Ramadhan

Kultum: Ramadhan dan Anjuran Berbuat Baik kepada Tetangga

Rab, 27 Maret 2024 | 16:00 WIB

Kultum: Ramadhan dan Anjuran Berbuat Baik kepada Tetangga

Ilustrasi berbuat baik dengan tetangga. (Foto: NU Online)

Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah dan ampunan, di bulan ini umat Islam seluruh dunia berusaha meningkatkan ibadah, kebaikan, dan kasih sayang. Salah satu aspek penting dari ibadah di bulan Ramadhan adalah berbuat baik kepada sesama, termasuk kepada tetangga. 

 

Allah dan Rasul-Nya telah menekankan pentingnya berbuat baik kepada tetangga dalam banyak ayat Al-Qur'an dan hadits. Di dalam Islam, tetangga memiliki kedudukan yang sangat mulia, dan berbuat baik kepada mereka adalah aspek penting dalam merajut hubungan sosial yang tenteram dan nyaman.

 

Disebutkan dalam sebuah hadits, malaikat Jibril sering sekali memberikan nasihat kepada Rasulullah saw agar memperlakukan tetangganya dengan baik. Walhasil, Rasulullah menganggap bahwa hubungan dengan tetangga setara dengan hubungan keluarga sedarah, yakni seolah saling mewarisi. Hal ini seperti yang tercatat dalam hadis riwayat Imam al-Bukhari:

 

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا زَالَ يُوصِينِي جِبْرِيلُ بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ. رواه البخاري   

 

Artinya:  “Dari Aisyah ra, dari Nabi saw, beliau bersabda, ‘Jibril terus mewasiatiku perihal tetangga. Hingga aku menyangka bahwa tetangga akan menjadi ahli waris’.” (HR. Al-Bukhari).

 

Hadits di atas berkaitan tentang nasihat untuk berlaku baik kepada para tetangga dan menjaga hubungan yang harmonis dengan mereka. Bukan berarti bahwa tetangga benar-benar mewarisi.

 

Frekuensi nasihat yang diterima membuat Nabi saw menganggap tetangga memiliki kedudukan yang sama pentingnya seperti anggota keluarga yang memiliki hubungan darah dan keturunan dalam segi warisan. (Ibnu Hajar Al-'Atsqallani, Fathul Bari [Beirut: Dar al-Fikr, t.t.], jilid X, halaman 441).

 

Kemudian, salah satu pesan Rasulullah saw juga dalam merajut keharmonisan dengan tetangga adalah memberi rasa aman pada tetangga, baik dari tindakan, sikap hingga perkataan kita. Beliau pernah bersabda:

 

وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ! وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ! وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ! قِيلَ وَمَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ الَّذِي لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بوَائِقَهُ  

 

Artinya:  “Demi Allah, tidak sempurna imannya!, demi Allah tidak sempurna imannya!, demi Allah tidak sempurna imannya!. Rasulullah saw ditanya ‘Siapa yang tidak sempurna imannya wahai Rasul?’ Beliau menjawab, ‘Seseorang yang tetangganya tidak merasa aman atas perilaku buruknya.” (HR Al-Bukhari).

 

Mengenai hadits di atas, Imam Ibnu Hajar al-‘Atsqallani dalam Fathul Bari menjelaskan praktik dari menjaga hubungan baik dengan tetangga itu beragam. Di antaranya adalah dengan mengucap salam, memberikan pertolongan, menemui mereka dengan wajah yang tampak ceria, menghindari perilaku yang dapat membuat mereka sakit, baik secara fisik maupun hatinya yang tersakiti (Ibnu Hajar Al-’Atsqallani, Fathul Bari [Beirut: Dar al-Fikr, t.t.], jilid X, halaman 442).

 

Hanya saja, menurut Syekh Ibnu Abi Jamrah dalam praktiknya di lapangan terkadang ada tetangga yang memiliki perangai baik dan juga buruk. Lantas bagaimana menyikapinya?

 

Sikap yang terbaik dalam menghadapi tetangga yang memiliki karakter dan perilaku yang buruk yaitu dengan memberinya nasihat melalui cara yang baik, mendoakannya supaya diberi hidayah dan kembali ke jalan yang lurus, tidak main hakim sendiri dengan mencederai kecuali membela diri apabila mereka berbuat kejahatan yang membahayakan (Ibnu Hajar Al-’Atsqallani, Fathul Bari, jilid X, halaman 442).

 

Dengan demikian, mari jadikan bulan Ramadhan ini sebagai wasilah untuk mempererat tali keharmonisan. Kita dapat melakukan berbagai aktivitas baik kepada tetangga seperti memberikan makanan sahur atau berbuka puasa, mengundang untuk berbuka puasa bersama, menjaga kebersihan lingkungan, berkomunikasi dengan mereka untuk memperkuat interaksi sosial, yang semuanya bertujuan untuk meningkatkan kebersamaan dan keharmonisan. Wallahu a’lam

 

Ustadz Amien Nurhakim, Musyrif Pesantren Darussunnah Jakarta.