Sirah Nabawiyah

Bilal dan Abu Hind, Sosok di Balik Turunnya Al-Hujurat Ayat 13

Jum, 28 Januari 2022 | 14:00 WIB

Bilal dan Abu Hind, Sosok di Balik Turunnya Al-Hujurat Ayat 13

Ilustrasi sahabat Nabi. (Foto: NU Online)

Kehadiran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw tidak hanya menghapus tradisi-tradisi jahiliyah yang tidak menjunjung tinggi martabat kemanusiaan, tetapi juga memberikan ruang seluas-luasnya bagi kesetaraan dalam kehidupan seluruh bangsa. Sistem perbudakan dihapus, diskriminasi bangsa kulit hitam ditinggalkan, dan memberi peran perempuan di ruang-ruang publik.


Imam Suyuthi dalam kitab tafsirnya al-Durr al-Mantsur fi Tafsir bil-Ma'tsur menjelaskan dua mengenai perlakuan diskriminatif masyarakat Makkah terhadap budak dan orang kulit hitam.


Kisah pertama, pada saat Rasulullah memasuki kota Makkah dalam peristiwa Fathu Makkah, Bilal bin Rabah naik ke atas Ka'bah dan menyerukan azan. Maka sebagian penduduk Makkah (yang tidak tahu bahwa di Madinah Bilal bin Rabah biasa menunaikan tugas menyerukan azan) terkaget-kaget.


Ada yang berkata: "Budak hitam inikah yang azan di atas Ka‘bah?” (dalam riwayat lain di kitab Tafsir al-Baghawi al-Harits bin Hisyam mengejek dengan mengatakan: "Apakah Muhammad tidak menemukan selain burung gagak ini untuk berazan?"). Yang lain berkata, “Jika Allah membencinya, tentu akan menggantinya.”


Kisah kedua, Abu Hind adalah bekas budak yang kemudian bekerja sebagai tukang bekam. Nabi meminta kepada Bani Bayadhah untuk menikahkan salah satu putri mereka dengan Abu Hind. Tapi mereka menolak dengan alasan: "Ya Rasul, bagaimana kami hendak menikahkan putri kami dengan bekas budak kami?"


Dua peristiwa tersebut menjadi sebab turunnya (asbabun nuzul) Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 13.


يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ


“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS Al-Hujurat [49]: 13)


Terkait peristiwa Fathu Makkah sendiri, Nabi Muhammad dan para sahabatnya bukan hanya berupaya melakukan revolusi besar dalam membebaskan Kota Makkah, tetapi juga membebaskan seluruh kaum kafir untuk masuk ke dalam lindungan Nabi Muhammad sehingga mereka serta-merta masuk Islam.


Prof KH Nasaruddin Umar dalam Khutbah Imam-imam Besar (2018) menjelaskan, di tengah kemenangan Nabi dan kaum Muslimin, ada satu peristiwa ketika Abu Sufyan dan para pembesar Quraisy akhirnya menyerah dan bersedia mengikuti petunjuk Nabi Muhammad. Kemudian Nabi meminta kepada para pimpinan pasukannya untuk menyatakan, al-yaum yaumal marhamah (hari ini hari kasih sayang).


Setelah menerima penyerahan Makkah, Muhammad menyatakan amnesti massal bagi sebagian besar musuh-musuhnya, termasuk orang-orang yang telah melawannya dalam pertempuran. Dengan hukum kesukuan yang berlaku, alih-alih kaum Quraisy menjadi budaknya, Nabi malah menyatakan bahwa semua penduduk Makkah (termasuk semua budak) dibebaskan. Hanya enam pria dan empat perempuan yang dihukum mati karena alasan bermacam kejahatan yang pernah mereka lakukan, dan tak seorang pun dipaksa masuk agama Islam.


Karen Armstrong dalam Muhammad: Prophet for Our Time (2006) menjelaskan, semua orang Makkah juga harus mengambil sumpah setia tidak akan berperang lagi melawan Nabi. Di antara orang Quraisy terakhir yang mengambil sumpah itu ada Abu Sufyan dan istrinya, Hindun. Namun, saat secara resmi masuk Islam, mereka berdua tetap bangga dengan kepercayaannya terdahulu dan dengan terang-terangan menabalkan rasa jijik terhadap Muhammad dan “kepercayaannya nan picik”.


Penyelesaian Fathu Makkah berjalan sangat manusiawi meskipun menyalahi tradisi perang Arab yang penuh dengan pertumpahan darah, perampasan, dan lain-lain. Namun kasih sayang Nabi Muhammad lebih besar dalam hal ini sehingga betul-betul tidak ada balas dendam.


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Muchlishon