Nikah/Keluarga

3 Etika dalam Menentukan Tamu dan Resepsi Pernikahan

NU Online  ·  Ahad, 15 Juni 2025 | 15:00 WIB

3 Etika dalam Menentukan Tamu dan Resepsi Pernikahan

Ilustrasi resepsi pernikahan. (Foto: NU Online/Freepik)

Mengadakan resepsi pernikahan adalah momen bahagia yang dirayakan oleh setiap pasangan mempelai. Dalam ajaran Islam, resepsi atau walimah memiliki makna spiritual sebagai ungkapan syukur kepada Allah SWT dan untuk mengumumkan pernikahan secara terbuka. Namun, bagaimana Islam mengatur etika dalam menentukan undangan dan jumlahnya?

 

Islam tidak memberikan batas maksimal dalam mengadakan walimah. Qadli 'Iyadl menjelaskan bahwa tidak ada batasan untuk jumlah tamu dalam walimah, dan bagi orang yang mampu, disunnahkan minimal menyembelih satu kambing. Hal ini menunjukkan bahwa skala walimah dapat disesuaikan dengan kemampuan finansial tuan rumah:

 

نَقَلَ عِيَاضٌ الْإِجْمَاعَ عَلَى أَنَّهُ لَا حَدَّ لِأَكْثَرِهَا وَقَالَ ابْنُ أَبِي عَصْرُونَ: أَقَلُّهَا لِلْمُوسِرِ شَاةٌ

 

Artinya, "Qadli ‘Iyadh menukil adanya ijma‘ bahwa tidak ada batas maksimal untuk jumlah walimah. Ibnu Abi ‘Ashrun berkata: minimalnya bagi orang yang mampu (sunnahnya) adalah satu ekor kambing." (Ibnu Hajar al-ʿAsqalani, Fathul Bari bi Syarh Shahihil Bukhari, [Beirut, Darul Maʿrifah: 1379 H], juz IX, halaman 237).

 

Meskipun demikian, bukan berarti walimah bebas diadakan dengan jumlah berapa pun. Perlu ada beberapa etika yang diperhatikan dalam menentukan tamu undangan, jumlahnya serta hidangan yang akan disajikan untuk mereka. Berikut ini adalah 3 etika menentukan tamu dan jumlah undangan walimah:

 

1. Tidak Mengkhususkan Orang Kaya

Rasulullah SAW memperingatkan bahwa walimah yang hanya mengundang orang kaya termasuk perbuatan buruk. Nabi bersabda:

 

شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ، يُدْعَى لَهَا الْأَغْنِيَاءُ، وَيُدْفَعُ عَنْهَا الْفُقَرَاءُ

 

Artinya, “Makanan paling buruk adalah makanan walimah yang hanya mengundang orang kaya dan menolak orang miskin.” (HR. Ahmad)

 

Sayyid Bakri Syatha menambahkan bahwa mengkhususkan undangan untuk orang kaya dapat menjadi ajang kesombongan:

 

شَرُّ الطَّعَامِ طَعَامُ الْوَلِيمَةِ فِي حَالِ كَوْنِهَا تُدْعَى لَهَا الْأَغْنِيَاءُ وَتُتْرَكُ الْفُقَرَاءُ، كَمَا هُوَ شَأْنُ الْوَلَائِمِ، فَإِنَّهُ يُقْصَدُ بِهَا الْفَخْرُ وَالْخُيَلَاءُ

 

Artinya, "Makanan yang paling buruk adalah makanan walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya dan meninggalkan orang-orang miskin, sebagaimana kebiasaan walimah pada umumnya, karena biasanya walimah tersebut dimaksudkan untuk berbangga diri dan kesombongan.” (Sayyid Bakri Syatta, Iʿanatut Thalibin, [Beirut, Dar al-Fikr: 1418 H/1997 M] juz III, cet I, hal. 308).

 

Namun, apabila undangan hanya terdiri dari orang kaya karena mereka adalah tetangga atau teman dekat tanpa mempertimbangkan status kekayaannya, hal ini diperbolehkan. Dalam konteks ini, mengundang mereka bukanlah berdasarkan status kekayaan mereka, melainkan karena kedekatan secara sosial dan ini merupakan bagian dari akhlak mulia.

 

بِخِلَافِ مَا لَوْ خَصَّهُمْ لِكَوْنِهِمْ جِيرَانَهُ أَوْ أَهْلَ حِرْفَتِهِ أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ

 

Artinya, “Berbeda halnya jika undangan dikhususkan pada orang kaya karena mereka adalah tetangganya, rekan seprofesi, atau yang semisal dengan itu.” (Sulaiman al-Bujairami, Hasyiyah al-Bujairami ʿala Syarh al-Minhaj, [Beirut, Matbaʿah al-Halabi: 1369 H/1950 M], juz III, hal. 431)

 

2. Menyesuaikan Keadaan Finansial

Islam melarang seseorang memaksakan diri untuk mengadakan walimah yang melebihi kemampuannya, terutama jika harus berutang dengan jumlah besar. Diriwayatkan dalam kitab al-Jami' Shaghir karya imam as-Suyuthi:

 

نَهَى عَنِ التَّكَلُّفِ لِلضَّيْفِ

 

Artinya, "Nabi Muhammad melarang seorang untuk memaksakan diri demi tamu." (HR. Assuyuthi)

 

Ibnu Hajar al-Haitami menjelaskan:

 

وَسُئِلَ) عَنْ التَّكَلُّفِ الْمَذْمُومِ مَا حَدُّهُ؟

 

فَأَجَابَ) بِقَوْلِهِ: حَدُّهُ أَنْ يَكُونَ فِيهِ مَشَقَّةٌ عُرْفًا، إِمَّا بِأَنْ لَا يَتَيَسَّرَ لَهُ الشَّيْءُ إِلَّا بِدَيْنٍ وَالدَّائِنُ مُتَكَرِّهٌ مِنْ اسْتِدَانَتِهِ، أَوْ الْمَدِينُ يَعْسُرُ عَلَيْهِ أَنْ يَبْذُلَ وَجْهَهُ لِلدَّائِنِ حَتَّى يَقْتَرِضَ مِنْهُ، أَوْ لَا يَكُونُ لَهُ جِهَةٌ ظَاهِرَةٌ يُوفِي مِنْهَا، لِأَنَّ الِاسْتِدَانَةَ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ الْأَخِيرَةِ حَرَامٌ

 

Artinya, “Ibnu Hajar ditanya tentang makna takalluf (memaksakan diri) yang tercela, apa batasannya?

 

Lalu beliau menjawab: ‘Batasannya adalah jika pemaksaan diri itu biasanya menimbulkan kesulitan. Seperti ketika ia tidak mudah mendapatkan sesuatu kecuali dengan berhutang, sementara pemberi hutang memberikan hutang tersebut dengan berat hati, atau ketika si penghutang merasa berat untuk berhadapan dengan pemberi hutang untuk meminjam, atau dia tidak memiliki pendapatan yang jelas untuk membayar hutang tersebut. Karena berhutang dalam kondisi seperti ini adalah haram.’” (Ibnu Hajar al-Haytami, Al-Fatawal Fiqhiyyah al-Kubra,[Beirut, Al-Maktabah al-Islamiyyah: tt], juz IV, hal. 118).

 

3. Tidak Berlebihan

Terkait dengan suguhan, etika yang harus dijaga adalah agar tidak berlebihan. Islam sangat menetang perilaku yang berlebihan. Rasulullah SAW bersabda:

 

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «كُلْ، وَاشْرَبْ، وَالْبِسْ، وَتَصَدَّقْ في غَيرِ سَرَفٍ وَلَا مَخِيلَةِ»، أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ

 

Artinya: “Makanlah, minumlah, dan bersedekahlah tanpa berlebihan dan tanpa kesombongan. Sesungguhnya Allah menyukai melihat nikmat-Nya pada hamba-Nya.” (HR. Abu Daud)

 

Dalam konteks walimah, 'berlebihan' dapat merujuk pada penyediaan makanan yang jauh melebihi jumlah tamu yang diundang, atau penyajian menu yang terlalu mewah hingga melampaui norma setempat. Praktik semacam ini tidak hanya menyalahi prinsip efisiensi tetapi juga bertentangan dengan nilai kesederhanaan yang diajarkan dalam Islam. Imam as-Shan'ani menjelaskan:

 

وَحَقِيقَةُ الْإِسْرَافِ: مُجَاوَزَةُ الْحَدِّ فِي كُلِّ فِعْلٍ أَوْ قَوْلٍ، وَهُوَ فِي الْإِنْفَاقِ أَشْهَرُ

 

Artinya: “Hakikat israf (berlebih-lebihan) adalah melampaui batas dalam setiap perbuatan atau ucapan, namun israf dalam hal pengeluaran (harta) lebih masyhur.” (Muhammad al-Shanʿani, Subulus Salam al-Muwassilah ila Bulughil Maram, [Saudi Arabia, Dar Ibn al-Jawzi: 1433 H], cet. III, juz VIII, hal.157)

 

Dengan demikian, Islam memberikan kebebasan dalam menentukan jumlah undangan dan skala walimah sesuai dengan kemampuan finansial, tanpa batas maksimal. Namun, setidaknya ada 3 etika yang perlu dijaga, yaitu: [1] tidak mengkhususkan undangan hanya kepada orang kaya, [2] menyesuaikan skala walimah dengan keadaan finansial tanpa memaksakan diri, dan [3] menghindari pemborosan dalam penyediaan suguhan. Dengan mematuhi prinsip-prinsip ini, walimah dapat menjadi acara yang berkah, menyenangkan, dan sesuai dengan tuntunan syariat Islam.

 

Ustadz Ahmad Maimun Nafis, Pengajar di Pondok Pesantren Darul Istiqamah, Batuan, Sumenep.