Ilmu Tauhid

Maksud ‘Keterpisahan Allah dari Seluruh Makhluk’

Jum, 24 Agustus 2018 | 09:30 WIB

Dalam banyak sekali pernyataan ulama salaf, ditemukan suatu keterangan bahwa Allah ﷻ terpisah (bâ’in) dari seluruh makhluk. Beberapa orang salah paham dengan makna kata “terpisah” ini. Mereka menyangka bahwa terpisah berarti terpisah secara fisik atau ada jarak fisikal antara Tuhan dan makhluk. Di antara yang salah paham adalah Syekh Ibnu Taimiyah yang menyatakan:
 
وَقَدْ اتَّفَقَ سَلَفُ الْأُمَّةِ وَأَئِمَّتُهَا: عَلَى أَنَّ الْخَالِقَ تَعَالَى بَائِنٌ مِنْ مَخْلُوقَاتِهِ لَيْسَ فِي ذَاتِهِ شَيْءٌ مِنْ مَخْلُوقَاتِهِ وَلَا فِي مَخْلُوقَاتِهِ شَيْءٌ مِنْ ذَاتِهِ. وَالسَّلَفُ وَالْأَئِمَّةُ كَفَّرُوا الْجَهْمِيَّة لَمَّا قَالُوا إنَّهُ فِي كُلِّ مَكَانٍ وَكَانَ مِمَّا أَنْكَرُوهُ عَلَيْهِمْ: أَنَّهُ كَيْفَ يَكُونُ فِي الْبُطُونِ وَالْحُشُوشِ والأخلية؟ تَعَالَى اللَّهُ عَنْ ذَلِكَ. فَكَيْفَ بِمَنْ يَجْعَلُهُ نَفْسَ وُجُودِ الْبُطُونِ وَالْحُشُوشِ والأخلية وَالنَّجَاسَاتِ وَالْأَقْذَارِ؟
 
“Sudah menjadi kesepakatan umat dan ulama salaf bahwa Allah Ta’ala terpisah dari makhluknya. Tak ada dalam Dzat-Nya sesuatu pun dari makhluk-makhluknya dan tak ada dalam makhluk-makhluknya sesuatu pun dari Dzat-Nya. Para Salaf dan para Imam mengafirkan Jahmiyah tatkala mereka berkata bahwa Allah ada di setiap tempat. Dan, di antara argumen mereka untuk menolak Jahmiyah adalah: Bagaimana Allah bisa berada di dalam perut, kebun dan toilet? Maha Suci Allah dari itu semua. Maka bagaimana dengan orang yang menjadikan Allah sebagai perut, kebun, toilet, najis dan kotoran itu sendiri?”. (Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatâwâ, juz II, halaman 126)
 
Jadi, dalam pandangan Ibnu Taimiyah di atas, dan juga pandangan kelompok pendaku salafi dewasa ini, keterpisahan (mubâyanah) Allah adalah keterpisahan secara fisik antara Dzat Allah dan Dzat makhluk. Dalam benak mereka, bila Allah tak terpisah dari makhluk berarti Allah berada di dalam diri makhluk, termasuk di dalam toilet, dalam kotoran dan sebagainya yang mustahil bagi Allah. Pengertian ini tentu bermasalah sebab berarti Allah dianggap sebagai jism (susunan materi) sehingga bisa terpisah secara fisik dengan makhluk yang seluruhnya berbentuk fisik pula. Hanya dua jism yang mampu membuat jarak satu sama lain sehingga bisa disebut terpisah.
 
Adapun Ahlussunnah wal Jama’ah sama sekali menolak makna demikian sebab ini merupakan kemustahilan bagi Allah. Seperti dibahas sebelumnya, Allah tak bisa dikatakan tersambung atau terpisah dengan alam sebab Allah bukanlah jism sehingga tak relevan mengatakan itu. Secara spesifik tentang sifat keterpisahan (mubâyanah) ini, Imam al-Baihaqi (458 H) menukil dan membenarkan pernyataan sebagian ulama sebagaimana berikut:
 
وَالْقَدِيمُ سُبْحَانَهُ عَالٍ عَلَى عَرْشِهِ لَا قَاعِدٌ وَلَا قَائِمٌ وَلَا مُمَاسٌّ وَلَا مُبَايَنٌ عَنِ الْعَرْشِ، يُرِيدُ بِهِ: مُبَايَنَةَ الذَّاتِ الَّتِي هِيَ بِمَعْنَى الِاعْتِزَالِ أَوِ التَّبَاعُدِ، لِأَنَّ الْمُمَاسَّةَ وَالْمُبَايَنَةَ الَّتِي هِيَ ضِدُّهَا، وَالْقِيَامُ وَالْقُعُودُ مِنْ أَوْصَافِ الْأَجْسَامِ، وَاللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَحَدٌ صَمَدٌ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ [ص:309] يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ، فَلَا يَجُوزُ عَلَيْهِ مَا يَجُوزُ عَلَى الْأَجْسَامِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى.
 
“Allah Yang Maha Qadim, Tinggi di atas Arasy, tidak duduk dan tak berdiri, tak menyentuh dan tak terpisah dari Arasy. Yang dia maksud adalah keterpisahan Dzat dalam makna menjauh secara fisik karena menyentuh dan terpisah sebagai kebalikannya, begitu pula berdiri dan duduk adalah sifat-sifat jism. Sedangkan Allah Maha Esa, tak beranak dan tak diperanakkan dan tak ada yang setara satu pun dengan-Nya. Maka tak boleh dikatakan baginya apa yang boleh dikatakan bagi jism”. (Imam al-Baihaqi, al-Asmâ’ wa as-Shifât, juz 2, halaman 308)
 
Bagi yang tak terbiasa dengan kajian ilmu tauhid, tentu hal ini agak membingungkan. Untuk menyederhanakan masalah, sebenarnya kata بائن atau مباينة dalam bahasa Arab mempunyai dua arti yang berbeda. Arti pertama adalah terpisah secara fisik. Makna inilah yang ditolak oleh Ahlussunnah wal Jamaah sebab Allah tidak berbentuk fisik. Arti kedua adalah berbeda dalam arti betul-betul tak sama. Makna kedua inilah yang dikehendaki ulama salaf dari kalangan Ahlussunnah ketika mereka mengatakan bahwa Allah bâ’in ‘an al-khalq (terpisah/berbeda dari makhluk).
 
Syekh Ibnu Khaldun (808 H), menjelaskan perbedaan makna ini dalam kitab Târîkh-nya sebagai berikut:
 
إنّ المباينة تقال لمعنيين: أحدهما المباينة في الحيّز والجهة، ويقابله الاتّصال. ونشعر هذه المقابلة على هذه التّقيّد بالمكان إمّا صريحا وهو تجسيم، أو لزوما وهو تشبيه من قبيل القول بالجهة. وقد نقل مثله عن بعض علماء السلف من التّصريح بهذه المباينة، فيحتمل غير هذا المعنى. ومن أجل ذلك أنكر المتكلّمون هذه المباينة وقالوا: لا يقال في البارئ أنّه مباين مخلوقاته، ولا متّصل بها، لأنّ ذلك إنّما يكون للمتحيّزات ... وأمّا المعنى الآخر للمباينة، فهو المغايرة والمخالفة فيقال: البارئ مباين لمخلوقاته في ذاته وهويّته ووجوده وصفاته. ويقابله الاتّحاد والامتزاج والاختلاط. وهذه المباينة هي مذهب أهل الحقّ كلّهم من جمهور السّلف وعلماء الشّرائع والمتكلّمين والمتصوّفة الأقدمين كأهل الرّسالة ومن نحا منحاهم
 
“Sesungguhnya mubâyanah dimaksudkan bagi dua makna. Makna yang pertama adalah keterpisahan dalam batasan dan arah, ini adalah lawan kata dari ketersambungan fisik. Kita menyadari ungkapan ini dari keterkaitannya dengan tempat, apabila secara gamblang dinyatakan maka berarti tajsîm (meyakini Allah adalah jism). Atau hanya berupa konsekuensi, maka itu adalah tasybîh dari sisi menetapkan adanya arah bagi Tuhan. Telah dinukil dari sebagian salaf yang menyatakan mubâyanah ini, maka kemungkinan bukan makna ini yang dimaksud. Karena itulah, para ahli kalam mengingkari mubâyanah dalam arti ini dan berkata: Allah tak boleh dibilang terpisah dari makhluk-Nya dan tak juga tersambung dengan mereka sebab hal itu hanya berlaku bagi hal-hal yang punya batasan fisik. ... Adapun makna yang lain bagi mubâyanah adalah perbedaan dan ketidaksamaan. Maka dikatakan bahwa Allah berbeda dari makhluk-makhluk-Nya dalam hal Dzat, hakikat, keberadaan dan sifat-sifatnya. Makna ini adalah lawan kata menyatu, bercampur, dan larut. Mubâyanah dalam makna ini adalah mazhab orang-orang yang benar, yaitu dari kalangan mayoritas salaf, ulama ahli fikih, ahli kalam, dan ahli tasawuf yang awal-awal seperti pengarang kitab Risâlah (Imam al-Qusyairi) dan orang-orang yang mengikuti jejak mereka”. (Ibnu Khaldun, Târîkh Ibnu Khaldûn, juz I, halaman 615).
 
Dengan demikian, jelaslah bahwa ungkapan Allah “terpisah” dari makhluk dimaksudkan sebagai pernyataan bahwa Allah berbeda dalam hal Dzat, hakikat, keberadaan dan sifat-sifatnya dari seluruh makhluk yang ada. Bukan berarti ada jarak fisik yang bisa diukur dengan satuan jarak (seperti kilometer, mil, dan sebagainya) antara Allah dan makhluk. Begitu pula, dengan arguentasi yang sama, keyakinan sebagian kecil orang yang menyangka bahwa Allah menyatu dengan manusia adalah keyakinan yang keliru. Wallahu a’lam.
 
 
Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember & Peneliti di Aswaja NU Center PCNU Jember