Ramadhan

Kultum Ramadhan: Menjaga Lisan dan Hati, Menebar Kedamaian di Bulan Suci

Sab, 16 Maret 2024 | 16:15 WIB

Kultum Ramadhan: Menjaga Lisan dan Hati, Menebar Kedamaian di Bulan Suci

Ilustrasi bulan Ramadhan. (Foto: NU Online)

Ramadhan merupakan bulan yang penuh berkah dan rahmat. Keberkahan tersebut bisa jadi karena di dalamnya ada ibadah puasa yang diwajibkan kepada umat Islam. Untuk mendapatkan rahmat dan keberkahan tersebut, tentu harus melaksanakan ibadah puasa sekaligus memperhatikan adab-adabnya.

 

Menurut Syekh Izzuddin bin Abdissalam dalam kitabnya Maqashidush Shaum, ada enam adab bagi orang yang berpuasa, yakni (1) menjaga lidah dan anggota tubuh dari perbuatan yang dzalim dan melanggar syariat; (2) apabila diundang untuk makan, sementara ia sedang berpuasa maka hendaklah ia berkata, “Aku sedang berpuasa.”; (3) membaca doa saat berbuka puasa; (4) sebaikya, makanan untuk berbuka adalah kurma basah atau kurma kering, atau air; (5) menyegerakan berbuka; dan terakhir (6) mengakhirkan sahur. (Syekh Izzuddin bin Abdissalam, Maqashidush Shaum, [Damaskus: Darul Fikr, 1992], hal. 19)

 

Menjaga Lisan dan Hati

Bagi orang yang berpuasa, penting sejali dalam menjaga lisan dan hati agar bisa menebar kedamaian di bulan suci Ramadhan. Berkenaan dengan hal tersebut, Rasulullah Saw bersabda:

 

من لم يدع قول الزور والعمل به فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه

 

Artinya: “Barangsiapa yang tidak meninggalkan kata-kata dusta dan melakukannya, maka Allah tidak butuh jika ia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Al-Bukhari)

 

Syekh Shalih bin Abdullah bin Ahmad al-‘Ushaimi dalam kitabnya, Syarah Maqashidush Shaum, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “qaulaz zûr wal ‘amala bih” dalam hadits tersebut adalah dilarang untuk mengucapkan dan melakukan sesuatu yang bathil.

 

Lebih jauh, maksud utama dari puasa adalah ‘puasa’ dari melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah swt, yaitu dengan cara menjaga lisan dari berkata buruk, ghibah, mencemooh, dan sebagainya. Oleh karena itu, jika seseorang yang berpuasa tetap tidak bisa menjaga lisannya, maka pahala puasanya tentu menjadi kurang sempurna. (Syekh Shalih bin Abdullah bin Ahmad al-‘Ushaimi, Syarah Maqashidush Shaum, hal. 55)

 

Menjaga lisan dari perbuatan ghibah, namimah, dan sebagainya, merupakan suatu keniscayaan bagi umat Islam yang menginginkan pahala puasanya sempurna. Rasulullah saw sendiri telah mewanti-wanti bahwa ghibah, namimah, berbohong, bisa menggugurkan pahala puasa. Beliau bersabda,

 

خَمْسٌ يُفْطِرْنَ الصَّائِمَ: الْغِيْبَةُ، وَالنَّمِيْمَةُ، وَالْكَذِبُ، وَالنَّظَرُ بِالشَّهْوَةِ، وَالْيَمِيْنُ الْكَاذِبَةُ    

 

Artinya: “Lima hal yang bisa menggugurkan pahala orang berpuasa; membicarakan orang lain, mengadu domba, berbohong, melihat dengan syahwat, dan sumpah palsu.” (HR Ad-Dailami) 

 

Selain itu, ghibah sendiri merupakan perbuatan tercela yang dalam Al-Qur’an disebut bahwa pelaku gibah diumpamakan seperti orang yang memakan daging orang yang digibahinya. Allah swt berfirman,

 

   وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ    

 

Artinya: “Janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat, Maha Penyayang.” (QS Al-Hujurat: 12). 

 

Dalam kitab Tafsirul Munir, Syekh Wahbah Zuhaili memberikan penafsiran sebagai berikut:

 

وَلا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا، أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ؟﴾ أي لا يذكر بعضكم بعضا في غيبته بما يكره، سواء أكان الذكر صراحة أم إشارة أم نحو ذلك، لما فيه من الأذى بالمغتاب. وهو يتناول كل ما يكره، سواء في دينه أو دنياه، في خلقه أو خلقه، في ماله أو ولده أو زوجته أو خادمه أو لباسه ونحو ذلك.

 

Artinya: “Maksudnya, janganlah sebagian dari kamu menyebut-nyebut sesuatu yang dibenci (ghibah) sebagian yang lain, baik penyebutan tersebut secara terang-terangan ataupun hanya sebatas isyarat saja, sebab hal tersebut dapat menjadikan orang yang disebut keburukannya tadi (orang yang dighibahi) merasa tersakiti hatinya.

 

Adapun yang dimaksud dengan ghibah itu sendiri adalah menyebut-nyebut setiap sesuatu yang dibenci seseorang, baik dalam hal yang masih ada kaitannya dengan agama, dunia, pribadi, akhlak, harta, anak, istri, pelayan, pakaian, dan sebagainya.” (Syekh Wahbah Zuhaili, Tafsirul Munir, [Damaskus: Darul Fikr, 1991 M], juz. 13, hal. 256-257)

 

Mengingat pentingnya menjaga hati dan lisan, terlebih di bulan suci Ramadhan, mari jadikan momentum bulan Ramadhan yang penuh rahmat ini dengan menebar kedamaian. Wallahu a‘lam.

 

M. Ryan Romadhon, Alumnus Ma’had Aly Al-Iman Bulus Purworejo.