Sirah Nabawiyah

Bukti Kelembutan Dakwah Nabi Muhammad

Rab, 10 November 2021 | 01:30 WIB

Bukti Kelembutan Dakwah Nabi Muhammad

Ilustrasi Nabi Muhammad. (Foto: NU Online)

Liku perjalanan dakwah Islam pada masa Rasulullah saw diwarnai dengan peperangan. Para sejarawan mencatat setidaknya 64 peperangan terjadi saat itu. Dari semua peperangan, 26 di antaranya Rasulullah terlibat langsung di medan perang, sementara 38 yang lain Rasulullah mengutus sahabat untuk menjadi panglima perang. Peperangan yang melibatakan Rasulullah langsung dinamakan ghazwah, sementara yang beliau tidak terlibat langsung dinamakan sariyyah.


Dari jumlah peperangan sebanyak itu, apakah lantas bisa kita simpulkan bahwa Islam adalah agama pedang dengan konotasi kekerasan, pembantaian, dan sederet stigma ekstrem lainnya? Apakah perang-perang tersebut menginterpretasikan Islam sebagai agama yang demikian? 


Pada zaman dahulu, perang digunakan sebagai instrumen dakwah Islam. Artinya, jika memang perang ditafsiri sebagai ekspresi kekerasan, berarti dakwah Islam saat itu diwarnai penuh ekstremisme. Dengan kesimpulan seperti ini, berarti Islam adalah agama yang kejam, bukan ramah sebagaimana sering didengungkan. Benarkah demikian?


Dakwah fase Makkah

Sebelum kita melihat realitas peperangan pada zaman Rasulullah, ada baiknya kita tengok jauh sebelum syariat perang itu ditetapkan, yaitu pada fase dakwah di Makkah yang terhitung selama 13 tahun. Salah satu ciri dakwah periode Makkah adalah umat Islam banyak mengalami tekanan, penindasan, bahkan tidak jarang pembunuhan oleh orang-orang kafir Quraisy.


Selain tentunya Rasululllah sendiri yang mengalami penindasan, banyak pula sahabat yang demi mempertahankan keimanannya, harus menerima siksaan bahkan pembunuhan. Sekadar mengambil contoh, Al-Mubarakfuri dalam Rahiq al-Makhtum mengisahkan keluarga Ammar bin Yasir yang mengalami penyiksaan sangat mengerikan. Di tengah panasnya kota Makkah, mereka diseret, dihamparkan di atas debu kota Makkah yang kemungkinan membuat kulit mereka melepuh saking panasnya.


Ayah Ammar, yaitu Yasir, tewas dalam penyiksaan itu. Disusul ibunya, Sumayyah, yang juga meregang nyawa setalah kemaluannya ditusuk dengan tombak oleh Abu Jahal. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.


Dengan nasib yang tidak kalah tragis, Khabbab bin al-Arat, seorang budak milik Ummi Anmar binti Siba’ al-Khuza’iyyah dilempar ke kobaran api yang masih menyala-nyala. Tubuhnya terbakar hingga api padam karena terbasahi oleh cairan lemak yang meleleh dari tubuhnya. Masih banyak kisah penindasan lain yang tidak kalah tradgis. Tapi sama sekali tidak ada perlawanan dari umat Muslim. Rasulullah tidak mengajarkan balas dendam dan memilih untuk tetap sabar.

 

Terkait kapan Islam mulai diperintahkan untuk mendeklarasikan perang sebagai instrumen dakwah, para sejarawan sepakat bahwa perang mulai disyariatkan segera setelah Rasulullah hijrah di kota Madinah pada 622 M. Syariat perang itu berdasrkan wahyu dari Allah swt. sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Hajj ayat 39.


Syariat perang ini mulai ditetapkan sekitar 14 tahun setelah turunnya wahyu pertama di Gua Hira. Hal penting yang kita catat adalah, syariat ini bukan menjadi kewajiban, tetapi sebatas boleh. Artinya, sebelum ayat ini turun, umat Islam tidak boleh memerangi orang Kafir, kendati banyak kejahatan yang telah diperbuat oleh orang-orang kafir itu. 


Turunnya ayat ini juga bukan tanpa sebab, melainkan sebagai respons atas kekejaman kafir Quraisy yang sudah melewati batas. Umat Muslim boleh memerangi lawan hanya sebagai bentuk bertahan dari serangan lawan, bukan untuk memulai. Dr. Abdul ‘Adzim dalam Samâḫatul Islâm menjelaskan bahwa tujuan adanya syari’at perang ini supaya umat Islam bisa menghentikan kezaliman dari orang Quraisy, menjaga martabat umat Muslim, dan menegakkan pilar-pilar agama. 


Dengan hijrahnya umat Muslim ke Madinah, ditambah mendapat izin untuk berperang, umat Muslim mengirimkan beberapa brigade dan pasukan kecil untuk memerangi wilayah-wilayah tertentu dalam misi dakwah. Tapi penting di catat, dari semua perang itu, tidak ada satu pun yang sampai terjadi pertumpahan darah. Pasukan yang dikirim umat Muslim sebatas untuk menggertak lawan. 


Sejarawan Al-Mubarakfuri dalam Rahiqul Makhtum menyebutkan perang-perang tersebut, yaitu Brigade Saiful Bahr, Brigade Rabigh, Brigade Kharrar, Pertempuran Al-Abwa, Pertempuran Buwath, Ghazwah Safwan, Pertempuran Dzul-Usyairah, dan Brigade Nakhlah. Dari seluruh pangiriman pasukan itu, tidak terjadi konflik berdarah dengan musuh kecuali satu, yaitu Brigade Nakhlah. 


Pada Brigade Nakhlah sempat terjadi pertumpahan darah dengan terbunuhnya satu orang kafir dan dua orang menjadi tawanan perang. Itu pun mendapat teguran dari Rasulullah. Begitu Rasulullah mengetahuinya, ia marah. Dua tawanan pun dilepaskan dan satu orang yang terbunuh itu ditebus dengan cara membayar diyat (uang denda yag diserahkan kepada wali korban).


Pada bulan Sya’ban tahun kedua hijriyah, tepat sebelum terjadinya perang Badar Kubra, turun wahyu yang menginstruksikan wajib berperang. Wahyu itu berupa firman Allah swt dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 190. Hal yang menginisiasi hukum wajib di sini adalah karena kondisi umat Muslim sudah sangat terdesak dan benar-benar semakin masifnya intimidasi yang dilakukan oleh kafir Quraisy. Jika umat Muslim belum melakukan perlawanan serius, habis sudah umat Rasulullah.


Kalau kita amati dengan seksama, syariat perang tidak langsung wajib, tapi sebatas boleh dulu. Sebenarnya ada hikmah agung di sini. Awal-awal syariat perang, tentu secara mental, militer, dan kekuatan Muslim belum sepenuhnya siap untuk benar-benar melawan kekuatan besar kafir Quraisy. Oleh karena itu, pertama syariat perang sebatas boleh. Hal ini sangaja supaya pasukan Muslim kokoh terlebih dulu dan benar-benar siap. Setelah betul-betul matang, baru turun wahyu perintah wajib beperang.


Kendati perang sudah wajib, bukan berarti menjadi momen bagi umat Islam untuk membabi buta memerangi orang kafir seperti orang balas dendam. Sedikit pun Rasulullah tidak mengajarkan umatnya untuk balas dendam. Seperti saat mengajak orang kafir masuk Islam, hal pertama yang dilakukan adalah membujuknya masuk Islam. Jika tidak mau, Rasulullah akan membiarkannya, tidak menyiksanya. Rasulullah percaya, siksa itu urusan Allah di akhirat. Tugas ia sebagai rasul hanya menyampaikan ajaran Islam sesuai perintah Tuhannya.


Dalam berperang, umat Islam juga harus mematuhi rambu-rambu ketat yang diberlakukan selama perang. Seperti tidak merusak tumbuh-tumbuhan di medan perang, tidak boleh membunuh orang lemah, anak kecil, dan perempuan; dan murni untuk menegakkan agama Allah.


Jika umat Islam melanggar aturan-aturan di atas, justru bisa mengakibatkan kekalahan pada pasukan Muslim sendiri. Seperti peristiwa memilukan dalam perang Uhud. Dalam sejarah perang Uhud, umat Muslim hampir saja memenangkan perang. Tapi karena pasukan pemanah tergiur harta rampasan, malah sebaliknya yang terjadi. Pasukan Muslim kalah, bahkan Rasulullah sendiri terluka sampai giginya patah. Ini semua akibat beberapa gelintir pasukan yang tidak bisa menjaga niat murni karena Allah.


Demikianlah kilas sejarah perang pada zaman Rasulullah. Sekarang kita bisa melihat, peperangan hanya sebatas media dakwah pada saat itu yang kebetulan kondisi umat Islam sangat terdesak. Perang menjadi jalan satu-satunya untuk mempertahankan akidah. Itu pun tetap dengan aturan-aturan yang mencerminkan kerahmatan Islam. Dalam kondisi perang saja, Islam tetap lekat dengan cinta dan kasihnya. Islam rahmatan lil ‘alamin adalah harga mati.


Muhammad Abror, pengasuh Madrasah Baca Kitab, alumnus Pesantren KHAS Kempek-Cirebon dan Ma’had Aly Saidusshiddiqiyah Jakarta