Ilmu Tauhid

Harga Mati Negara Menurut Imam Al-Ghazali

Sel, 16 Agustus 2022 | 17:00 WIB

Harga Mati Negara Menurut Imam Al-Ghazali

Imam Al-Ghazali menyusun narasi teologis yang menjelaskan urgensi keberadaan negara bagi masyarakat.

Siapa yang tidak kenal dengan al-Ghazali. Ulama ternama kelahiran Tus, Iran ini tidak disangsikan lagi kapasitas intelektual dan kontribusinya terhadap dunia akademik (terutama Islam). Ia adalah sosok multidispliner karena menguasai bergam cabang keilmuan seperti fiqih, ushul fiqih, tasawuf, filsafat, logika, dan masih banyak lagi.


Berkat jasa besarnya mengharmonisasikan fiqih dan tasawuf, ulama kelahiran 19 Desember 1111 ini dijuluki Hujjatul Islam (sang argumentator Islam).


Tokoh yang memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafii ini juga telah membuktikan kapabilitas intelektualnya dengan menelurkan sejumlah karya tulis dalam berbagai disiplin seperti Ihya’ ‘Ulumiddin untuk bidang tasawuf, Al-Mushtashfa fil ‘Ilmil Ushul untuk bidang ushul fiqih, Maqashidul Falasifah untuk bidang filsafat, Faishalut Tafriqah untuk bidang teologi, dan banyak lagi.


Hebatnya, al-Ghazali tidak pernah ‘gagal’ dalam menulis karyanya. Hampir semua kitab-kitabnya dikenal luas dan menjadi kajian penting di banyak tempat, mulai dari pesantren sampai kampus-kampus ternama di dunia. Tak ketinggalan pula dari kalangan peneliti barat, baik untuk diapresiasi atau menjadi sasaran kritik.


Berkat pencapaiannnya ini kemudian al-Ghazali mendapat pundi-pundi pujian dari banyak ulama. Imam Ibnu Najar berkata, “al-Ghazali diakui sebagai pemimpin para fuqaha, pengayom umat, mujtahid pada masanya, mata air keilmuan, dan menguasai multi disiplin keilmuan baik persoalan mazhab, ushul fiqih, persoalan khilafiyah, ilmu debat, logika, tasawuf, filsafat. Ia memahami pendapat ulama sekaligus mampu menyanggahnya.” 


Kemudian, Ibnu Khalikan juga berkata, “Belum pernah aku jumpai ulama dari kalangan syafi’iyah yang menandingi kapabilitas al-Ghazali pada masanya.” 


Selanjutnya, Pemikir Irak Ali al-Wardi berkata, “Sebagai seorang filsuf, al-Ghazali tidak sama dengan para pakar filsafat dan logika sebelum masanya yang hanya bertendensi pada rasionalitas. Di tangan al-Ghazali, ilmu filsafat menjadi dasar argumen logis untuk mengimani Tuhan. Ini merupakan produk pemikiran yang out of the box, mampu menerobos tradisi intelektual yang sudah ada.” 


Abul Hasan an-Nadawi juga berkata, “al-Ghazali merupakan tokoh besar Muslim dengan kecerdasan luar biasa. Ia adalah punggawa intelektual Islam, pembawa kemakmuran dan pemikiran-pemikiran segar. Ia berhasil menghidupkan ruh agama dan memelopori tradisi intelektual Islam.” 


Relasi Agama dan Nagara Menurut Al-Ghazali

Salah satu kontribusi al-Ghazali adalah pandangannya tantang politik. Menjadi sufi besar tidak lantas membuatnya ‘alergi’ terhadap politik dan kehadiran negara bagi agama. Beberapa kali dalam karyanya ia menyinggung agama dan negara tidak bisa dipisahkan, bahkan keduanya diibaratkan dua sudara kembar yang lahir dari rahim satu ibu. 


Kita bisa melihat apresiasi al-Ghazali ini dari caranya mendefinisikan politik itu sendiri, sebagai berikut:


والسياسة في استصلاح الخلق وإرشادهم إلى الطريق المستقيم المنجي في الدنيا والآخرة


Artinya, “Politik adalah sebuah sistem untuk menyejahterakan umat dan menuntunnya kepada jalan yang benar agar selamat di dunia dan akhirat.” (al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumiddin, 2016: juz I, halaman 27).


Lebih lanjut, dalam karyanya al-Iqtishad fil I’tiqad, al-Ghazali menyampaikan, “Urusan dunia dan keamanan jiwa serta harta benda tidak bisa terjamin tanpa kehadiran seorang pemimpin nagara yang ditaati rakyatnya. Sudah banyak ditemukan negara yang kacau akibat tidak memiliki pemimpin. Jika sudah demikian, bagaimana mungkin kita bisa beribadah dan menuntut ilmu dengan tenang.” 


“Oleh sebab itu,” lanjut al-Ghazali, “ada yang menganalogikan agama dan pemerintah ibarat dua saudara kembar. Ada pula yang mengatakan agama adalah fondasi dan pemerintah sebagai penjaganya. Siapa yang tidak memiliki fondasi maka akan hancur, dan siapa yang tidak memiliki penjaga maka akan sia-sia.” (al-Ghazali, al-Iqtishad fil I’tiqad, 2015: 128) 


Menurut al-Ghazali, sebagaimana juga al-Mawardi, mengangkat pemimpin negara adalah wajib. Kehadiran pemimpin tersebut kemudian wajib ditaati oleh rakyatnya. Berkaitan dengan ini, ia mengutip ayat Al-Qur’an untuk mendasari argumennya, yaitu: 


يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًا


Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik.” (QS. An-Nisa [4]: 59) 


Bagi al-Ghazali, jabatan kepemimpinan adalah anugerah dari Allah swt kepada siapapun yang dikehendaki sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 26. Oleh sebab itu, sebagai Muslim yang taat kita wajib mematuhi pemerintah yang sah. (al-Ghazali, at-Tibrul Masbuk fi Nashihatil Muluk: 1988: 43)


Dengan kata lain, al-Ghazali ingin menyampaikan, pada prinsipnya manusia diciptakan untuk beribadah kepada Allah swt. Hanya saja, sebagai makhluk sosial kita tetap bermasyarakat dan bernegara. Agar ibadah sebagai kewajiban pokok dapat dilaksanakan dengan baik maka butuh stabilitas lingkungan, dalam hal ini adalah negara. Bagaimana mungkin kita bisa beribadah dengan tenang jika negaranya terus konflik? 


Ustadz Muhamad Abror, penulis keislaman NU Online, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Ma'had Aly Saidusshiddiqiyah Jakarta.