Moh Soleh Shofier
Kolomnis
Mahar adalah salah satu komponen penting dalam pernikahan yang diwajibkan oleh Islam, meski tidak sampai pada tataran rukun. Tidak hanya sebagai simbol penghormatan kepada mempelai perempuan, mahar juga merupakan hak mutlak yang harus dipenuhi oleh suami.
Salah satu hadits yang mengindikasikan pentingnya mahar adalah sabda Nabi saw:
أَنْكِحُوا الْأَيَامَى، وَأَدُّوا الْعَلَائِقَ. قِيلَ: مَا الْعَلَائِقُ بَيْنَهُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: مَا تَرَاضَى عَلَيْهِ الْأَهْلُونَ، وَلَوْ قَضِيبًا مِنْ أَرَاكٍ
Artinya: “Nikahkanlah para perempuan yang tidak bersuami dan penuhilah persyaratan mereka." Ada yang bertanya: 'Apa yang dimaksud dengan persyaratan di antara mereka, wahai Rasulullah?' Beliau menjawab: 'Apa saja yang disepakati oleh kedua pihak, meskipun hanya berupa sebatang ranting dari pohon arak'." (HR Ad-Daraquthni)
Dalam praktiknya, mahar bisa berupa uang, barang, bahkan manfaat. Namun, bagaimana bila mahar berbentuk utang?
Mazhab Syafi’i dan Hanbali membolehkan mahar berupa utang. Imam Abu Ishaq As-Syirazi menerangkan bahwa mahar atau mas kawin boleh berupa barang atau utang:
وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ الصَّدَاقُ دَيْنًا وَعَيْنًا وَحَالًّا وَمُؤَجَّلًا، لِأَنَّهُ عَقْدٌ عَلَى الْمَنْفَعَةِ، فَجَازَ بِمَا ذَكَرْنَاهُ كَالْإِجَارَةِ
Artinya, “Boleh mahar nikah berupa utang, barang, mahar yang kontan, dan mahar yang ditangguhkan (utang). Karena akad nikah adalah akad atas manfaat, sehingga diperbolehkan maharnya dengan bentuk-bentuk yang telah kami sebutkan (utang, barang, kontan, dan tempo) sebagaimana (upah) dalam akad sewa.” (Al-Muhaddzab, [Beirut: Darul Kutub Al-'Ilmiyah: tt], juz II, halaman 463).
Dari kalangan Hanbali, Ibnu Qudamah juga menandaskan hal yang sama, mahar boleh saja berupa utang:
كُلُّ مَا جَازَ ثَمَنًا فِي الْبَيْعِ، أَوْ أُجْرَةً فِي الْإِجَارَةِ، مِنَ الْعَيْنِ وَالدَّيْنِ، وَالْحَالِّ وَالْمُؤَجَّلِ، وَالْقَلِيلِ وَالْكَثِيرِ، وَمَنَافِعِ الْحُرِّ وَالْعَبْدِ وَغَيْرِهِمَا، جَازَ أَنْ يَكُونَ صَدَاقًا
Artinya, “Segala sesuatu yang sah dijadikan harga dalam jual beli atau upah dalam sewa, baik berupa barang atau utang, yang tunai atau tertunda, sedikit atau banyak, termasuk manfaat orang merdeka, budak, dan selain keduanya, boleh dijadikan mahar.” (Al-Mughni, [Saudi: Dar 'Alamil Kutub: 1998], juz X, halaman 100).
Mahar yang berbentuk utang adakalanya kontan dan boleh juga bertempo atau penundaan. Tetapi dalam penundaan mahar, harus memenuhi syaratnya yaitu waktu pembayarannya jelas. Jika waktu penundaan tidak jelas, maka terjadi perbedaan pendapat.
Baca Juga
Berapa Batas Minimal Mahar?
Menurut mazhab Hanbali akadnya tetap sah dan kewajiban membayar mahar jatuh pada saat terjadi perpisahan (perceraian) atau kematian. Sebaliknya, menurut mazhab Syafi’i mahar dalam keadaan tersebut dianggap tidak sah, dan istri berhak mendapatkan mahr mitsl (mahar yang setara).
Syekh Wahbah Al-Zuhaili menjelaskan:
وأجاز الشافعية والحنابلة تأجيل المهر كله أو بعضه لأجل معلوم؛ لأنه عوض في معاوضة. فإن أطلق ذكره اقتضى الحلول، وإن أجل لأجل مجهول كقدوم زيد ومجيء المطر ونحوه لم يصح؛ لأنه مجهول، وإن أجل ولم يذكر الأجل، فالمهر عند الحنابلة صحيح ومحله الفرقة أو الموت، وعند الشافعية: المهر فاسد ولها مهر المثل
Artinya, “Mazhab Syafi’i dan Hanbali membolehkan penundaan pembayaran mahar, baik seluruhnya atau sebagian, hingga waktu tertentu yang jelas. Hal ini karena mahar dianggap sebagai kompensasi dalam sebuah transaksi timbal balik (mu’awadhah).
Apabila mahar disebutkan tanpa disertai penundaan, maka ia harus segera dibayarkan. Namun, jika waktu penundaan tidak jelas, seperti dikaitkan dengan kedatangan seseorang (misalnya Zaid) atau turunnya hujan, maka penundaan tersebut tidak sah karena ketidakjelasan.
Jika mahar ditunda tanpa ditentukan batas waktu tertentu, menurut mazhab Hanbali, akadnya tetap sah, dan kewajiban membayar mahar jatuh pada saat terjadi perpisahan (perceraian) atau kematian. Sebaliknya, menurut mazhab Syafi’i, mahar dalam keadaan seperti ini dianggap tidak sah, dan istri berhak mendapatkan mahar mitsl (mahar yang setara).” (Al-Fiqhul Islami w Adillatuh, [Damaskus: Darul Fikr: tt], juz IX, halaman 6787).
Sementara Mazhab Maliki memberikan rincian khusus terkait mahar dalam bentuk hutang. Jika mahar berupa sesuatu yang tertentu dan ada di daerah akad, seperti rumah atau pakaian, maka wajib diberikan pada saat itu juga. Penundaan dalam bentuk ini tidak diperbolehkan, kecuali dengan syarat waktu yang sangat singkat, misalnya 2 sampaI 5 hari.
Namun, jika mahar berupa barang tertentu yang tidak ada di tempat akad atau berupa sesuatu yang tidak ditentukan, seperti uang atau emas, maka penundaan boleh dilakukan asalkan batas waktunya jelas. Penundaan juga dapat dilakukan hingga waktu yang dikaitkan dengan peristiwa tertentu, seperti panen, asalkan sifat peristiwanya jelas dan dapat prediksi.(Az-Zuhaili, IX/6788.
Terakhir, Mazhab Hanafi memperbolehkan mahar dalam bentuk utang dengan syarat jatuh temponya jelas. Baik sebagian atau keseluruhan mahar. Sebab itu jika penangguhan pembayaran mahar itu tidak jelas deadlinenya, maka tidak boleh, sebagaimana keterangan berikut:
أجاز الفقهاء تأجيل المهر، فقال الحنفية يصح كون المهر معجلاً أو مؤجلاً كله أو بعضه إلى أجل قريب أو بعيد أو أقرب الأجلين: الطلاق أو الوفاة، عملاً بالعرف والعادة في كل البلدان الإسلامية، ولكن بشرط ألا يشتمل التأجيل على جهالة فاحشة، بأن قال: تزوجتك على ألف إلى وقت الميسرة، أو هبوب الرياح، أوإلى أن تمطر السماء، فلا يصح التأجيل، لتفاحش الجهالة
Artinya, “Para fuqaha (ahli fikih) memperbolehkan penundaan mahar. Menurut mazhab Hanafi: Mahar dapat ditetapkan untuk dibayar secara langsung (mu’ajjalan) atau ditunda (mu’akhkharan), baik seluruhnya maupun sebagian, hingga waktu yang dekat atau jauh, atau sampai waktu yang lebih dekat di antara dua keadaan: perceraian atau kematian, sesuai dengan adat dan kebiasaan di seluruh negara Islam. Namun, penundaan tersebut tidak boleh mengandung ketidakjelasan yang berlebihan (jahalah fakhishah), seperti seseorang berkata, “Aku menikahimu dengan mahar seribu (dirham) yang akan dibayar ketika aku mampu,” atau “ketika angin bertiup,” atau “ketika hujan turun.” Penundaan semacam itu tidak sah karena adanya ketidakjelasan yang berlebihan.” (Az-Zuhaili, IX/6787).
Pandangan ulama mazhab menunjukkan bahwa mahar dalam bentuk utang diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu. Ketentuan mengenai kejelasan waktu pembayaran menjadi hal yang krusial untuk menghindari kerugian salah satu pihak.
Dalam mazhab Hanafi, Syafi’i, Hanbali, maupun Maliki, prinsip kehati-hatian dan kejelasan akad sangat ditekankan. Karena itu, pasangan yang akan menikah perlu memahami ketentuan ini agar akad yang dilakukan selaras dengan syariat Islam. Wallahu a’lam.
Ustadz Moh Soleh Shofier, Alumni Mahad Aly Situbondo dan Pengajar
Terpopuler
1
Ketum PBNU: NU Berdiri untuk Bangun Peradaban melalui Pendidikan dan Keluarga
2
Harlah Ke-102, PBNU Luncurkan Logo Kongres Pendidikan NU, Unduh di Sini
3
Badan Gizi Butuh Tambahan 100 Triliun untuk 82,9 Juta Penerima MBG
4
Ansor University Jatim Gelar Bimbingan Beasiswa LPDP S2 dan S3, Ini Link Pendaftarannya
5
LP Ma'arif NU Gelar Workshop Jelang Kongres Pendidikan NU 2025
6
Banjir Bandang Melanda Cirebon, Rendam Ratusan Rumah dan Menghanyutkan Mobil
Terkini
Lihat Semua