Ramadhan

10 Kriteria Muslim yang Memperoleh Predikat Takwa

Ahad, 30 April 2023 | 16:30 WIB

10 Kriteria Muslim yang Memperoleh Predikat Takwa

Ilustrasi: Bagi umat Islam tujuan berpuasa Ramadhan adalah meningkatkan ketakwaan. (Foto: Freepik)

Muara puasa Ramadhan ialah memperoleh derajat takwa. Setelah Ramadhan selesai dan kembali ke fitri dengan adanya perayaan Idul Fitri, apakah kita semua sudah naik kelas menjadi manusia yang lebih bertakwa? Hal ini patut direnungkan di bulan-bulan berikutnya termasuk bulan Syawal yang merupakan bulan peningkatan. Lalu seperti apa kriteria Muslim yang memperoleh derajat takwa?


Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Zakky Mubarak (2023) menjelaskan bahwa kriteria manusia takwa banyak disebutkan dalam Al-Qur’an, antara lain dalam Surat Al-Baqarah ayat 77. Dalam ayat tersebut ditegaskan bahwa kebajikan atau kebaktian bukanlah dengan menghadapkan wajah ke arah timur atau barat, atau mungkin ke arah-arah yang lain.

 

Akan tetapi kebajikan atau kebaktian adalah orang-orang yang memiliki kriteria sebagai manusia takwa, yaitu, pertama, beriman kepada Allah dengan iman yang sesungguhnya. Iman itu memiliki tiga komponen, yaitu meyakini dalam hati, mengikrarkan dengan lisan, dan merealisasi dalam amal perbuatan.


Kedua, beriman kepada hari akhirat dengan segala macamnya, seperti mempercayai adanya alam barzakh, hari kiamat, hari kebangkitan, hari mahsyar, hari hisab, hari pembalasan, dan sebagainya.

 

Ketiga, mempercayai kepada para malaikat. Malaikat adalah makhluk immateri yang senantiasa taat kepada Allah dan mengerjalan tugas-tugas dari Allah yang diberikan kepada mereka.

 

Keempat, beriman kepada kitab-kitab suci. Kitab suci seluruhnya terdiri dari 104 kitab, dari 104 kitab itu terangkum dalam empat kitab, yaitu Taurat, Zabur, Injil, dan al-Qur’an. Dari empat kitab itu semuanya terangkum dalam Al-Qur’an.


Kelima, percaya kepada para nabi dan rasul. Para nabi jumlahnya 124.000, sedangkan para rasul berjumlah 313 orang, yang wajib diketahui adalah 25 nabi dan rasul yang disebutkan dalam Al-Qur’an.


Keenam, memberikan harta yang dicintainya untuk kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, anak jalanan atau musafir, orang-orang yang meminta-minta, dan untuk membebaskan perbudakan.


Ketujuh, menegakkan shalat dengan konsekuen. Shalat pengertian secara bahasa adalah doa dan pujian, sedangkan secara istilah atau terminology adalah suatu ibadah yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam dengan beberapa syarat dan rukun tertentu.


Kedelapan, menunaikan zakat. Zakat menurut pengertian bahasa adalah tumbuh kembang, pensucian jiwa dan harta, dan keberhakan. Sedangkan menurut istilah adalah memberikan sebagian harta yang dimilikinya kepada mereka yang berhak menerima dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan.


Kesembilan, menepati janji apabila berjanji, dengan demikian mereka melaksanakan janji-janjinya dengan konsekuen dan tidak pernah mengingkarinya.


Kesepuluh, ketabahan dan kesabaran yang maksimal dalam menghadapi berbagai kesulitan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka yang memiliki kriteria-kriteria tersebut adalah orang-orang yang benar-benar beriman, dan merekalah orang-orang yang bertakwa.


Takwa dan pengendalian diri
Selain derajat takwa, setelah berpuasa, Muslim juga seharusnya bisa meningkatkan sikap pengendalian diri. Bahkan pengendalian merupakan salah satu fondasi takwa.

 

Hal ini sesuai penjelasan Muhammad Quraish Shihab dalam Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat (2000). Prof Quraish Shihab menjabarkan, mengendalikan diri dari hawa nafsu dan perbuatan dosa serta merugikan orang lain merupakan modal penting bagi setiap Muslim untuk memperoleh predikat takwa.

 

Quraish Shihab menjelaskan, takwa terambil dari akar kata yang bermakna menghindar, menjauhi, atau menjaga diri. Kalimat perintah ittaqullah secara harfiah berarti, hindarilah, jauhilah, atau jagalah dirimu dari Allah. Makna ini tidak lurus bahkan mustahil dapat dilakukan makhluk. Bagaimana mungkin makhluk menghindarkan diri dari Allah atau menjauhi-Nya.

 

Sedangkan Dia (Allah) bersama manusia di mana pun manusia berada. Karena itu perlu disisipkan kata atau kalimat untuk meluruskan maknanya. Misalnya kata siksa atau yang semakna dengannya, sehingga perintah bertakwa mengandung arti perintah untuk menghindarkan diri dari siksa Allah.

 

Sebagaimana kita ketahui, siksa Allah ada dua macam: Pertama, siksa di dunia akibat pelanggaran terhadap hukum-hukum Tuhan yang ditetapkan-Nya berlaku di alam raya ini.

 

Seperti misalnya, "Makan berlebihan dapat menimbulkan penyakit", "Tidak mengendalikan diri dapat menjerumuskan kepada bencana", atau "Api panas, dan membakar", dan hukum-hukum alam dan masyarakat lainnya.

 

Kedua, siksa di akhirat, akibat pelanggaran terhadap hukum syariat, seperti tidak shalat, puasa, mencuri, melanggar hak-hak manusia, dan lain-lain yang dapat mengakibatkan siksa neraka.

 

Takwa dapat terwujud dalam bentuk rasa takut dari siksaan dan atau takut dari yang menyiksa (Allah swt). Rasa takut ini, pada mulanya timbul karena adanya siksaan, tetapi seharusnya sifat takwa timbul karena adanya Allah swt.

 

Dengan demikian, yang bertakwa adalah orang yang merasakan kehadiran Allah setiap saat, "bagaikan melihat-Nya atau kalau yang demikian tidak mampu dicapainya, maka paling tidak, menyadari bahwa Allah melihatnya," sebagaimana bunyi sebuah hadits.

 

Salah satu saluran untuk memperoleh predikat takwa ialah peristiwa malam lailatul qadar. Malam agung dan istimewa yang kebaikannya berlanjut dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Quraish Shihab, pertanda orang yang mendapatkan malam lailatul qadar ialah kebaikannya terus meningkat dalam kehidupan sehari-hari setelah Ramadhan. Kemudian hati dan perilakunya penuh dengan kedamaian dalam interaksinya dengan sesama makhluk Allah swt. (Fathoni Ahmad)