Ilmu Hadits

Riwayat-riwayat yang Dinilai Dha’if Peristiwa Isra' Mi’raj

Kam, 8 Februari 2024 | 07:00 WIB

Riwayat-riwayat yang Dinilai Dha’if Peristiwa Isra' Mi’raj

Ilustrasi: isra' mi'raj4 (NU Online).

Pada malam 27 Rajab umat muslim memperingati peristiwa penting dalam sejarah Islam, yaitu peristiwa Isra' Mi’raj. Pada malam tersebut Nabi Muhammad diperjalankan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, kemudian dari Masjidil Aqsha ke Sidratul Muntaha.

'

Kisah-kisah Isra Mi’raj dengan detail diceritakan oleh para ulama. Umumnya cerita-cerita tersebut bersumber dari hadits-hadits Nabi saw yang didengar oleh para sahabat dan diriwayatkan secara turun-temurun.

 

Hadits-hadits yang menceritakan peristiwa Isra' Mi’raj banyak didapati dalam kitab-kitab hadits yang populer, misalnya kutubus sittah. Status hadits-hadits terkait Isra' Mi’raj juga dapat dikonfirmasi shahih. Kendati demikian, beberapa riwayat tentu perlu peninjauan ulang bahkan dianggap dha’if oleh kalangan ahli hadits, berikut di antaranya:

 

Pertama, hadits mengenai anjuran malaikat kepada Nabi saw ketika sedang Mi’raj atau naik ke Sidratul Muntaha supaya berbekam. Hadits tersebut lafalnya adalah:

 

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيه وسَلَّم قَالَ: لَمَّا عُرِجَ بِي إِلَى السَّمَاءِ لَمْ أَمُرَّ بِمَلَأٍ مِنَ الْمَلاَئِكَةِ إِلاَّ قَالُوا : عَلَيْكَ يَا مُحَمَّدُ بِالْحِجَامَةِ

 

Artinya, “Dari Abu Sa’id, dari Nabi Muhammad saw, beliau bersabda: ‘Ketika aku naik (M’raj) ke surga, aku tidak melewati sekelompok malaikat kecuali mereka berkata: ‘Muhammad, engkau harus berbekam’.”

 

Hadits ini dicantumkan Ahmad bin Abu Bakr Al-Bushiri dalam Ithaful Khiyarah beserta komentarnya. Ia berkomentar, “Hadits ini dinilai dha’if sebab terdapat perawi bernama Muhammad bin ‘Umar Al-Waqidi.” (Ahmad bin Abu Bakr al-Bushiri, Ithaful Khiyarah, [Riyadh, Darul Wathan: 1999], jilid IV, halaman 437).

 

Melihat redaksi hadits tersebut, secara rasional perkataan malaikat soal bekam tampak tidak layak dikatakan kepada Nabi saw pada perjalannya menuju langit. Namun apabila melacak kepada kitab-kitab hadits populer, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah, ternyata pernah meriwayatkan hadits yang semakna, yaitu:

 

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا مَرَرْتُ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي بِمَلَإٍ مِنْ الْمَلَائِكَةِ إِلَّا كُلُّهُمْ يَقُولُ لِي عَلَيْكَ يَا مُحَمَّدُ بِالْحِجَامَةِ

 

Artinya, “Dari Ibnu 'Abbas, bahwa Rasulullah saw bersabda: “Ketika malam aku di-isra`kan, tidaklah aku melewati seorang malaikat kecuali semuanya berkata kepadaku: 'Wahai Muhammad hendaknya kamu berbekam'." (HR Ibnu Majah).

 

Mengomentari hadits ini, Al-Arnauth menyebutkan bahwa sanad hadits di atas adalah dha’if karena ada Jabbarah dan Katsir bin Salim di mana keduanya dianggap dha’if, bahkan An-Nasa’i dan Abu Zur’ah menilai Katsir sebagai orang yang lemah periwayatnnya serta dianggap matruk. (Adz-Dzahabi, Mizanul I’tidal fi Naqdir Rijal, [Beirut: Darul Ma’rifah: 1963] jilid I, halaman 387).

 

Mesikpun banyak dinilai dha’if, beberapa perawi yang meriwayatkan hadits semakna menilainya shahih seperti  Imam Al-Hakim yang mencantumkan hadits ini dalam Al-Mustadrak.
 

Apabila kita melihat cara ahli ushul dalam mengklasifikasi sunnah menjadi sunnah tasyri’iyyah (bersumber dari wahyu) dan ghair tasyri’iyyah (tidak bersumber dari wahyu), maka hadits bekam tergolong sunnah ghiar tasyri’iyyah karena bagian dari teknik pengobatan yang ada pada masa itu dan diikuti oleh Nabi sebagai bagian dari masyarakatnya. (Ahmad 'Ubaydi Hasbillah, Sirah Nabawiyah dan Demitologisasi Kehidupan Nabi, Journal of Quran and Hadith Studies, vol-1, No. 2, halaman 269).
 

Kedua, hadits ketika Rasulullah saw memasuki surga, beliau melihat pada kaki langit terdapat tulisan yang artinya “Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad Rasulullah, dan aku akan dibantu oleh ‘Ali”. Hadits tersebut adalah:

 

وعن أبى الحمراء خادم النبي صلى الله عليه وسلم قال سمعت النبي صلى الله عليه وسلم يقول لما أسرى بي إلى السماء دخلت الجنة فرأيت في ساق العرش مكتوبا لا أله إلا الله محمد رسول الله أيدته بعلي ونصرته
 

Artinya, “Dari Abul Hamra, pembantu Nabi saw, ia berkata, ‘Ketika aku dinaikkan ke langit, aku melihat di kaki ‘arasy tertulis ‘Tiada Tuhan melainkan Allah, Muhammad utusan Allah dan aku dibantu oleh Ali dan diberi kemenangan dengan Ali’.” (HR At-Thabrani).
 

‘Ali bin Abu Bakr Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid menyebutkan bahwa hadits ini dha’if sebab ada periwayat bernama ‘Amrun bin Tsabit, sedangkan ia adalah periwayat yang matruk.” (Al-Haitsami, Majma’ az-Zawaid, [Beirut, Darul Kutub al-‘Ilmiyyah: 1988], jilid XIX, halaman 261).
 

Sebagaimana yang dijelaskan oleh para ahli hadits juga, di antara ciri hadits dha’if yaitu memiliki substansi hadits yang menyeru kepada suatu mazhab atau menjunjung tinggi suatu tokoh agar tampak otoritatif, sebagiamana hadits di atas menjunjung ‘Ali bin Abi Thalib.
 

Misal lainnya tentang hadits-hadits yang menjunjung tinggi satu tokoh tertentu, khususnya yang terlibat dalam persoalan politik adalah hadits tentang ‘Utsman bin ‘Affan yang disebut oleh para bidadari surga. Hadits ini dikisahkan terjadi saat Nabi saw berada di surga ketika Mi’raj, yaitu:

عن ابن عمر قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: لما أسرى بى إلى السماء فصرت إلى السماء الرابعة سقط فى حجرى تفاحة فأخذتها بيدى فانفلقت فخرج منها حوراء تقهقه فقلت لها تكلمى لمن أنت قالت للمقتول شهيدا عثمان بن عفان

 

Artinya, “Dari riwayat Ibnu ‘Umar, beliau berkata: Rasulullah saw bersabda, ‘Ketika aku dibawa dalam perjalanan menuju surga dan sampai di langit keempat, sebuah apel jatuh di pangkuanku, aku pun mengambilnya dengan tanganku kemudian apel itu terbelah, lalu keluarlah bidadari bermata jeli seraya tertawa. Aku berkata kepada bidadari tersebut, “Bicaralah, kamu milik siapa sebenarnya?.” Bidadari tersebut berkata, “Utsman bin Affan, yang dibunuh sebagai syahid.” 

 

As-Suyuthi mengutip hadits di atas dalam Jami’ul Ahadits sekaligus melampirkan beberapa komentar ulama. Ia berkata, “Al-Khatib dan Ibnu ‘Asakir meriwayatkan hadits ini dan mengomentarinya sebagai hadits munkar dengan sanad ini, sedangkan semua perawinya dinilai kredibel selain Abu Ja’far bin Muhammad.” (As-Suyuthi, Jami’ul Ahadits, jilid XXXVI, halaman 473).
 

Ketiga, hadits dha’if lainnya yang muncul saat peristiwa Isra Mi’raj adalah terkait nama Abu Bakar beriringan dengan nama Nabi Muhammad yang terdapat di setiap tingkatan langit. Hadits tersebut adalah:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَمَّا عُرِجَ بِي إِلَى السَّمَاءِ، مَا مَرَرْتُ بِسَمَاءٍ إِلَّا وَجَدْتُ اسْمِي فِيهَا مَكْتُوبًا: مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ، أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ 

 

Artinya, “Dari Ibnu ‘Umar, beliau berkata: Rasulullah saw bersabda, ‘Ketika Allah mengangkatku ke langit, aku tidak melewati langit manapun kecuali aku menemukan namaku tertulis di sana, ‘Muhammad adalah utusan Allah dan Abu Bakr As-Siddiq.” 

 

Al-Haitsami mengomentari hadits di atas dha’if sebab ada ‘Abdullah bin Ibrahim Al-Ghifari yang dinilai dha’if. Hanya saja aAl-Haitsami tidak menjelaskan panjang lebar alasannya. (Al-Haitsami, Majma’ az-Zawaid, jilid IX, halaman 41).

 

Meskipun hadits-hadits di atas tergolong dha’if, apabila ada hadits lain yang semakna dan dinilai shahih maka dapat dipertimbangkan untuk diamalkan, tidak dibuang begitu saja. 

 

Di sisi lain, dalam hal keutamaan atau fadhailul a’mal seperti memperingati Isra' Mi’raj maka sah-sah saja bila didapati hadits dha’if yang berkaitan dengan tema tersebut asalkan memenuhi beberapa syarat.

 

Adapun syarat-syarat tersebut adalah dha’ifnya tidak parah sekali, ada unsur di dalam hadits tersebut yang ada pada nash Al-Quran dan Hadits, tidak merupakan persoalan aqidah, akan tetapi soal fadhailul a’mal dan tidak meyakini keotentikannya, disertai kehati-hatian serta menjelaskan kedha’ifannya pada khalayak. (Mahmud Thahhan, Taysir Mushtalahil Hadits, [Maktabah Al-Ma’arif: 2004], halaman 81).
 

Demikianlah riwayat-riwayat yang dha’if terkait peristiwa Isra' Mi’raj. Meskipun beberapa riwayat dinilai dha’if, masih banyak riwayat-riwayat yang shahih dan valid dalam kitab-kitab hadits yang menjadi sumber kisah Isra Mi’raj.Tentunya riwayat dha’if pun tidak masalah dalam hal fadha’ilul a’mal. Wallahu a’lam.

 

Ustadz Amien Nurhakim, Musyrif Pesantren Darussunnah Jakarta