Nikah/Keluarga

Bolehkah Suami Memukul Istri dalam Islam? Begini Penjelasannya

Sabtu, 5 Februari 2022 | 09:00 WIB

Bolehkah Suami Memukul Istri dalam Islam? Begini Penjelasannya

Diksi wadhribuhunna (dan pukullah mereka) disalahpahami bahwa Al-Qur’an membolehkan suami memukul istri, lalu dijadikan pembenaran berbagai KDRT yang terus memakan banyak korban. (Foto: Alarabiya)

Seiring viralnya ceramah yang mengesankan dukungan terhadap kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), banyak orang bertanya-tanya apa benar Islam membolehkan suami memukul istri? Bagaimana ketentuan sebenarnya?


Al-Qur’an sebagai kitab suci agama Islam menjelaskan, suami merupakan pemimpin dan penanggung jawab utama kehidupan keluarga. Suami mempunyai hak yang harus dipenuhi oleh istri—sebagaimana istri mempunyai hak yang harus dipenuhi suami—sebagai pasangan hidupnya. Nah dalam konteks seperti ini, ketika istri tidak memenuhinya, maka suami diberi kewenangan oleh Al-Qur’an untuk mengarahkan atau mendidik istri agar kembali mematuhi atau memenuhi haknya.

 

Caranya dengan tiga tindakan secara berurutan, yaitu (1) menasihatinya secara baik; (2) bila tidak berhasil maka didiamkan dan tidak diajak tidur bersama; dan (3) langkah terakhir dengan memukulnya. Secara jelas Al-Qur’an menyatakan:


وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا [النساء/34


Artinya, “Istri-istri yang kalian khawatirkan melakukan pembangkangan (tidak memenuhi hak suami), maka nasehatilah mereka, diamkan mereka di tempat tidur, dan pukullah mereka. Bila mereka menaati kalian, maka jangan kalian cari jalan untuk merugikan mereka.” (Surat An-Nisa’ ayat 34). 


Diksi “wadhribuhunna” atau “dan pukullah mereka” inilah yang kemudian disalahpahami bahwa Al-Qur’an membolehkan suami memukul istri, lalu dijadikan pembenaran berbagai KDRT yang terus memakan banyak korban. 


Ada detail ketentuan yang harus dipahami secara baik dalam hal ini, sehingga kesalahpahaman terhadap ayat tersebut tidak berulang, yang di antaranya adalah:


Pertama, tujuan utamanya adalah mendidik istri agar kembali menaati atau memenuhi hak suami. Karenanya selama masih bisa diambil tindakan yang paling ringan, maka tidak boleh mengambil tindakan yang lebih berat. Dalam hal ini Imam Fakhurddin Ar-Razi menegaskan, bagaimanapun mengambil tindakan yang paling ringan sangat perintahkan dalam hal ini, “fat takhfîf mura’â fî hâdzal bab ‘alâ ablaghil wujûh.” (Sulaiman bin Umar al-Bujairami, at-Tajrîd linaf’il ‘Abîd, [Turki, al-Makatabah al-Islamiyyah], juz III, halaman 422) dan (Fakhruddin Ar-Razi, Mafâtîhul Ghaib, [Beirut, Dârul Kutub ‘Ilmiyyah: 1421/2000],  juz X halaman 73).


Kedua, bila terpaksa mengambil tindakan akhir dengan memukul, maka hanya dengan boleh pukulan yang sangat ringan dalam rangka mendidik, seperti memukul dengan siwak atau sikat gigi dan semisalnya. Bukan pukulan kriminal seperti pukulan yang mematikan, mengakibatkan cacat permanen, luka berdarah atau patah tulang, membuat lebam, atau sangat menyakitkan. Demikian pula tidak boleh memukul wajah dan bagian-bagian tubuh yang membahayakan, tidak boleh memukul di luar rumah, tidak boleh memukul di satu bagian tubuh secara berulang-ulang. (Muhammad bin Jarir at-Thabari, Jâmi’ul Bayân fi Ta’wîlil Qur’ân, [Muassasatur Risâlah: 1420/2000], juz VIII, halaman 314) dan (Mausû’ah al-Kuwaitiyah, [Kuwait, Wizaratul Auqâf: 1427], juz XL, halaman, 298-299).  


Memahami pukulan yang dibolehkan Al-Qur’an hanyalah pukulan ringan dengan semisal sikat gigi dalam rangka mendidik seperti ini seiring dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, tepatnya pasal 6 yang menyatakan: “Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.”


Ketiga, sebelumnya tidak didahului oleh permusuhan atau pertikaian antara suami istri. Bila sebelumnya sudah terjadi pertikaian, maka suami tidak boleh memukul istri meskipun dalam rangka mendidiknya. Bila istri masih membangkang atau tidak memenuhi hak suami, jalan satu-satunya adalah melaporkan kepada hakim, bukan main hakim sendiri. (Muhammad Syatha ad-Dimyathi, Hâsyiyah I’ânatut Thâlibîn, [Beirtut: Dârul Fikr], juz IV, halaman 83).


Keempat, bila istri hanya akan jera dengan pukulan yang membahayakan maka suami sama sekali tidak boleh memukul istri, baik pukulan yang ringan apalagi yang membahayakan dengan alasan apapun. (Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfatul Muhtâj dicetak bersama Hawasyîs Syirwani, [Beirut, Dârul Fikr], juz VII, halaman 455). 


Dengan mengetahui detail ketentuan seperti dalam uraian, semestinya tidak terjadi lagi kesalahpahaman atas kebolehan suami memukul istri dalam lingkup kehidupan keluarga. Memang, kehidupan keluarga adalah kehidupan yang sangat dinamis. Kadang bahagia, kadang duka. Kadang rukun, kadang berdebat dan bertukar pendapat.

 

Namun bagaimanapun kondisinya, tidak ada alasan apapun membenarkan suami melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap istri. Apalagi sampai membawa-bawa ajaran Islam sebagai alasan pembenarannya. Wallahu a’lam.

 


Ustadz Ahmad Muntaha AM, Redaktur Keislaman NU Online.