Ilmu Hadits

Mengapa Banyak Hadits Dhaif di Kitab Ihya’ Ulumiddin?

Kam, 12 September 2019 | 05:00 WIB

Mengapa Banyak Hadits Dhaif di Kitab Ihya’ Ulumiddin?

Ihya' Ulumiddin merupakan karya terbesar Imam al-Ghazali yang dipuji banyak ulama terkemuka. (Ilustrasi: NU Online)

Sudah sangat masyhur bahwa Imam al-Ghazali merupakan salah satu ulama terkemuka mazhab Syafi’i. Tidak dapat diragukan lagi kapasitas keilmuaannya. Saking alimnya, beliau mendapat julukan Hujjatul Islam yang berarti bukti atau dalil agama Islam. 
 
Kitab-kitab karya beliau terbilang cukup banyak, dan hampir seluruhnya sudah tersebar di berbagai penjuru negeri. Di antara beberapa karyanya yang cukup fenomenal adalah kitab Ihya’ Ulumiddin (Menghidupkan Ilmu Agama). Di Indonesia—khususnya di kalangan pesantren—kitab ini merupakan pegangan para santri tingkat paripurna. Dalam dunia pesantren dikenal ungkapan bahwa kurang sempurna bagi seorang santri jika dalam masa nyantrinya belum pernah ngaji kitab Ihya’ Ulumiddin ini.
 
Sayyid al-Qutb As-Syekh ‘Abdullah bin Abi Bakr al-‘Idrus radliyallahu ‘anhu pernah memuji kedahsyatan Imam al-Ghazali dan kitab-kitab karangannya sebagai berikut:
 
أجمع العلماء العارفون بالله تعالى على أنه لا شيء أنفع للقلب وأقرب إلى رضى الرب سبحانه من متابعة الغزالي ومحبة كتبه. وكتب الغزالي لباب الكتاب والسنة ولباب المعقول والمنقول. انتهى.
 
“Para ulama al-‘arif billah sepakat bahwa tidak ada sesuatu yang lebih bermanfaat bagi hati dan lebih dekat menuju ridha Allah dibanding mengikuti Imam al-Ghazali dan mencintai kitab-kitabnya. Kitab al-Ghazali merupakan inti sari dari Al-Qur’an dan hadits dan juga inti sari dari sesuatu yang dapat dijangkau oleh akal dan tidak terjangkau oleh akal” (Habib Zein bin Ibrahim bin Smith, Al-Manhaj as-Sawi, hal. 249).
 
As-Syekh al-Qutb Abdurrahman as-Segaf bahkan secara khusus menegaskan pentingnya mengkaji kitab Ihya’ Ulumiddin, beliau berkata:
 
ومن لم يطالع «الإحياء» فما فيه حياء
 
“Barangsiapa yang tidak mengaji kitab Ihya’ Ulumiddin maka ia tidak memiliki rasa malu” (Habib Zein bin Ibrahim bin Smith, Al-Manhaj as-Sawi, hal. 249)
 
Namun jika kita menelaah kitab Ihya’ Ulumiddin secara seksama, seringkali kita temukan dalil hadits yang disampaikan oleh Imam al-Ghazali dalam kitab tersebut banyak yang berstatus hadits dhaif, bahkan hadits yang bertaraf munkar. Lantas apakah hal ini akan tidak menurunkan terhadap kredibilitas kitab Ihya’ Ulumiddin?
 
Ulama terkemuka Damaskus, Syekh Said Ramadhan al-Buthi pernah ditanya hal serupa dalam majelis fatwanya. Beliau menegaskan bahwa pencantuman berbagai hadits dhaif dalam kitab Ihya’ Ulumiddin bukanlah hal yang perlu dipermasalahkan, sebab Imam al-Ghazali mencantumkan hadits-hadits dhaif tersebut umumnya dalam menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan fadhail al-a’mal (keutamaan beberapa pengamalan), bukan sebagai dalil atas penetapan hukum syara’. Sangat masyhur dalam pandangan para ulama hadits bahwa hadits dhaif masih dapat diamalkan dalam ranah fadhail al-a’mal, selama hadits dhaif tersebut tidak terlalu parah kedhaifannya, misalkan sampai bertaraf hadits maudhu’. Berikut penjelasan beliau mengenai hal ini:
 
لماذا تكثر الأحاديث الضعيفة والمنكرة فى إحياء علوم الدين للإمام الغزالى وهو الذي يدّعى حجة الإسلام؟
 
أكثر الأحاديث الضعيفة والمنكرة الواردة فى كتاب إحياء علوم الدين للإمام الغزالى تتعلّق بفضائل الأعمال الثابت فضلها بأدلّة ثابتة أخرى. وعلماء الحديث متفقون على أنه لا ضير فى الإستشهاد بالأحاديث الضعيفة لفضائل الأعمال بشرط أن لا يشتدّ ضعفه وأن لا يوهم الراوي أثناء الإستشهاد بها بأنّها صحيحة على أنّ الله قيّض لهذه الأحاديث من أبرزها وميّزها وبيّن ضعفها وهو الحافظ العراقي فما الإشكال الذي يؤرق بالك من هذا الأمر الذي لا إشكال فيه.
 
“Mengapa banyak hadits dhaif dan hadits munkar dalam kitab Ihya’ Ulumiddin milik Imam al-Ghazali, padahal beliau mendapat julukan Hujjatul Islam?
 
Mayoritas hadits dhaif dan hadits munkar yang terdapat dalam kitab Ihya’ Ulumiddin milik Imam Al-Ghazali berhubungan dengan keutamaan beberapa pengamalan (fadhail al-a’mal) yang keutamaannya memang tetap dengan beberapa dalil konkrit yang lain. Para ulama hadits sepakat bahwa tidak masalah menjadikan dalil hadits dhaif untuk urusan keutamaaan beberapa pengamalan (fadhail al-a’mal) dengan syarat sifat lemahnya tidak terlalu parah dan tidak menjadikan salah paham pada pertengahan mendalil bahwa hadits yang disampaikan adalah hadits shahih. Selain itu, Allah juga menetapkan hadits-hadits ini pada seseorang yang menampilkan, membedakan dan menjelaskan kedhaifan hadits-hadits tersebut, dia adalah Al-Hafiz al-‘Iraqi. Lantas kemuskilan apa yang terbesit dalam hatimu tentang persoalan ini yang sebenarnya tidak perlu dimuskilkan?” (Syekh Said Ramadhan al-Buthi, Masyurat Ijtima’iyyat, hal. 149).
 
Baca juga:
 
Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa berbagai hadits dhaif yang terdapat dalam kitab Ihya’ Ulumiddin sama sekali tidak menurunkan kredibilitas serta kualitas kitab tersebut sebagai kitab rujukan. Sebab mayoritas pencantuman hadits dhaif dalam kitab Ihya’ Ulumiddin ini bukan untuk menjadikan dalil penetapan hukum syara’, tapi dalam ranah menjelaskan fadhail al-a’mal yang telah disepakati kelegalannya oleh para ulama hadits dengan berdasarkan hadits yang dhaif. Wallahu a’lam.

 
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember