Ramadhan

Kultum Ramadhan: Fiqih Puasa bagi Pekerja Berat

Sab, 25 Maret 2023 | 04:00 WIB

Kultum Ramadhan: Fiqih Puasa bagi Pekerja Berat

Ilustrasi: kerja keras - nelayan - buruh (freepik).

Di bulan Ramadhan yang mulia memang seyogianya setiap muslim memfokuskan diri untuk beribadah kepada Allah, karena pahala di bulan Ramdhan dilipatgandakan dibandingkan bulan-bulan lainnya. Al-Imam Abdullah bin Alawi Al-Hadadad memberikan nasihat dalam kitabnya Ar-Risalatul Muawanah:
 

ولا تدخل في شيء من أعمال الدنيا إلا إن كان ضروريا واجعل شغلك بأمر المعاش في غير رمضان وسيلة إلى الفراغ للعبادة فيه
 

Artinya, "Seyogianya jangan engkau masukan sesuatu dari amal dunia kecuali itu sesuatu yang harus, dan jadikan kesibukanmu tentang urusan penghidupan di selain bulan Ramadhan sebagai perantara untuk meluangkan waktu beribadah di dalamnya." (Abdullah bin Alawi bin Muhammad Al-Haddad, Risalatul Mu'awanah, [Jakarta, Darul Kutub Isamiyah], halaman 84).
 

Namun demikian kebanyakan orang masih harus tetap berjuang banting-tulang untuk memenuhi kebutuh diri dan keluarganya sekalipun di bulan Ramadhan. Sebagian orang masih kuat dalam bekerja dengan menahan lapar dan dahaganya puasa Ramadhan. Sebagian lain tidak kuat bekerja dalam keadaan berpuasa karena pekerjaannya yang memang berat.
 

Lantas bagaimana dengan puasa para pekerja keras? 
 

Syekh Prof Dr Muhammad Hasan Hitou, ulama kontemporer berkebangsaan Suriah pendiri Universitas Al-Imam Asy-Syafi'i di Cianjur Jawa Barat, menjelaskan dalam kitabnya Fiqhus Siyam:
 

"Bagi orang-orang sehat yang sebenarnya mampu untuk melaksanakan puasa, namun karena pekerjaan mereka itu berat semisal pekerja proyek jalan raya yang bekerja di bawah teriknya sinar matahari atau pekerja tambang dan pekerjaan-pekerjaan semisalnya, mereka tidak diperbolehkan untuk membatalkan puasa seketika itu, karena Allah hanya memberikan kemurahan membatalkan puasa bagi musafir dan orang yang sakit saja, bukan orang yang dalam keadaan masyaqqah atau kepayahan."
 

Bagi mereka dalam keadaan demikian tetap wajib niat puasa di malam harinya dan juga melaksankannya sampai tidak kuat, maka baru boleh membatalkan puasanya, bukan serta-merta tidak berpuasa sama sekali.  Berikut penjelasan selengkapnya:
 

فيجب عليهم أن ينووا الصيام، وأن يشرعوا فيه، فإذا وصلوا أثناء العمل لدرجة من الجهد والمشقة والإعياء خافوا معها الهلاك، فإنهم يجوز لهم في هذه الحالة أن يفطروا، كمن غلبه الجوع أو العطش ووصل لهذه الحالة، لقوله تعالى : وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا وقوله تعالى : وَلَا تُلْقُوْا . بِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِ. ۛوبعد ذلك يجب عليهم القضاء حينما يتمكنون منه
 

Artinya, "Maka wajib atas mereka berniat puasa dan melaksanakannya. Jika nanti mereka sampai di tengah pekerjaannya sampai pada derajat kepayahan, masyaqqah, kelelahan dan keletihan yang dengan keadaan itu mereka khawatir binasa atau kerusakan jiwa, maka mereka diperbolehkan dalam keadaan ini untuk membatalkan puasanya. Seperti halnya seorang yang terlampau kelaparan dan kehausan sampai pada keadaan tersebut. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat An-Nisa' ayat 29: 
 

وَلَا تَقْتُلُوْٓا اَنْفُسَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا
 

Artinya, "Janganlah membunuh diri kalian. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepada kalian." 
 

Juga surat Al-Baqarah ayat 195: 
 

وَلَا تُلْقُوْا بِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِ ۛ
 

Artinya, "Janganlah jerumuskan diri kalian ke dalam kebinasaan."
 

Kemudian setelah membatalkannya, ia diwajibkan untuk mengqadha'nya tatkala telah memungkinkan." 
 

Berikutnya beliau mengatakan hal ini  seluruhnya jika pekerja tersebut memang butuh bekerja dengan sedemikian kerasnya. Adapun jika ia tidak memerlukannya atau telah tercukupi dengan pekerjaan lainnya, maka wajib baginya untuk meninggalkan pekerjaan tersebut dan berpuasa. (Muhammad Hasan Hitao, Fiqhus Siyam, [Beirut, Darul Basyair Al-Islamiyah], halaman 125).
 

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya pekerja keraspun tetap wajib menjalankan puasa. Adapun jika di tengah pekerjaannya ia dalam keadaan masyaqqah maka diperbolehkan untuk mebatalkan puasnya dengan tetap wajib mengqadha'nya di waktu lain, tidak serta-merta dari awal sudah niat tidak berpuasa dengan alasan kerja berat yang tidak kuat dilakukan dalam keadaan berpuasa. 
 

Sebagaimana penjelasan di atas, Syekh Nawawi Banten menjelaskan hal yang serupa, yakni pekerja keras jika tidak kuat untuk meneruskan , diperbolehkan untuk membatalkan puasanya dengan menyamakannya pada orang yang sedang sakit. Berikut selengkapnya:
 

ومثل المريض من غلب عليه الجوع والعطش والحصادون والزراعون ونحوهم فيجب عليهم تبييت النية في رمضان ثم إن لحقتهم مشقة شديدة تبيح التيمم أفطروا، وإلا فلا
 

Artinya, "Semisal orang sakit adalah orang yang terlampau lapar dan dahaga pada saat memanen, menanam, dan semisalnya. Maka bagi mereka tetap wajib untuk berniat puasa di malam hari Ramadhan, kemudian jika pada siang harinya ditemui keadaan teramat sangat masyaqqah yang dengan keadaan tersebut seseorang diperbolehkan tayamum, maka mereka diperbolehkan untuk membatalkan puasanya. Namun jika tidak demikian, maka tidak diperbolehkan membatalkan puasanya." (Muhammad Nawawi Al-Jawi, Tausyikh 'ala Ibni Qasim, [Jakarta, Darul Kutub Islamiyah], halaman 227). Wallahu a'lam bisshawab.
 

 

Ustadz Muhammad Hanif Rahman, Dosen Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo