Ilmu Tauhid

Takwil dan Tafwidh dalam Al-Qur’an dan Hadits menurut Ahlussunnah wal Jamaah

Sen, 6 Maret 2023 | 19:00 WIB

Takwil dan Tafwidh dalam Al-Qur’an dan Hadits menurut Ahlussunnah wal Jamaah

Ilustrasi: Ahlusunnah wal Jamaah (NU Online).

Takwil dan tafwidh adalah dua cara yang berbeda dalam menyikapi dan memahami dalil-dalil nash Al-Qur’an dan hadits yang kalimat-kalimatnya rawan disalahpahami, sehingga akan mengakibatkan kekeliruan dalam meyakini sifat-sifat Allah swt. 


Contoh dalil-dalil nash yang Penulis maksud antara lain firman Allah swt:


وَيَبْقَىٰ وَجْهُ رَبِّكَ ذُو ٱلْجَلَٰلِ وَٱلْإِكْرَامِ


Artinya, “Dan kekal ‘wajah’ Tuhan Pemeliharamu, Pemilik keagungan dan kemuliaan.” (QS Ar Rahmaan: 27).


Demikian pula firman Allah:


إِنَّ ٱلَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ ٱللَّهَ يَدُ ٱللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ ۚ 


Artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Nabi Muhammad saw), sebenarnya mereka berjanji setia kepada Allah. ‘Tangan’ Allah di atas tangan mereka.” (QS Al Fath: 10).


Selain itu ada pula sabda Nabi Muhammad saw riwayat Abi Hurairah ra:


يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ


Artinya, “Tuhan Pemelihara kita tabaraka wa ta’ala ‘turun’ ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir.” (HR Al-Bukhari).


Dalil-dalil di atas acapkali disalahartikan bahwa Allah itu punya wajah, Allah punya tangan, dan Allah bertempat, serta kadang berpindah tempat. Tak jarang pemahaman semacam ini disuarakan oleh orang-orang yang tidak sepaham dengan Ahlussunnah wal Jamaah.

 

“Allah bilang Dia duduk, kalian tidak percaya. Allah bilang Dia punya tangan, kalian tidak percaya. Allah bilang Dia punya wajah, kalian tidak percaya.”

 

Begitulah kata orang-orang itu ketika menarasikan kejisiman Allah swt. Tentu saja narasi semacam ini bermula dari ketidaktahuan tentang cara bersikap yang benar sesuai ajaran para ulama ketika dihadapkan pada dalil-dalil seperti di atas.

 

Takwil dan Tafwidh menurut Ahlussunnah wal Jamaah

Ulama Ahlussunnah telah mendefinisikan takwil sebagai pengalihan arti suatu kata dari makna harfiahnya dan mengarahkannya pada makna lain. Sedangkan tafwidh adalah menyerahkan sepenuhnya makna suatu kata kepada Allah swt dengan tetap memalingkannya dari makna harfiahnya.
 

Dalam contoh di atas, para ulama pentakwil akan menjelaskan bahwa maksud dari “tangan Allah” bukan anggota badan dari siku sampai ke ujung jari, melainkan kekuasaan. Sementara ulama pentafwidh juga akan berkata, maksud dari “tangan Allah” bukan anggota badan. Lalu apa maksudnya? Kita tidak tahu dan memasrahkan maksud sebenarnya kepada Allah swt.


Syekh Ibrahim Al-Laqqani telah berkata dalam Jauharatut Tauḥid:


وَكُلُّ نَصٍّ أَوْهَمَ التَّشْبِيهَا ... أَوِّلْهُ أَوْ فَوِّضْ وَرُمْ تَنْزِيهًا


Artinya, “Setiap dalil nash yang mengesankan keserupaan (antara Allah dan makhluk-Nya), maka takwillah atau pasrahkanlah (arti sebenarnya kepada Allah) dan niatkanlah kesucian (Allah dari segala hal yang tidak pantas).” (Khamsatu Mutun fi 'Ilmit Tauḥid, [Surabaya, Al-Hidayah], halaman 14).


Lalu Syekh Ibrahim Al-Baijuri menjelaskan dalam Ḥasyiyah-nya:


وَقَوْلُه: ( أَوِّلْهُ ) أَي أَحْمِلْهُ عَلَى خِلَافِ ظَاهِرِهِ مَعَ بَيَانِ الْمَعْنَى الْمُرَادِ ... إلَى أَنْ قَالَ، ووَقَوْلُ: ( أَوْ فَوِّضْ ) أَيْ بَعْدَ التَّأْوِيلِ الْإِجْمَالِيِّ الَّذِي هُوَ: صَرْفُ اللَّفْظِ عَنْ ظَاهِرِهِ، فَبَعْد هَذَا التَّأْوِيلِ فَوِّض الْمُرَادَ مِنَ النَّصِّ الْمُوهِم إلَيْهِ تَعَالَى


Artinya, “’Takwillah’ artinya palingkanlah dari makna harfiahnya dengan menjelaskan makna yang dimaksud. ‘Pasrahkanlah’ artinya setelah melakukan takwil secara tidak terinci (at-ta’wil al-ijmali), yakni memalingkan suatu kata dari makna harfiahnya. Setelah takwil ini, maka pasrahkanlah arti yang dimaksud dari dalil nash tersebut kepada Allah swt. (Ibrahim Al-Baijuri, Tuḥfatul Murid, [Kairo, Darus Salam: 1440/2019], halaman 156).​​​​​​​
 

 

Tradisi Ilmu Kalam, antara Generasi Salaf dan Khalaf

Dalam tradisi ilmu kalam dewasa ini, tafwidh sering disebut sebagai sikap yang diambil oleh generasi Salaf (para Sahabat, Tabi’in, dan Tabi’it Tabi’in), sedangkan takwil adalah sikap generasi Khalaf (setelah era Tabi’it Tabi’in). Meski memiliki konsekuensi yang berbeda dalam penentuan makna yang khusus, tapi keduanya sama dalam memalingkan arti suatu kata dari makna harfiahnya (ta’wil ijmali).


Sikap takwil yang—seperti telah disebut—baru muncul pada generasi Khalaf memang ditolak sama sekali oleh sekelompok umat Islam. Tak sedikit umat Islam yang menolak untuk mentakwil dalil-dalil nash seperti yang telah dicontohkan di muka. Namun, tidak semua dari mereka menolaknya dengan bijak. 


Di antara kelompok yang menolak takwil ini ada sekelompok Muslim, seperti kelompok Salafi-Wahabi, yang pemahamannya cenderung mengarah pada tajsim (penetapan jisim pada Allah swt), karena ajaran kelompok ini yang meyakini bahwa kata “tangan” dan “wajah” dalam ayat-ayat di atas itu tetap pada arti harfiahnya tanpa perlu melakukan ta’wil ijmali. Padahal para ulama, baik dalam kalangan Ahlussunnah atau di luarnya, telah sepakat akan perlunya ta’wil ijmali, kecuali kelompok yang menetapkan jisim pada Allah (Mujassimah). 


Masih dalam kitab yang sama Syekh Ibrahim Al-Bajuri berkata:


وَالْحَاصِلُ أَنَّهُ إذَا وَرَدَ فِي الْقُرْآنِ أَوْ السُّنَّةِ مَا يُشْعِرُ بِإِثْبَاتِ الْجِهَةِ أَوِ الْجِسْمِيَّة أَوِ الصُّورَةِ أَوِ الْجَوَارِح، اتَّفَقَ أَهْلُ الْحَقِّ وَغَيْرُهُمْ مَا عَدَا الْمُجَسِّمَة وَالْمُشَبِّهَة عَلَى تَأْوِيلِ ذَلِكَ؛ لِوُجُوب تَنْزِيهُهُ تَعَالَى عَمَّا دَلَّ عَلَيْهِ مَا ذُكِرَ بِحَسَبِ ظَاهِرِهِ


Artinya, “Kesimpulannya adalah jika ada teks dalam Al-Qur’an atau As-Sunnah yang mengindikasikan penetapan arah, fisik, atau rupa, atau anggota badan (pada Allah swt), maka para para ulama, baik Ahussunnah wal Jamaah maupun selainnya—kecuali Mujassimah dan Musyabbihah atau kelompok yang menyerupakan (Allah dan makhluk-Nya), sepakat atas interpretasi itu (ta’wil ijmali), karena Allah swt Mahasuci dari apa yang ditunjukkan oleh lahiriah teks dalil-dalil tersebut.” (Al-Baijuri, Tuḥfatul Murid, halaman 156).


Walhasil, inti titik perbedaan antara keyakinan kita sebagai umat Islam yang menganut paham Ahlussunnah wal Jamaah (mazhab Asy’ari dan Maturidi) dan kelompok Salafi-Wahabi adalah pada ta’wil ijmali. Wallahu a’lam.

 


Ustadz M Abdurrozzaq, Pengajar di PP Tengginah Ambunten dan Aktivis Bahtsul Masail PCNU Kabupaten Sumenep.