Ilmu Tauhid

Kekuatan Makna La ilaha illallah dari Tinjauan Gaya Bahasa

Ahad, 24 November 2019 | 00:30 WIB

Kekuatan Makna La ilaha illallah dari Tinjauan Gaya Bahasa

Ada yang spesial di balik gaya bahasa qashr, nafyi, dan itsbat dalam La ilaha illallah (Ilustrasi: shof.co.il)

Para ulama tauhid sepakat bahwa makna Lâ ilâha illallâh adalah Lâ ma‘bûda bihaqqin illallâh (tiada tuhan yang disembah dengan hak kecuali Allah), bukan Lâ ma‘bûda illallâh, (tiada tuhan yang disembah selain Allah). Andai makna Lâ ilâha illallâh adalah Lâ ma‘bûda illallâh, (tiada tuhan yang disembah selain Allah), niscaya kenyataannya berbohong. Sebab, masih mengasumsikan ada tuhan-tuhan selain Allah di luaran sana yang disembah. Padahal, tuhan-tuhan itu semuanya batil kecuali Allah. Karena itu, perlu dipastikan bahwa makna Lâ ilâha illallâh adalah tiada tuhan yang hak kecuali Allah. Tiada tuhan yang berhak disembah dengan sebenar-benarnya kecuali Dia (Syekh Muhammad ‘Abdul Qadir Khalil, ‘Aqidah al-Tauhid fi Al-Qur’an al-Karim, Terbitan Maktabah Daruz Zaman, Cet. Pertama, 1985, hal. 40).

 

Secara retorika, kalimat Lâ ilâha illallâh disajikan dalam gaya bahasa qashr nafyi dan itsbat. Artinya, gaya bahasa yang membatasi makna dengan cara menegasikan yang lain dan menetapkan salah satunya. Dinegasikan dengan kalimat Lâ ilâha dan ditetapkan oleh kalimat illallâh. Itulah kalimat tauhid untuk mengesakan Allah. Jika yang dipakai hanya itsbat (penetapan) maka maknanya tidak mencegah keterlibatan tuhan lain. Begitu pula jika yang dipakai adalah nafyi saja, maka yang terjadi ternafikan seluruhnya. Sehingga jika kita mengucapkan Lâ ilâha (tiada tuhan), maka ternafikanlah seluruh tuhan termasuk Allah. Demikian pula jika kita mengucapkan allâhu ilâhun (Allah itu tuhan), maka kita belum bertauhid. Karena kalimat ini lemah dan tidak menegasikan keikutsertaan tuhan-tuhan yang lain ( Syekh Muhammad ‘Abdul Qadir Khalil, ‘Aqidah al-Tauhid fi Al-Qur’an al-Karim, Terbitan Maktabah Daruz Zaman, Cet. Pertama, 1985, hal. 40).

 

Oleh sebab itu, ketika kalimat penetapan ini dipakai, Al-Qur’an sendiri menguatkannya dengan sifat. Contohnya kalimat, “Wa ilâhukum ilâhun wâhid” (Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa), (QS al-Baqarah [2]: 163). Sifatnya adalah “yang maha esa”. Bahkan, kalimat itsbat itu tak dibiarkan Al-Qur’an begitu saja. Lanjutan ayat tersebut ialah kalimat tauhid, “Lâ ilâha illâ huwar rahmânurrahîm (Tiada Tuhan melainkan Dia Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang), (QS al-Baqarah [2]: 163).

 

Selain bermakna Lâ ma‘bûda bihaqqin illallâh (Tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah), Lâ ilâha illallâh juga bermakna Lâ maujûda bihaqqin illallâh (Tiada maujud yang hak selain Allah) dan Lâ masyhûda bihaqqin illallâh (Tiada yang disaksikan dengan hak selain Allah).

 

Makna Lâ ma‘bûda bihaqqin illallâh ini juga ditegaskan Allah dalam surah al-Fatihah. Iyyaka na‘budu (Hanya kepada Engkau kami menyembah). Lagi-lagi gaya bahasa yang dipergunakan adalah gaya bahasa qashr . Bedanyanya, jika Lâ ilâha illallâh dengan qashr nafyi dan itsbat, sedangkan iyyaka na‘budu dengan qashr taqdim ma haqquhu al-ta’khir (mendahulukan bagian kalimat yang biasa diakhirkan). Tanpa qashr, kalimat itu berbunyi, Na‘buduka (Kami menyembah Engkau). Namun, dalam gaya bahasa qashr, kalimat itu menjadi Iyyaka na‘budu (Hanya kepada Engkau kami menyembah.” Karena itu, siapa pun yang telah menyelami makna ini, tidak akan ada yang bisa menghalangi dirinya beribadah, tidak ada yang terpikir saat dirinya beribadah kecuali Allah.

 

Kemudian Lâ maujûda bihaqqin illallâh maksudnya tiada yang maujud—bermakna wujud—dengan hak kecuali Allah. Segala wujud yang terlihat bukan wujud yang hakiki. Wujudnya bumi misalnya. Ia diwujudkan oleh Allah. Selain itu, wujud bumi juga terbatas dan fana. Begitu pula wujud-wujud yang lain. Semuanya wujud karena ada yang mewujudkan. Tetaplah wujud yang hakiki dimiliki oleh Allah, Dzat yang maha wujud, azali, qadim, dan kekal.

 

Kemudian Lâ masyhûda bihaqqin maksudnya tidak ada yang disaksikan dengan hak kecuali Allah. Apa pun yang dilihat dan disaksikannya semata karena wujud dan kebesaran-Nya. Tidak ada yang disaksikan semata rencana, kehendak, kekuasaan, dan hikmah-Nya. Tidak ada yang buruk di sisi-Nya. Sehingga manakala ada seseorang yang melihat perkara buruk oleh mata kepalanya, maka dengan pandangan mata hatinya (bashirah) terlihat baik dan sejalan dengan hikmah yang hendak diberikan-Nya. Bahkan, seorang yang telah menyelami makna ini, tidak bisa melihat sesuatu di depannya kecuali Allah. Itu pula yang terjadi pada al-Hallaj yang pernah mengatakan, “Ana al-haqq.”

 

 

Para ulama tasawuf menyebut makna Lâ ma’bûda ini sebagai makna syariat, makna Lâ maujûda sebagai makna tarekat, dan Lâ masyhûda sebagai makna hakikat (lihat: Syekh Abu al-Hasan Nuruddin, al-Radd ‘ala al-Qa’ilin bi Wahdatil Wujud, [Damaskus: Darul Ma’mun], 1995, Cet. Pertama, hal. 20).

 

Turunan dari tiga makna di atas adalah Lâ maqshûda bihaqqin illallâh (tiada yang dituju dengan hak selain Allah), Lâ maqdûra bihaqqin illallâh (tiada yang dikuasakan dengan hak selain Allah), Lâ mas’ûla bihaqqin illallâh (tiada yang diminta dengan hak selain Allah), La mahbûba bihaqqin illallâh (tiada yang dicintai dengan hak selain Allah), dan seterusnya.

 

Untuk mendukung makna-makna di atas, para ulama sekurang-kurangnya mempersyaratkan delapan hal, yaitu: (1) memiliki pengetahuan untuk menafikan kebodohan, (2) memiliki keyakinan untuk menafikan keraguan, (3) memiliki penerimaan untuk menafikan penolakan, (4) memiliki kepatuhan untuk menafikan ketidaktaatan, (5) memiliki keikhlasan untuk menafikan kesyirikan, (6) memiliki kejujuran untuk menafikan kemunafikan, (7) memiliki kecintaan untuk menafikan kebencian, (8) memiliki kekufuran terhadap segala sesuatu selain Allah (lihat: Syekh ‘Abdurrahman ibn Muhammad, Hasyiyah Tsalatah al-Ushul, Terbitan Daruz Zahim, Cet. Kedua, 2002, hal. 84).

 

Demikian kekuatan makna Lâ ilâha illallâh dalam retorika qashr. Semoga uraian singkat ini kian menambah keyakinan dan ketauhidan kita. Wallahu a’lam. (​​​​​​​M. Tatam Wijaya)