Ramadhan

Kultum Ramadhan: Jangan Takut pada Masa Depan Hidup

Sen, 3 April 2023 | 16:00 WIB

Kultum Ramadhan: Jangan Takut pada Masa Depan Hidup

Orang mengejar rezeki (Ilustrasi: NU Online)

Seiring bulan Ramadhan yang telah lewat 10 harian, banyak hikmah yang kita dapatkan darinya. Mulai kebiasaan puasa sepanjang hari, tarawih tiap malam, bangun sahur di sepertiga malam terakhir, sampai berbagai nasehat dari kultum di sela-sela shalat tarawih dan witir, serta inspirasi lain yang kita dapatkan dari berbagai sumber. 


Di antara inspirasi Ramadhan yang sangat penting kita pedomani adalah untuk optimis dalam menjalani hidup dan tidak takut bayang-bayang ke depan. 


Mungkin saat Ramadhan mulia ini ada sebagian dari kita yang sedang dalam masalah ekonomi atau finansial. Mungkin ada yang sedang bermasalah dengan karir, bisnis, dan pekerjaannya. Mungkin ada yang sedang bermasalah dalam rumah tangganya utamanya hubungan atau relasi antara suami istri dan problem hidup lainnya. Sebesar apapun masalah hidup bulan Ramadhan mengajar kepada kita untuk tetap optimis menjalaninya. 


Yang terpenting kita sudah buat planning terbaik dalam hal ekonomi, urusan bisnis dan pekerjaan atau planning terbaik dalam kehidupan keluarga. Dari planning terbaik inilah kemudian kita secara serius mulai melangkah, selangkah demi selangkah untuk mewujudkannya, serta secara batiniah, dalam relung hati terdalam, tidak lupa kita pasrahkan proses dan hasilnya kepada Allah subhanahu wa ta'ala


Dalam bahasa agama, memasrahkan proses dan hasil dari planning hidup kita secara batin, tanpa meninggalkan keseriusan ikhtiar lahir seperti ini disebut dengan tawakal. 


Allah dalam Al-Qur'an berulang kali memberi petunjuk kepada manusia agar ikhtiar, optimis, dan sekaligus memasrahkan semua urusan kepada-Nya.


Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:


فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ آل عمران: ١٥٩


Artinya, "Maka ketika kamu sudah berketetapan hati, tawakallah kepada Allah. Sungguh Allah mencintai orang-orang yang bertawakal." (QS Ali Imran: 159).


Di lain kesempatan Allah subhanahu wa ta'ala menegaskan:


وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ ۚ الطلاق: ٣


Artinya, "Dan siapa saja yang bertawakal kepada Allah, maka Ia yang akan mencukupi.' (QS. At-Thalaq).


Suatu ketika pada masa hidup Rasulullah saw, ada orang Madinah dari klan Ghathafan bernama Nu'aim bin Mas'ud Al-Asyja'i yang menakut-nakuti para sahabat bahwa mereka akan diserbu oleh orang-orang Makkah dan akan dibumihanguskan. 


Abu Sufyan dan gerombolan musyrikin Makkah akan menyerbu Madinah dan dan akan menghabisi seluruh pengikut Nabi Muhammad saw tanpa tersisa seorangpun. Demikian provokasi Nu'aim bin Mas'ud untuk menyiutkan nyali para sahabat sekaligus menggembosi kesetiaan mereka kepada Nabi Muhammad saw.


Lalu bagaimana respon para sahabat mendengar provokasi itu?


Tak bergeming. Satu inci pun mereka tak bergeming dan terpengaruh atas provokasi yang dilancarkan Nu'aim, yang belum masuk Islam kala itu.


Sampai waktu pasukan diberangkatkan untuk menghadapi serbuan musyrikin Makkah di luar kota Madinah, seluruh sahabat tetap setia menyertai perjuangan Nabi Muhammad saw. Tak sedikitpun gentar menghadapinya. Jiwa dan raga jadi taruhannya. Hanya kepada Allah mereka memasrahkan diri, mengikuti petunjuk Al-Qur'an:


قُل لَّن يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا ۚ وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ التوبة: ٥١


Artinya, "Katakanlah: ‘Tidak akan mengenai mita kecuali apa yang telah Allah pastikan untuk kita, Allah penolong kita, dan hanya kepada Allah hendaknya orang-orang mukmin bertawakal.’" (QS At Taubah: 51).


Sesampai di medan perang, ternyata tidak ada musyrikin Makkah sama sekali. Satu orang pun tidak ada. Setelah menggali informasi, justru Abu Sufyan dan musyrikin Makkah sendiri yang ciut nyali melihat kesetiaan kaum muslimin mempertahankan keimanan mereka bersama Nabi Muhammad saw. 


Kebetulan waktu itu bersamaan dengan musim dagang lintas kota lintas negeri. Setelah positif perang tidak terjadi, kaum muslimin menggunakan kesempatan pada waktu itu untuk berdagang sehingga pulang membawa keuntungan yang sangat besar. Tak jadi perang tapi justru berbisnis dengan membawa kesuksesan. 


Dalam konteks inilah—menurut sebagian riwayat—turun dua ayat yang merekam kisah ini dalam Al-Qur'an:


الَّذِينَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيمَانًا وَقَالُوا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ (١٧٣) فَانقَلَبُوا بِنِعْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ وَفَضْلٍ لَّمْ يَمْسَسْهُمْ سُوءٌ وَاتَّبَعُوا رِضْوَانَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ ذُو فَضْلٍ عَظِيمٍ ١٧٤


Artinya, "(173) Dan orang-orang (sahabat Nabi saw), yang ada orang lain (Nu'aim bin Mas'ud) berkata kepada mereka: "Sungguh orang-orang (musyrikin Makkah, Abu Sufyan dan gerombolannya) telah berkumpul untuk membasmi kalian, maka takutlah kalian, lalu perkataan itu justru menambah keimanan bagi mereka, dan mereka berkata: "Hasbunallahu wani'mal wakil (Yang mencukupi kami adalah Allah dan Dzat terbaik yang dipasrahi segala urusan hanyalah Allah)." (174) Kemudian mereka pulang dari medan perang dengan membawa kenikmatan (keuntungan dagang), dan anugerah dari Allah, tanpa ada keburukan sedikitpun yang menimpa mereka, dan mereka mengikuti keridhaan Allah; dan Allah adalah Dzat yang maha memiliki anugerah yang agung." (QS Ali Imran: 173-174).


Demikianlah kisah para sahabat yang diprovokasi dan digertak agar takut terhadap serbuan musuh, tapi tak gentar sedikitpun. Tantangan sebesar apapun berani mereka hadapi dengan tekad yang dan kepasrahan total kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Tak takut bayang-bayang yang menghantuinya. 


Demikian pula kita orang-orang yang beriman, tidak pantas takut terhadap bayang-bayang kehidupan, baik urusan ekonomi, urusan keluarga, bisnis, pekerjaan dan lainnya. Yang terpenting kita berjalan pada jalan yang benar, bukan maksiat, kita rencanakan sebaik mungkin, dan kita laksanakan urusan kita setahap demi setahap, seiring bertawakal kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Memasrahkan seluruh rencana, proses dan hasil kepada Allah, tanpa melupakan ikhtiar lahir sebagaimana mestinya. 


Bagi orang beriman, tidak ada yang perlu ditakuti kecuali Allah subhanahu wa ta'ala. Karenanya, jangan takut bayangan hidup, mantap saja. Wallahu a'lam.


Ustadz Ahmad Muntaha AM, Redaktur Keislaman NU Online dan Founder Aswaja Muda.