Ilmu Hadits

Pembukuan Hadits dari Masa ke Masa: Masa Nabi hingga Imam Al-Bukhari

Jum, 22 Maret 2024 | 08:00 WIB

Pembukuan Hadits dari Masa ke Masa: Masa Nabi hingga Imam Al-Bukhari

Ilustrasi pembukuan hadits dari masa ke masa. (Youtube).

Kitab Ta'limul Muta'allim merupakan kurikulum wajib hampir di setiap pesantren. Dalam kitab motivasi untuk para pencari ilmu itu ada kutipan singkat bermakna mendalam sebagai berikut
 

ما حفظ فرّ وما كتب قرّ
 

Artinya, "Apa yang dihafal akan (cepat) hilang, apa yang ditulis akan abadi."
 

Begitu pentingnya menulis bagi masa depan ilmu, Imam As-Syafi'i mengatakan:
 

اعْلَمُوا رَحِمَكُمُ اللَّهُ أَنَّ هَذَا الْعِلْمَ يَنِدُّ كَمَا تَنِدُّ الْإِبِلُ فَاجْعَلُوا الْكُتُبَ لَهُ حُمَاةً وَالْأَقْلَامَ عَلَيْهِ رُعَاةً
 

Artinya, "Ketahuilah–semoga Allah merahmati kalian semua–bahwa ilmu ini akan lari seperti unta, maka jadikanlah buku-buku sebagai ladang rumput, dan tinta sebagai penggembala."
(Ahmad bin 'Ali Al-Khathib Al-Baghdadi, Taqyidul 'Ilmi, [Beirut, Ihya'us Sunnatin Nabawiyyah], halaman 114).
 

Unta gembala, jika dibiarkan tanpa ladang rumput dan penggembala, ia akan lari. Begitu pula ilmu, jika dibiarkan tanpa ditulis dalam buku, ia akan hilang.
 

Barangkali inilah yang menjadi keprihatinan Umar bin Abdul Aziz, khalifah Bani Umayyah yang integritasnya sudah tersohor ke seluruh penjuru dunia, bukan hanya sebagai pemimpin, namun juga sebagai ulama dan ahli ibadah.
 

Di penghujung abad pertama hijriah, beliau mengirim surat ke berbagai daerah kekuasaannya, salah satunya pada Abu Bakar bin Hazm, Gubernur Madinah pada saat itu yang juga seorang ulama:
 

انْظُرْ مَا كَانَ مِنْ حَدِيثِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَاكْتُبْهُ؛ فَإِنِّي خِفْتُ دُرُوسَ الْعِلْمِ وَذَهَابَ الْعُلَمَاءِ
 

Artinya, "Carilah semua hadits Rasulullah lalu tulislah, sungguh aku takut ilmu ini akan hilang, dan para ulama akan meninggal." (Muhammad bin Isma'il Al-Bukhari, Shahihul Bukhari, [Cairo: Darut Ta'shil, 2012], juz I, halaman 268).
 

Mulai saat itulah pembukuan hadits dilakukan secara massif.
 

Pembukuan Hadits di Masa Sahabat

Sebelum itu, di masa Sahabat memang ada beberapa yang mencatat hadits Rasulullah saw, namun catatan-catatan tersebut hanya sebagai koleksi pribadi, tidak disebarluaskan sebagai buku pedoman. Di antara Sahabat yang mencatat hadits Rasulullah adalah:

  1. Jabir bin Abdullah
    Buku catatan (shahifah) milik Jabir ra dihafal oleh ahli hadits kota Basrah generasi Tabi'in, yaitu Qatadah bin Di'amah.
     
  2. Ali bin Abi Thalib
    Sayyidina Ali memiliki buku catatan berisi hadits Rasulullah tentang hukum diyat, tebusan tawanan perang, dan tidak ada qishash bagi seorang muslim yang membunuh orang kafir..
     
  3. Abdullah bin 'Amr
    Buku catatan hadits ini beliau beri nama Shahifah Ash-Shadiqah. Sepertinya inilah catatan hadits paling banyak di masa Sahabat, jumlah hadits yang terbukukan dalam shahifah ini mencapai seribu hadits. (Muhammad bin Alawi Al-Maliki, Al-Manhalul Lathif, [Beirut, Darul Hawi: 2019], halaman 21-22).
 

Daftar nama Sahabat yang mencatat hadits Rasulullah secara rinci dapat dilihat dalam kitab Dirasat fil Haditsin Nabawi wa Tarikhi Tadwinih karya Syekh Dr Muhammad Mushthafa Al-A'dzami.
 

Pencatatan Hadits di Masa Rasulullah saw

Selain buku catatan pribadi para Sahabat di atas, pencatatan terhadap hadits Rasulullah ketika beliau hidup juga tertuang dalam hal-hal di bawah ini:

  1. Perjanjian-perjanjian yang dilakukan Rasulullah dengan orang-orang kafir seperti Perjanjian Hudaibiyah, Piagam Madinah, dan Perjanjian Tabuk.
  2. Surat beliau pada para Sahabat yang beliau utus ke berbagai kota untuk menjadi pemimpin di kota tersebut.
  3. Surat beliau pada para raja di berbagai negeri yang berisi tentang ajakan memeluk Islam.

Tentu ketiga hal di atas masuk kategori hadits, karena berisi sabda Rasulullah saw.(Nuruddin 'Itr, Manhajun Naqdi fi 'Ulumil Hadits, [Damaskus, Darul Fikr: 2017], halaman 52-53).
 

Pembukuan Hadits secara Massif

1. Pembukuan Hadits Akhir Abad I - Awal Abad II H

Kembali pada kebijakan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Setelah surat-surat beliau kirimkan ke seluruh penjuru daerah kekuasaannya, orang pertama yang berhasil membukukan hadits-hadits Rasulullah adalah Ibn Syihab Az-Zuhri (w 124 H), seorang Tabi'in asal Madinah, murid Anas bin Malik ra.

Di era Az-Zuhri, metode yang digunakan dalam menyusun kitab hadits adalah mengumpulkan beberapa hadits, atsar Sahabat, dan fatwa para Tabi'in dalam satu tema. Misalnya tentang shalat, maka satu kitab hanya berisi hadits, atsar, dan fatwa Tabi'in tentang shalat. Satu kitab hanya memuat satu tema. (Muhammad Abu Zahu, Al-Hadits wal Muhadditsun, [Riyadh, Ar-Ri'asatul 'Ammah li Idaratil Buhutsil 'Ilmiuyah: 1984], halaman 128).
 

Jika di masa Sahabat buku catatan hadits hanya sebagai koleksi pribadi, mulai kurun ini kitab hadits didistribusikan secara luas, dan dijadikan pedoman. Syekh Dr Nuruddin 'Itr mengatakan:
 

المرحلة الثانية: الكتابة التي تقصد مرجعا يعتمد عليه ويتداولها الناس، وهذه بدأت من القرن الثاني للهجرة
 

Artinya, "Fase pembukuan kedua: pembukuan hadits untuk dijadikan sebagai pedoman dan didistribusikan secara luas. Kerja ilmiah ini dimulai pada abad II H." ('Itr, 51).
 

2. Pembukuan Hadits Abad II H

Setelah era Az-Zuhri, pembukuan hadits kian marak di generasi setelahnya, gerakan ini tersebar di beberapa kota:

  1. Makkah ada Ibnu Juraij (w 150 H).
  2. Madinah ada Ibnu Ishaq (w 151 H) dan Malik bin Anas (w 179 H).
  3. Di Basrah ada Ar-Rabi' ibn Shabih (w 160 H), Sa'id ibn 'Arubah (w 156 H), dan Hammad bin Salamah (w 176 H).
  4. Di Kufah ada Sufyan Ats-Tsauri (w 161 H).
  5. Di Syam ada Al-Auza'i (w 156 H).
  6. Di Wasith ada Husyaim (w 188 H).
  7. Di Yaman ada Ma'mar bin Rasyid (w 153 H).
  8. Di Ray ada Jarir bin Abdul Hamid (w 188 H).
  9. Di Khurasan ada Ibnul Mubarak (w 181 H), dan masih banyak yang lainnya.
 

Metode mereka dalam menyusun hadits hampir sama dengan era sebelumnya, yaitu mengumpulkan hadits, atsar Sahabat, dan fatwa Tabi'in dalam satu tema. Bedanya, mereka mengumpulkan tema itu dalam satu bab. Lalu mengumpulkan hadits, atsar, dan fatwa Tabi'in dalam tema lain, dan menempatkannya di bab selanjutnya. Begitulah seterusnya hingga menjadi satu kitab yang memuat beberapa Bab dengan ragam tema. (Abu Zahu, 244).
 

3. Pembukuan Hadits Abad III H

Masa ini adalah masa emas bagi kinerja pembukuan hadits. Di masa ini muncul banyak nama-nama besar. Al-Bukhari (w 256 H), Muslim (w 261 H), Ibnu Majah (w 273 H), Abu Dawud (w 275 H), At-Tirmidzi (w 279 H), dan An-Nasa'i (w 303 H).

Keenam kitab yang mereka susun, kemudian dijadikan sebagai kitab rujukan bagi ulama setelahnya yang dikenal dengan istilah Al-Kutubus Sittah (6 kitab induk).

Dalam menyusun kitab hadits, para ulama di masa ini hanya memasukkan hadits-hadits Rasulullah saja, tanpa menyertakan atsar Sahabat dan fatwa Tabi'in. Ada yang hanya mencantumkan hadits-hadits shahih seperti Al-Bukhari dan Muslim. Ada pula yang tidak hanya mencantumkan hadits shahih seperti yang dilakukan oleh empat nama terakhir. 
(Abu Zahu, halaman 263).
 

Mulai fase awal hingga fase ketiga ini, para ulama menyusun kitab hadits dengan menulis hadits-hadits yang mereka dapatkan dari guru-guru mereka melalui lisan, sehingga ketika menyusun kitab, mereka menuliskan apa yang telah mereka hafal.  (Abu Zahu, 423).
 

Dengan berakhirnya fase ketiga ini, proses pembukuan hadits seolah sudah selesai. Karena yang terjadi di masa selanjutnya mayoritas hanya penyempurnaan dari karya-karya di kurun ini dan kurun-kurun sebelumnya. Seperti yang dinarasikan Syekh Muhammad Abu Zahu:
 

وصار العلماء في القرن الرابع وما بعده يجمعون ما تفرق في كتب الأولين أو يختصرونها بحذف الأسانيد أو يقومون بشيء من الترتيب والتهذيب إلى غير ذلك
 

Artinya, "Pada kurun ke IV Hijriah dan seterusnya, yang dilakukan para ulama adalah mengumpulkan hadits-hadits yang tercecer di kitab-kitab ulama terdahulu, atau merangkum kitab-kitab tersebut dengan membuang sanadnya, atau menyusun dan menyempurnakan kitab-kitab tersebut, dan lain sebagainya." (Abu Zahu, 423). Wallahu a'lam.
 

Ustadz Rif'an Haqiqi, Pengajar di Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyyah Berjan Purworejo.