Ilmu Tauhid

Apakah Iman Bisa Bertambah atau Berkurang?

Sen, 19 Februari 2024 | 08:00 WIB

Apakah Iman Bisa Bertambah atau Berkurang?

Ilustrasi: Iman (NU Online).

Pembahasan mengenai iman menjadi penting dalam Islam. Karena iman berbicara persoalan pembenaran (tashdiq). Pembenaran datang setelah meyakini apa yang ada di hadapannya. 

 

Tanpa keimanan, keislaman seseorang justru dipertanyakan. Tidak mungkin seseorang mengatakan dirinya berislam di saat yang sama mengingkari adanya Allah, tidak percaya Muhammad, malaikat, kitab suci, hari Akhir, dan takdir.

 

Ketika seseorang menyatakan dirinya beriman kepada Allah berarti ia meyakini dengan pasti bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan. Begitu juga, beriman kepada nabi dan rasul yang bermakna ia yakin bahwa mereka benar-benar utusan Allah.

 

Dalam liku kehidupan, seorang tidak lepas dari ujian dan cobaan hidup. Adakalanya ujian tersebut membuatnya merasa down, lalu berasumsi bahwa iman yang dimilikinya sedang berkurang. Pada kondisi lain, ketika beribadah kepada Allah ia merasa imannya sedang naik-naiknya.

 

Apakah asumsi tersebut benar? Bahwa iman adakalanya bisa bertambah dan bisa juga berkurang pada diri seseorang. 

 

Imam Ibrahim Al-Laqqani dalam kitab Jauharatut Tauhid menerangkan hal tersebut. Tepatnya pada dua bait berikut.
 


وَرُجِّحَـتْ: زيَـادَةُ  اْلإِيمَـانِ # بِمَـا تَزِيـدُ طَـاعَـةُ  اْلإِنْـسَـانِ
وَنَقَصُهُ بِنَقْصهَـا. وَقِيـلَ: لاَ  #وَقِيـلَ لاَ. خُلْـفَ كَـذَا قَـدْ نُقـلاَ


 

Artinya, “Diunggulkan (pendapat) bertambahnya iman sebab bertambahnya ketaatan manusia. Kurangnya iman sebab kurangnya ketaatan, ada yang mengatakan tidak (demikian) dan ada juga yang mengatakan tidak ada khilaf, begitulah dinukil.”


 

Pensyarah kitab, Syeikh Nuh Ali Salman Al-Qudhah mengatakan dari dua bait tersebut setidaknya ada empat kelompok ulama yang pendapat apakah iman dapat bertambah dan berkurang. (Nuh Ali Salman Al-Qudhah, Muktashar Al-Mufid fi Syarh Jauharah At-Tauhid, [Amman, Dar Ar-Razi: 1999], halaman 41).

 

Pertama, jumhur ulama Asya’irah berpandangan bahwa iman dapat bertambah dengan sebab bertambahnya ketaatan. Pun demikian, dapat berkurang dengan berkurangnya ketaatan yakni terjerumus dalam kemaksiatan.

 

Dari kelompok pertama akhirnya lahir ungkapan yang familiar di kalangan pengikutnya, “Al-Iman yazid wa yanqush”, atau iman itu bisa bertambah dan bisa pula berkurang.

 

Kedua, Abu Hanifah berpendapat iman tidak dapat bertambah dan juga tidak bisa berkurang.
 

Ketiga, menurut sebagian ulama, iman bisa bertambah tapi tidak bisa berkurang.
 

Keempat atau terakhir, khilaf terkait iman hanyalah khilaf lafzhi atau perbedaan dari segi lafal saja, sedangkan substansinya tetap sama.

 

Syeikh Nuh kemudian menjelaskan istidlal yang dibangun oleh empat pendapat tersebut.
 

Pendapat Pertama yang mengatakan iman dapat bertambah dan berkurang berpegang pada surat Al-Anfal ayat 2:

 


وَاِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اٰيٰتُهٗ زَادَتْهُمْ اِيْمَانًا

Artinya: “… Dan jika dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya”


 

Ayat tersebut terang mengatakan, dengan mendengarkan Al-Qur’an dapat menambah keimanan seseorang.
 

 

Begitu juga dengan surat Al-Fath ayat 3.
 


لِيَزْدَادُوْٓا اِيْمَانًا مَّعَ اِيْمَانِهِمْ

 

Artinya: “Untuk menambah keimanan atas keimanan mereka (yang telah ada).”

 

Jumhur ulama Asya’irah menjadikan ayat-ayat tersebut sebagai dalil bahwa iman dapat bertambah dan juga berkurang.
 


وَهَذِهِ الْآيَاتُ كُلُّها تَنُصُّ عَلَى زيادَةِ الْإِيمَانِ ، وَمَا كَانَ قَابِلًا لِلزِّيَادَةِ فَهُوَ قابِلٌ لِلنَّقْصِ

 

Artinya: “Ayat-ayat tersebut menjadi nas (dalil) atas bertambahnya iman. Apapun yang bisa menerima tambahan maka dapat juga menerima kekurangan.”

 

Pensyarah lain, Al-Baijuri mengatakan ketentuan ini berlaku bagi orang mukmin selain para nabi dan malaikat. Karena keimanan mereka terus bertambah dan tidak berkurang. (Ibrahim bin Muhammad Al-Baijuri, Tuhfat Al-Murid Syarh Jauharah At-Tauhid,  [Beirut, Dar Al-Kutub Al-‘Alamiyah: 2004], halaman 61).

 

Terdapat pula hadits Nabi Muhammad saw yang menjelaskan hal demikian: “Sekiranya ditimbang imannya Abu Bakar dengan iman seluruh umat ini pasti akan unggul imannya Abu Bakar.” (HR Ishaq Rahawaih dan Al-Baihaqi dalam kitab Asy-Syu’ab Al-Iman).
 


Imam Al-Bukhari juga pernah berkata: “Aku bertemu lebih dari 1000 ulama dari berbagai kota. Aku tidak melihat seorangpun dari mereka berbeda dalam masalah iman itu perkataan dan perbuatan, dapat bertambah dan juga berkurang.”

 

Al-Qur’an, hadits, dan pendapat ulama di atas menjadi argumen dasar bertambah dan berkurangnya iman seseorang adalah sesuatu yang lazim. 

 

Justru, jika iman itu tidak berbeda, dengan kata lain sama, malah terlihat janggal. Karena iman seluruh orang mukmin bahkan orang fasik pun juga akan setara dengan imannya para nabi dan malaikat. Argumen inilah yang juga menjadi hujah dari Nahdlatul Ulama yang berkiblat kepada Asya’irah dari sisi teologi.

 

Kelompok kedua, mengatakan bahwa iman itu stagnan, tidak bertambah dan juga berkurang. Selain Abu Hanifah, Imam An-Nasafi juga menjadi tokoh kuat di balik kelompok ini.


Dalil yang mereka gunakan berlandaskan pertimbangan akal. Manusia adakalanya membenarkan dan ada juga yang tidak. Karenanya, iman juga tidak mungkin bertambah dan juga berkurang.”

 

Bagi mereka, ayat 2  surat Al-Anfal yang dijadikan argumentasi bagi kelompok pertama bukan pertanda bahwa iman bisa bertambah dan juga berkurang. Melainkan yang dimaksud dengan bertambah di sini ialah bertambahnya ayat yang mereka imani, yaitu ayat-ayat yang baru turun.
 


فَالزِّيَادَةُ هُنَا بِسْسِبُ زيادَةِ مَا يُؤْمِنُونَ بِهِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ

 

Artinya: “Yang dimakud bertambah dalam ayat ini yaitu bertambahnya ayat-ayat Allah yang mereka imani.”

 

Ayat ini menurut Al-Baijuri berkenaan dengan kasus para sahabat. Mereka beriman kepada Nabi Muhammad saw tapi syariat belum sempurna, ayat-ayat hukum masih turun bertahap. Karenanya, mereka beriman dengan ayat-ayat yang baru turun tersebut. (Al-Baijuri, Tuhfat Al-Murid, halaman 61)

 

Imam At-Taftazani juga menjelaskan bahwa maksud tashdiq atau pembenaran dalam iman ialah pembenaran hati yang sampai pada batas tunduk dan tetap. Definisi ini tidak dapat tergambar akan adanya pertambahan dan berkurangnya iman. Meskipun, pelakunya berbuat amal kebajikan ataupun keburukan tashdiq-nya tetap sama tidak akan berubah. (At-Taftazani, Syarhu Aqidah An-Nasafiyyah, [Beirut, Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi], halaman 117).
 


Sedangkan, kelompok ketiga berpendapat bahwa iman dapat bertambah tapi tidak bisa berkurang. Hujah mereka karena melihat yang dimaksud iman terdiri dari tiga bagian: qaul (perkataan), amal, dan i’tiqad (keyakian). (Al-Qudhah, halaman 43).

 

Qaul yang dimaksud di sini adalah ucapan syahadat. Syahadat tentunya tidak bertambah dan begitu juga berkurang. Ia hanya sebatas ucapan yang keluar dari mulut seseorang sebagai penanda bahwa orang tersebut telah beriman.

 

Sedangkan amal saleh bisa bertambah dan berkurang. Adapun i’tiqad bisa bertambah tapi tidak dapat berkurang. Seandainya berkurang maka tentu akan hilang apa yang keyakinan dan keimanan karena sudah bercampur dengan rasa syak (ragu).

 

Sementara pendapat keempat atau terakhir dipelopori Fakhruddin Ar-Razi dan Imam Al-Haramain mengambil jalan tengah dengan mengompromikan pendapat-pendapat sebelumnya.
 

Menurut kelompok ini, khilaf yang terjadi adalah khilaf lafzhi (secara lafal saja). Maksudnya, iman adalah persoalan tashdiq, tapi kesempurnaannya dengan amal saleh.

 

Sederhananya, mereka melihat dari asal muasal iman sendiri yakni tashdiq. Manusia adakalanya ia membenarkan ada juga yang tidak. Konsekuensinya ketika ia membenarkan berarti ia beriman dan tatkala tidak berarti sebaliknya atau tidak beriman.

 

Adapun bagi ulama yang berargumen bahwa iman bertambah dan berkurang dinilai karena berpegang pada kesempurnaan iman yakni amal saleh. Karena amal saleh bisa menyebabkan iman berkurang dan juga bertambah.

 

Syeikh Nuh mengunggulkan pendapat yang mengatakan iman dapat bertambah dan juga berkurang sebagaimana Imam Al-Laqqani dalam kitabnya, Jauharatut Tauhid. Hujahnya selain mengukuhkan dalil-dalil yang disebutkan di awal, Syeikh Nuh juga memberikan analogi berikut.
 


والإِنْسَانُ لَوْ تَأَمَّلَ فِي نَفْسِهِ لَوَجَدَ أَنَّ تَصْديقَهُ بِبَعْضِ القَضَايَا أَقْوَى مِنْ تَصْديقِهِ بِالْبَعْضِ الآخَرِ بَلْ إِنَّ تَصْديقَهُ بِالْقَضِيَّةِ الواحِدَةِ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ الأَحْوَالِ فَكُلُّ مُسْلِمٍ يُصَدِّقُ بِوُجُودِ مَكَّةَ المُكَرَّمَةِ والْمَدينَةِ المُنَوَّرَةِ والْكَعْبَةِ المُشَرَّفَةِ وَالقَبْرِ الشَّريفِ والْحَجَرِ الأَسْوَدِ إلخ لَكِنْ لَيْسَ الْإِيمَانَ بِهَا عِنْدَ مِنْ رَآهَا كَاَلْايمانِ بِهَا عِنْدَ مِنْ لَمْ يَرَهَا

 

Artinya: “Jika seseorang merenungi dirinya sendiri, maka ia akan mendapati bahwa keyakinannya terhadap suatu permasalahan lebih kuat dibandingkan keyakinannya terhadap permasalahan yang lain.
 

Sesungguhnya keyakinannya terhadap suatu permasalahan berbeda-beda tergantung keadaannya. Setiap muslim meyakini adanya Makkah, Madinah, Kakbah, Kuburan Nabi, Hajar Aswad, dan sebagainya. Namun, keimanan (keyakinan) orang yang pernah melihatnya tidaklah sama dengan keimanan orang yang belum pernah melihatnya.” (Al-Qudhah, halaman 44)

 

Analogi lain, iman bisa diumpamakan tanaman kecil, yang jika disiram dengan air (ketaatan) dan diperhatikan maka ia akan tumbuh besar dan kemudian matang berbuah. Sebaliknya jika dibiarkan tanpa perhatian (dimaksiat) justru ia akan lemah, kering, dan mati. Karenanya, amal saleh seperti air yang menguatkan iman tersebut.

 

Dalam Al-Qur’an seringkali penyebutan iman dibarengi dengan amal saleh. Tidaklah sama antara iman orang saleh dengan imannya orang fasik. Karenanya, menurut Al-Baijuri iman dapat bertambah dan juga berkurang adalah pendapat yang mu’tamad (yang dipedomani).

 

Dengan demikian dapat diambil kesimpulan, iman seseorang selain nabi dan malaikat sangat mungkin untuk bertambah dan juga berkurang. Bertambah dengan sebab ketaatan dan bisa berkurang sebab kemaksiatan yang dilakukan. Wallahu a’lam.

 


Ustadz Muhammad Izharuddin, Mahasantri STKQ Al-Hikam Depok