Ramadhan

Telinga Kemasukan Air saat Mandi Tidak Batalkan Puasa? Ini Pendapat Unik dalam Mazhab Syafi'i

Sen, 18 Maret 2024 | 08:00 WIB

Telinga Kemasukan Air saat Mandi Tidak Batalkan Puasa? Ini Pendapat Unik dalam Mazhab Syafi'i

Ilustrasi air masuk telinga saat mandi tidak batalkan puasa menurut pendapat unik dalam mazhab Syafi'i. (Freepik).

Pada siang bulan Ramadhan kadang teliga kemasukan air saat mandi. Entah karena kecerobohan atau berangkat dari ketidaksengajaan. Dalam hal ini ada pendapat unik di lingkungan mazhab Syafi'i yang menyatakan kemasukan air saat mandi tidak membatalkan puasa. 
 

Para ulama menjelaskan, di antara hal yang dapat membatalkan puasa adalah sampainya sesuatu pada rongga bagian dalam tubuh (jauf) melalui rongga luar yang terbuka (manfadz maftuh). Al-Khatib As-Syirbini dalam kitab Al-Iqna' menyebutkan:
 

الْأَوَّلُ (مَا وَصَلَ) مِنْ عَيْنٍ، وَإِنْ قَلَّتْ كَسِمْسِمَةٍ (عَمْدًا) مُخْتَارًا عَالِمًا بِالتَّحْرِيمِ (إلَى) مُطْلَقِ (الْجَوْفِ) مِنْ مَنْفَذٍ مَفْتُوحٍ
 

Artinya, “(Sesuatu yang membatalkan puasa) yang pertama adalah sampainya suatu benda (‘ain) meski sedikit seperti buah simsim secara segaja dalam kondisi normal serta tahu keharamannya, pada rongga bagian dalam tubuh melalui rongga luar yang terbuka.” (Al-Khatib As-Syirbini, Al-Iqna'juz I, halaman 315).
 

Mengenai telinga, terdapat perbedaan pendapat di dalam mazhab Syafi’i.
 

Pendapat pertama mengatakan, telinga termasuk rongga luar yang terbuka. Sehingga bila ada sesuatu masuk melalui telinga dan sampai ke rongga bagian dalam, maka dapat membatalkan puasa. Dalam kitab Al-Fiqhul Manhaji disebutkan:
 

والمنفذ المفتوح: هو الفم والأذن والقبل والدبر من الذكر والأنثى
 

Artinya, “Rongga luar yang terbuka adalah mulut, telinga, kubul, dubur dari laki-laki maupun perempuan”. (Musthafa Dib Bugha, dkk., Al-Fiqhul Manhaji, [Darul Qalam: 1987], juz II, halaman 84).
 

Berangkat dari pendapat ini, apabila air masuk ke dalam telinga saat mandi maka status puasanya diperinci:

  1. Puasa tidak batal bila berupa mandi wajib seperti janabah atau mandi sunah.
  2. Puasa batal, apabila mandi mubah (mandi untuk membersihkan atau menyegarkan tubuh).

Syekh Abu Bakr Syatha Ad-Dimyati dalam kitab I'anatut Thalibin menjelaskan:
 

أَنَّ الْقَاعِدَةَ عِنْدَهُمْ أَنَّ مَا سَبَقَ لِجَوْفِهِ مِنْ غَيْرِ مَأْمُوْرٍ بِهِ يُفْطِرُ بِهِ أَوْ مِنْ مَأْمُوْرٍ بِهِ وَلَوْ مَنْدُوْبًا لَمْ يُفْطِرْ وَيُسْتَفَادُ مِنْ هِذِهِ الْقَاعِدَةِ ثَلاَثَةُ أَقْسَامٍ: اَلأَوَّلُ: يُفْطِرُ مُطْلَقًا بَالَغَ أَوْ لاَ وَهَذَا فِيْمَا إِذَا سَبَقَ الْمَاءُ إِلَى جَوْفِهِ فِيْ غَيْرِ مَطْلُوْبٍ كَالرَّابِعَةِ وَكَانْغِمَاسٍ فِي الْمَاءِ لِكَرَاهَتِهِ لِلصَّائِمِ وَكَغُسْلِ تَبَرُّدٍ أَوْ تَنَظُفٍ. الثَّانِيُّ: يُفْطِرُ إِنْ بَالَغَ وَهَذَا فِيْمَا إِذَا سَبَقَهُ الْمَاءُ فِيْ نَحْوِ الْمَضْمَضَةِ الْمَطْلُوْبَةِ فِيْ نَحْوِ الْوُضُوْءِ. الثَّالِثُ: لاَ يُفْطِرُ مُطْلَقًا وَإِنْ بَالَغَ وَهَذَا عِنْدَ تَنَجُّسِ الْفَمِّ لِوُجُوْبِ الْمُبَالَغَةِ فِيْ غَسْلِ النَّجَاسَةِ عَلَى الصَّائِمِ وَعَلَى غَيْرِهِ لِيَنْغَسِلَ كُلُّ مَا فِيْ حَدِّ الظَّاهِرِ اهـ
 

Artinya, “Kesimpulannya, sungguh kaidah fiqih menurut ulama menyatakan, air yang tidak sengaja masuk ke dalam rongga tubuh dari aktivitas yang tidak dianjurkan, dapat membatalkan puasa, atau dari aktivitas yang dianjurkan meskipun anjuran sunah, maka tidak membatalkan. Dari kaidah ini, dapat dipahami tiga pembagian perincian hukum. 

  1. Membatalkan secara mutlak, baik melebih-lebihkan (dalam cara menggunakan air) atau tidak. Ini berlaku dalam permasalahan masuknya air dalam aktivitas yang tidak dianjurkan seperti basuhan ke empat, menyelam ke dalam air, karena makruh bagi orang yang berpuasa, mandi dengan tujuan menyegarkan atau membersihkan badan. 
  2. Membatalkan jika melebih-lebihkan, ini berlaku dalam aktivitas semacam berkumur yang dianjurkan saat berwudhu. 
  3. Tidak membatalkan secara mutlak meski melebih-lebihkan, ini berlaku ketika mulut terkena najis karena wajibnya melebih-lebihkan dalam membasuh najis bagi orang yang berpuasa dan lainnya agar anggota zhahir terbasuh (suci dari najis),” (Abu Bakr bin Syatha Ad-Dimyathi, I’anatut Thalibin, juz II, halaman 265).
     

Pendapat Kedua mengatakan, telinga tidak termasuk rongga luar yang terbuka. Sehingga air yang masuk ke dalam telinga tidak menyebabkan puasa batal. Pendapat ini sebagaimana dikutip Syekh Muhammad bin Ahmad As-Syathiri dalam Syarhu Yaqutin Nafis. Menurut beliau, pendapat ini adalah pendapat yang kuat sekalipun muqabil (lawan) dari pendapat yang Ashah. Beliau menjelaskan:
 

وأتذكر قولا في مذهب الشافعي مقابل الأصح: لا يبطل الصوم بوصول الماء إلى باطن الأذن، وهو قول قوي

Artinya, “Saya ingat satu pendapat dalam mazhab Syafi’i yang merupakan lawan dari qaul ashah, bahwa puasa tidak batal sebab sampainya air ke telinga bagian dalam. Pendapat ini adalah pendapat kuat”. (Muhammad bin Ahmad As-Syathiri, Syarhu Yaqutin Nafis, [Beirut, Darul Minhaj], halaman 462)
 

Lebih lanjut Syekh Muhammad As-Syathiri mengatakan bahwa para Ashabus Syafi’i sebelumnya telah menetapkan bahwa telinga merupakan rongga luar yang tidak terbuka.
 

وأصحاب الشافعي قد قرروا من قبل أن الأذن منفذ غير مفتوح
 

Artinya, “Dan para santri Imam Syafi’i telah menetapkan sebelumnya bahwa telinga adalah rongga luar yang tidak terbuka” (As-Syatiri, 463).
 

Meski masih terdapat khilaf di antara para ulama sebagaimana di atas, alangkah baiknya lebih berhati-hati ketika mandi di bulan puasa, khawatir ada air yang masuk ke dalam tubuh. Namun bilamana tidak sengaja terjadi, pendapat kedua sekalipun lawan dari qaul ashah bisa diamalkan. Karena diakui atau tidak, air masuk ke telinga tanpa sengaja sering terjadi saat mandi siang hari di bulan puasa. Wallahu a'lam.
 

Ustadz Bushiri, Pengajar di Pondok Pesantren Syaichona Moh. Cholil Bangkalan