenuhi dengan kebisingan informasi dan dorongan konsumtif, gaya hidup minimalis semakin menjadi sorotan bagi banyak orang. Konsep sederhana ini tidak hanya tentang memperkecil jumlah barang yang dimiliki, tetapi lebih pada menemukan keseimbangan antara kebutuhan dan keinginan, serta menghargai nilai-nilai yang sejati dalam kehidupan. 

 

Gaya hidup minimalis adalah pola hidup yang mendasarkan pada kesadaran terhadap kebutuhan esensial dalam kehidupan, dengan menyingkirkan atau mengurangi ketergantungan pada hal-hal yang tidak diperlukan (Adrianus, dkk, Analisis Komunitas Online Gaya Hidup Minimalis, Jurnal Dinamika Sosial, halaman 3).

 

Gaya hidup minimalis juga menekankan kepemilikan barang yang sedikit dan sesuai kebutuhan. Francine Jay dalam “The Joy of Less” berpendapat sedikitnya kepemilikan barang akan berpengaruh pada pengelolaan stress yang baik dan juga rasa independen dan kemerdekaan diri lebih tinggi. (Francine Jay, Seni Hidup Minimalis, [Jakarta: Gramedia, 2018], halaman 14-18).

 

Fumio Sasaki dalam “Goodbye, Things: The New Japanese Minimalism” menuliskan pengalamannya dalam berjuang melawan konsumersime dalam kepemilikan barang. Menurutnya, sifat konsumtif dalam membeli barang-barang baru merupakan efek dari rasa jemu dalam melihat barang-barang yang sudah dimiliki. (Fumio Sasaki, Goodbye, Things: The New Japanese Minimalism, halaman 33).

 

Padahal, barang-barang yang sudah dimiliki dan membuat jemu itu pun sama halnya dengan barang-barang yang baru, yaitu sangat ingin dimiliki pada awalnya, namun seiring berjalannya waktu tetap akan muncul efek jemu.

 

Sebab itu, gaya hidup minimalis menekankan kita untuk menstimulus otak supaya terbiasa menghadapi rasa jemu tersebut. 

 

Kita sebagai orang muslim mengenal konsep gaya hidup minimalis. Bahkan secara substansi hal itu merupakan ajaran Rasulullah yang termanifestasikan dalam wujud kesederhanaan pola hidup beliau.

 

Artikel ini mengulik hadits-hadits yang mendeskripsikan bagaimana sikap kesederhanaan dan gaya hidup minimalis Rasulullah saw.

 

Pertama, kita mengenal prinsip Rasulullah saw yang serupa dengan solusi menangkal efek jemu pada sesuatu yang kita miliki, di mana kejemuan ini biasa membuat rasa syukur kita berkurang dan selalu merasa kurang atas karunia Allah.

 

Prinsip tersebut adalah dengan tidak membanding-bandingkan pencapaian, kepemilikan, kesuksesan dan perjalanan hidup kita dengan orang lain, yang menyebabkan orang akan mengingkari nikmat Allah. Rasulullah saw pernah bersabda:

 

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ، وَلَا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ، فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لَا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ. (مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ)

 

Artinya, “Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata: "Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Lihatlah orang yang berada di bawah kalian dan jangan melihat orang yang berada di atas kalian, karena hal itu lebih nyata membuat kalian tidak menganggap rendah nikmat Allah yang telah dianugerahkan kepada kalian.” (Muttafaq ‘alaih).

 

Al-Munawi dalam Faidhul Qadir memaparkan, apabila seseorang cenderung selalu melihat seseorang yang secara status sosial lebih tinggi dari dirinya, niscaya ada potensi untuk ingin menyamai kedudukannya. Sementara jika ia merenungi nasibnya ternyata lebih baik daripada seseorang yang ia pandang secara kuantitas harta maupun status sosial berada di bawahnya, maka rasa syukur akan muncul seketika. (Al-Munawi, Faidhul Qadir, [Mesir: Al-Maktabah At-Tijariyyah, 1356], jilid III, halaman 59).

 

Meski penjelasan Al-Munawi tidak dapat kita generalisasi pada pandangan setiap orang terhadap orang lain yang ‘lebih baik’ kondisinya sebagai potensi hilangnya rasa syukur, akan tetapi secara kasuistik hal ini nyata adanya di tengah masyarakat.

 

Kedua, Rasulullah juga mengajarkan prinsip minimalis dengan cara memosisikan diri ketika hidup di dunia sebagai seorang musafir atau traveler. Seorang traveler memiliki hubungan erat dengan filosofi gaya hidup minimalis, di mana membawa barang yang sedikit menjadi krusial. 

 

Mobilitas tinggi, efisiensi waktu dan energi, menghindari kebingungan, fokus pada pengalaman daripada milik, fleksibilitas perjalanan, kesadaran lingkungan, dan pentingnya keseimbangan menjadi alasan utama.

 

Dengan membawa barang yang sedikit, seorang traveler dapat menikmati perjalanan dengan lebih ringan dan bebas, lebih fokus pada eksplorasi destinasi, dan menciptakan kenangan tanpa merasa terbebani oleh barang bawaan. Prinsip yang diajarkan Rasulullah tersebut tercatat dalam Shahih Al-Bukhari, yaitu:

 

وعن ابن عمر – رضي الله عنهما- قال: أخذ رسول الله صلى الله عليه و سلم بمنكبي فقال: كن في الدنيا كأنك غريب، أو عابر سبيل وكان ابن عمر – رضي الله عنهما – يقول: إذا أمسيت فلا تنتظر الصباح، وإذا أصبحت فلا تنتظر المساء، وخذ من صحتك لمرضك، ومن حياتك لموتك. رواه البخاري

 

Artinya, “Dari Ibnu Umar ra, beliau berkata: "Rasulullah saw pernah memegang kedua pundakku seraya berkata, “Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau musafir.” Ibnu Umar berkata: “Jika engkau berada di sore hari jangan menunggu datangnya pagi dan jika engkau berada pada waktu pagi hari jangan menunggu datangnya sore. Pergunakanlah masa sehatmu sebelum sakit dan masa hidupmu sebelum mati.” (HR Al-Bukhari).

 

Ketiga, gaya hidup minimalis ala Rasulullah juga tercermin dalam hadits yang menegaskan bahwa pada akhirnya harta yang dimiliki seseorang bersifat fana dan lenyap, baik dalam bentuk makanan, kebutuhan sehari-hari atau sedekah amal jariyah. Sedangkan sisanya, boleh jadi bukan dirinya yang menikmatinya. 

 

Terkait hal di atas, Abdullah bin As-Syukhair pernah menceritakan:

 

أتيت النبي صلى الله عليه وسلم وهو يقرأ ألهاكم التكاثر، قال: يقول ابن آدم: مالي، مالي . قال: وهل لك يا ابن آدم من مالك، إلا ما أكلت فأفنيت، أو لبست فأبليت، أو تصدقت فأمضيت

 

Artinya, “Aku datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, dan beliau sedang membaca Alhaakumut takaatsur, lalu beliau bersabda :“ Anak Adam berkata :'Hartaku, hartaku.'" Kemudian Nabi saw berkata lagi: 'Wahai anak Adam tidaklah ada dari hartamu kecuali yang engkau makan kemudian lenyap, atau pakaian yang engkau pakai kemudian usang, atau yang engkau sedekahkan dan jadi simpananmu (di akhirat).” (HR Muslim).

 

Rasulullah saw mengajarkan umatnya untuk tidak terlalu terikat pada kekayaan dunia yang sementara, melainkan memprioritaskan nilai-nilai spiritual dan amal kebaikan yang akan membawa keberkahan di dunia dan akhirat.

 

Dengan demikian, hidup minimalis ala Rasulullah adalah tentang melepaskan ketergantungan pada harta benda, bukan tentang hidup serba berkekurangan, akan tetapi tentang kecukupan dan keseimbangan dalam menilai sesuatu. Wallahu a'lam.
 

 

Ustadz Amien Nurhakim, Musyrif Pesantren Darussunnah Jakarta