Sirah Nabawiyah

Biografi Imam al-Qusyairi: Tokoh Pertama Pelurus Penyimpangan Tasawuf

Sen, 12 Juli 2021 | 12:00 WIB

Biografi Imam al-Qusyairi: Tokoh Pertama Pelurus Penyimpangan Tasawuf

Imam Abul Qasim al-Qusyairi menekankan, seorang sufi harus berpijak pada aqidah dan syariat yang benar sebelum ia menyusuri jalan tasawuf.

Tokoh kita satu ini adalah Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin Thalhah bin Muhammad. Ia juga masyhur dijuluki dengan Abul Qasim al-Qusyairi. Bila dirunut, leluhurnya bersumber dari kabilah Qusyair dari dataran Hadramaut. Kabilah Qusyair adalah salah satu kabilah arab keturunan Rabi’ah bin ‘Amir bin Sha’sha’ah bin Hawazin. Bila dirunut lebih jauh lagi nasab Abul Qasim al-Qusyairi bertemu dengan Nabi Muhammad ﷺ dari kakek Nabi Muhammad yang bernama Adnan.

 

Leluhur Abul Qasim al-Qusyairi hijrah dari tanah Hadramaut menuju kota Naisabur pada kisaran akhir abad pertama Hijriah. Hal ini dikarenakan perluasan dinasti Umayyah yang sangat masif hingga dataran Khurasan di negara Irak.

 

Abul Qasim al-Qusyairi lahir pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 376 H di perkampungan Osto yang masih termasuk kawasan kota Naisabur. Keterangan ini merujuk pada kesaksian al-Khathib al-Baghdadi sebagaimana tertuang dalam karyanya, Tarikh Baghdad (Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 2008, 11: 83). Sejak kecil, Abul Qasim al-Qusyairi telah ditinggal wafat oleh ayahnya dan ia pun diasuh oleh seorang ulama sufi bernama Abu Qasim al-Yamani. Di usia remaja, Abul Qasim al-Qusyairi mengembara ke kota Naisabur. Di kota penuh ilmu inilah Abul Qasim al-Qusyairi bertemu dengan Abu Ali ad-Daqqaq, seorang tokoh sufi besar.

 

Rupanya Abu Ali ad-Daqqaq menaruh hati kepada sang murid. Kelak, sang sufi muda ini pun dinikahkan dengan seorang perempuan cantik jelita bernama Fathimah yang tak lain adalah putri dari Abu Ali ad-Daqqaq. Dari pernikahan yang pernuh berkah ini, Abul Qasim al-Qusyairi mendapatkan enam anak laki-laki dan satu anak perempuan.

 

Abul Qasim al-Qusyairi menemui banyak tokoh besar Islam di zamannya. Pada awalnya ia menimba ilmu tasawuf kepada Abu Ali ad-Daqqaq. Bila dirunut silsilah tasawuf Abul Qasim al-Qusyairi adalah Abul Qasim al-Qusyairi dari Abu Ali ad-Daqqaq dari Abu Qasim an-Nashrabadi dari Muhammad Asy-Syibli dari al-Junaid al-Baghdadi dari as-Sirri as-Saqati dari Ma’ruf al-Karkhi dari Dawud at-Tha’I (Lihat kitab Thabaqat al-Fuqaha’ asy-Syafi’iyyah karya Ibnu Shalah hal.525 vol.2 cetakan Muassasah ar-Risalah Kairo tahun 2012).

 

Kemudian setelah puas mengambil ilmu tasawuf, Abul Qasim al-Qusyairi mendalami ilmu tauhid dan ilmu ushul fiqh kepada Ibnu Faurok. Di masa itu, Ibnu Faurok adalah ulama terbesar yang tekun menyebarkan pemikiran Imam Abu Hasan al-Asy’ari. Tak heran bahwa Abul Qasim al-Qusyairi adalah seorang ulama sufi yang juga pembela madzhab Abu Hasan al-Asy’ari. Hal ini juga dibuktikan Abul Qasim al-Qusyairi dengan karyanyanya yang berjudul “Syikayah Ahli Sunnah bi Hikayati Ma Nalahum min al-Mihnah” di dalamya ia membela mati-matian pemikiran Ahlussunnah wal Jama’ah.

 

Setelah wafatnya Ibnu Faurok pada bulan Ramadan tahun 410 H maka Abul Qasim al-Qusyairi melanjutkan menimba ilmu tauhid kepada Abu Ishaq al-Isfiroini (W.418 H). Suatu ketika pernah Abul Qasim al-Qusyairi diuji oleh Abu Ishaq al-Isfiroini atas kefahamannya terhadap ilmu tauhid maka Abul Qasim al-Qusyairi pun dapat menjelaskan secara gamblang perbedaan pendapat diantara Ibnu Faurok dan Abu Ishaq al-Isfiroini dengan sangat jelas. Abu Ishaq al-Isfiroini pun mengatakan “Aku tidak menyangka engkau telah mencapai level yang sangat tinggi dalam ilmu tauhid, sekarang engkau tidak perlu lagi mengikuti kajianku, cukuplah engkau membaca seluruh karya-karyaku dan bila ada yang membuatmu ragu berdiskusilah denganku”. Kemudian, Abul Qasim al-Qusyairi pun menjadi semakin bersinar dalam ilmu tauhid setelah ia membandingkan pemikiran Ibnu Faurok dan Abu Ishaq al-Isfiroini dengan pemikiran al-Qadhi al-Baqillani yang ia kaji karya-karyanya. (kitab Quthuf min Basathin at-Tasawuf karya Dr. Muhammad Ahmad Salim hal.96 cetakan Maktabah Aiman Kairo 2018).

 

Selain itu, Imam Abul Qasim al-Qusyairi juga tercatat pernah menimba ilmu fiqh madzhab Syafi’I kepada al-Imam Abu Bakar at-Thusi di kota Naisabur. Sayangnya, perjalanan keilmuan Abul Qasim al-Qusyairi di kota Naisabur harus terhenti karena ia difitnah oleh seorang pejabat beraliran mu’tazilah bernama Manshur bin Muhammad al-Kandari. Abul Qasim al-Qusyairi pun diusir dari kota Naisabur hingga ia pun terpaksa menetap dan mengajar di kota Baghdad atas izin khalifah al-Qaim bi Amrillah. Kelak, Abul Qasim al-Qusyairi akan kembali lagi ke kota Naisabur ketika masa pemerintahan Alb Arselan sepulangnya dari haji ke Baitullah. Dan nantinya Abul Qasim al-Qusyairi wafat di kota Naisabur pada hari minggu tanggal 16 bulan Rabi’ al-Akhir tahun 465 H. Ia wafat dengan meninggalkan 31 buah karya dalam berbagai fan ilmu.

 

Meluruskan Ilmu Tasawuf

Pada masa Abul Qasim al-Qusyairi terdapat dua aliran besar tasawuf. Pertama, aliran mereka yang masih mengikuti jalan para ulama sufi terdahulu dalam berakhlak dan beradab sedangkan. Kedua, aliran mereka yang mengaku sebagai golongan sufi tetapi mengingkari ajaran syariat dan mereka telah melakukan kesesatan dalam bertasawuf.

 

Menyikapi hal ini rupanya Abul Qasim al-Qusyairi tidak tinggal diam. Ia pun menulis sebuah karya monumental berjudul “Risalah Qusyairiyyah”. Dengan kitab ini ia menegaskan bahwa tasawuf dan syariat haruslah berjalan beriringan, tidak boleh saling bertolak belakang. Tak ayal, Abul Qasim al-Qusyairi adalah tokoh sufi yang paling awal meluruskan ajaran tasawuf dari jurang kesesatan. Bahkan, Abul Qasim al-Qusyairi dengan karya “Risalah Qusyairiyyah” lebih dulu hadir sebelum Imam Muhammad al-Ghazali yang lahir tahun 450 H dengan karya “Ihya Ulumiddin”.

 

Ia menekankan bahwa seorang sufi harus berpijak pada aqidah yang benar sebelum ia menyusuri jalan tasawuf. Dalam kitab Risalah Qusyairiyyah, ia menukil pendapat Abu Ali ad-Daqqaq, “Wajib bagi seorang sufi pada permulaannya untuk mengikuti aqidah yang benar yang jauh dari keraguan, kesamaran, dan kesesatan. Ia juga harus berpegang teguh pada ilmu yang berdasarkan argumentasi akal dan dalil yang kuat.”

 

Abul Qasim al-Qusyairi juga berpendapat bahwa seorang sufi hanya mampu mendekat kepada Allah dengan aqidah yang benar dan sepenuhnya mengikuti syariat Islam. Dalam kitab Lathaif al-Isyarat, ia berpendapat, “Hakikat iman adalah membenarkan (at-tashdiq) kemudian mengukuhkan (at-tahqiq) dan hal ini hanya bisa dicapai dengan pertolongan Allah (at-taufiq), membenarkan dengan akal, serta mengukuhkan dengan jerih payah beribadah. Maka yang dinamakan orang beriman adalah mereka yang benar aqidahnya kemudian mereka sungguh-sungguh dalam jerih payahnya beribadah kepada Allah”.

 

Dalam bertasawuf, Abul Qasim al-Qusyairi mewasiatkan empat nilai penting sebagaimana yang ia jelaskan dalam kitab Risalah Qusyairiyyah yaitu kewajiban memegang teguh syariat dan menjaga adab dalam menjalankan syariat, kewajiban beradab terhadap guru spiritual, kewajiban mengikuti ajaran aqidah yang benar, dan kewajiban memerangi hawa nafsu.

 

Muhammad Tholhah al Fayyadl, Mahasiswa jurusan Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir, alumnus Pondok Pesantren Lirboyo