Hikmah

Meneladani Etos Kerja Nabi Muhammad: Berdagang hingga Menggembala Kambing

Rab, 24 Agustus 2022 | 20:00 WIB

Meneladani Etos Kerja Nabi Muhammad: Berdagang hingga Menggembala Kambing

Etos kerja Nabi Muhammad saw

Nabi Muhammad saw merupakan teladan yang tidak pernah lapuk oleh zaman. Setiap napas kehidupannya menyimpan segudang teladan yang tak pernah kering. Salah satu pelajaran yang beliau sampaikan kepada umatnya adalah etos kerja yang luar biasa. Menjadi seorang rasul, pemimpin umat, dan terlahir dari nasab Quraisy mulia, tidak menghalangi putra Abdullah ini untuk mencari penghidupan secara mandiri. 
 

Realitas ini seolah menampar sebagian orang yang terkadang masih suka berpangku tangan atau bahkan mencari nafkah dengan jalan yang salah. Dalam sabdanya, Rasulullah sendiri menyampaikan bahwa profesi yang paling baik adalah yang dikerjakan dengan jeri payah sendiri. Beliau bersabda:
 

مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَامُ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ 


Artinya, “Tidak ada seseorang yang memakan satu makanan pun yang lebih baik dari makanan hasil usaha tangannya (bekerja) sendiri. Dan sesungguhnya Nabi Allah Daud as memakan makanan dari hasil usahanya sendiri.” (HR al-Bukhari) 


Pedagang Sukses 

Letak geografis tanah Arab yang tandus dan gersang membuat masyarakatnya tidak bisa mengelola sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sebab itu, bangsa Arab terkenal dengan dunia bisnis atau perdagangannya. Dari kultur ekonomi seperti inilah kemudian muncul sejumlah nama pasar-pasar terkenal di Arab seperti Ukazh, Dzil Majz, Majinnah, dan lainnya. 

 

Berkaitan dengan profesi masyarakat Arab ini, Allah swt berfirman:
 

لِاِيْلٰفِ قُرَيْشٍۙ اٖلٰفِهِمْ رِحْلَةَ الشِّتَاۤءِ وَالصَّيْفِۚ 

 

Artinya, “Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas.” (QS Al-Quraisy [106]: 1-2). 
 

Sejumlah ulama menafsirkan, maksud bepergian musim dingin pada ayat di atas adalah perjalanan niaga ke Yaman, sementara saat muslim panas adalah perjalanan niaga ke Syam (Suriah). (Jawwad Ali, al-Mufashshal fi Tarikhil ‘Arab Qablal Islam, tanpa tahun: juz VII, halaman 115). 

 

Hal ini juga sempat dirasakan oleh Nabi Muhammad saw. Pada usia 25 tahun beliau pergi ke Syam untuk berdagang dengan ditemani Maisarah, pembantu Siti Khadijah. Beliau membawa komoditas Khadijah dengan sistem bagi hasil. Bermodal keterampilan niaga dan kejujuran, semua dagangannya habis terjual dan berhasil memperoleh keuntungan yang memuaskan. 

 

Khadijah yang melihat kemampuan dan moral luhur Nabi Muhammad kemudian tertarik untuk menikahinya, terlebih ia mendapat informasi banyak dari Maisarah tentang sosok Nabi selama menemani berdagang. Singkat kisah, Nabi dan Khadijah akhirnya menikah dengan mas kawin 20 ekor unta. Kendati usia Khadijah selisih lebih tua 15 tahun, tapi ia merupakan perempuan yang cantik, pandai, terpandang, dan kaya raya. (Safyurrahman al-Mubarakfuri, Rahiqul Makhtum, 2013: halaman 62). 

 

Menggembala Kambing 

Profesi lain yang pernah Nabi geluti adalah menggembala kambing. Hal ini dilakukannya tepat ketika berada di bawah asuhan sang paman, Abu Thalib. Menyadari kondisi ekonomi pamannya sedang kurang membaik, Muhammad kecil berinisiatif untuk menggembala kambing milik orang-orang Arab dengan imbalan beberapa dinar. Meski awalnya Abu Thalib keberatan, akhirnya ia mengizinkannya juga.
 

Kelak, ketika sudah diutus menjadi Nabi, beliau menyampaikan profesinya ini kepada para sahabatnya. Beliau tidak gengsi dengan masa lalunya ini, kendati posisinya sekarang sebagai rasul, pemimpin umat, dan terlahir dari nasab mulia. Dalam satu hadits Nabi bersabda:
 

مَا بَعَثَ اللهُ نَبِيّاً إِلاَّ رَعَى الْغَنَمَ، فَقَالَ أَصْحَابُهُ: وَأَنْتَ؟ فَقَالَ: نَعَمْ، كُنْتُ أَرْعَاهَا عَلَى قَرَارِيطَ لِأَهْلِ مَكَّةَ 


Artinya, “Semua nabi yang diutus Allah swt pernah menggembala kambing.” Para sahabat bertanya, ”Dan engkau sendiri?” Beliau menjawab, ”Ya, aku juga dulu menggembalakan (kambing-kambing) milik penduduk Makkah dengan upah beberapa qirath.” (HR al-Bukhari).

 

Sejumlah ulama mengatakan profesi para nabi sebagai penggembala kambing memiliki nilai filosofis tinggi. Saat menggembala, seseorang akan merasakan berkerja tidak mengenal cuaca. Baik saat musim dingin atau panas, mereka berada di alam bebas menjaga kambing-kambingnya. Belum lagi jika hidup di tanah tandus seperti di Arab, kondisi sangat kehausan di tanah kering pasti sangat menguji kesabaran. Dalam kondisi inilah penggembala digembleng menjadi pribadi yang tabah. 

 

Kemudian, penggembala juga akan memiliki sifat tawadhu. Sebab, mereka biasa hidup membersamai kambing-kambingnya. Menjaganya, menjamin agar tidak ada yang kelaparan, bahkan jika malam masih menggembala akan tidur di samping hewan-hewan yang bau. Kebiasaan seperti ini membuat para penggembala memiliki sifat tawadhu karena hidup dalam keprihatinan. 

 

Lalu, nilai yang tidak kalah penting dari menggembala adalah mendidik keberanian dan sifat kepemimpinan. Saat menggembala, mereka pasti akan sering bermalam di tanah sepi yang jauh dari pemukiman. Kemudian, mereka juga bertanggung jawab agar semua hewan yang dibawanya tetap dalam keadaan aman dan pulang tidak kurang satu ekor pun. (Ali Muhammad ash-Shallabi, as-Sirah an-Nabawiyah, 2008: halaman 55).

 

Dari kisah profesi Nabi Muhammad di atas dapat dipetik hikmah. Mencari rezeki dari jeri payah sendiri yang halal merupakan ajaran penting dalam Islam. Saat pengangguran masih menjadi problem besar negeri ini, meneladani sosok rasul sangat penting. Hidup sebagai nabi, pemimpin umat, dan lahir dari nasab mulia, tidak membuat beliau gengsi meski harus menjadi seorang penggembala kambing. Wallahu a’lam.

 

Ustadz Muhamad Abror, Alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Ma'had Aly Saidusshiddiqiyah Jakarta