Sirah Nabawiyah

Hakikat Cinta Nabi Perspektif Imam Qadhi Iyadh

Kam, 6 Oktober 2022 | 20:00 WIB

Hakikat Cinta Nabi Perspektif Imam Qadhi Iyadh

Hakikat mencintai Nabi Muhammad saw.

Banyak ulama menyebutkan pengertian mahabbah atau cinta Nabi Muhammad saw, namun tidak ada kata sepakat dalam satu pengertian. Di antara beberapa pengertian cinta Nabi disampakkan oleh Qadhi Iyadh (wafat 544 H) dalam kitabnya as-Syifa Bihuquqil Musthafa sebagai berikut:
 

Pertama pengertian yang disampaikan oleh Sufyan at-Tsauri sebagai berikut:
 

المَحَبَّةُ اتّبَاعُ الرسول صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَأنَّهُ التَفَتَ إِلَى قَوْلِهِ تَعَالَى (قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فاتبعوني) الآية
 

Artinya, "Mahabbah atau cinta Nabi saw adalah mengikuti Rasulullah saw. Seakan-akan Sufyan at-Tsauri memperhatikan firman-Nya yang artinya: Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku.(Ali Imran 3:31)".
 

Qadhi Iyadh juga menyampaikan beberapa pengertian cinta Nabi saw yang disampaikan oleh ulama lainya. cinta Nabi saw adalah (1) meyakini pertolongannya, menolong dan tunduk pada kesunahan-kesunahannya sekaligus segan menyelisihinya; (2) selalu mengingat hal yang dicintainya; (3) mendahulukan atau memprioritaskan hal yang dicintainya; dan (4) kecenderungan hati pada hal yang sesuai dengan yang dicintai.
 

Demikian itu adalah beberapa pengertian cinta Nabi saw. Menurut Qadhi Iyadh, perbedaan pendapat dalam menjelaskan mahabbah atau cinta Nabi dengan beragam frasa tidak merujuk pada substansi mahabbah, melainkan hanya pada hal ihwal atau keadaannya saja. Sederhananya menurut Qadhi Iyadh, berbagai pengertian mahabbah di atas hanya mengisyaratkan pada faedah mahabbah, bukan pada hakikat mahabbah itu sendiri.
 

Adapun hakikat mahabbah menurut Qadhi Iyadh adalah kecenderungan hati pada hal yang diamini oleh manusia. Persetujuannya itu adakalanya (1)  karena ia dapati kenikmatan, seperti mencintai bentuk atau gambar-gambar indah, suara-suara bagus, makanan, dan minuman yang lezat dan yang semisalnya, dimana tabiat normal manusia akan condong pada hal-hal tersebut, karena adanya persesuaian dengannya; atau (2) rasa nikmat yang ditemukan lewat perasaan akal dan hati pada makna-makna batin yang mulia, semisal mencintai orang-orang saleh, ulama dan orang-orang yang sudah turun-temurun dikenal dengan perilakunya yang bagus, karena watak manusia akan cenderung mencintai orang-orang tersebut sampai-sampai bisa menimbulkan fanatisme kepada mereka; atau (3) kecintaan pada sesuatu karena kecocokan padanya oleh sebab kebaikan yang ia terima, karena watak asli manusia akan mencintai orang yang berbuat baik kepadanya.
 

Dari penjelasan di atas dapat ditarik benang merah, bahwa mahabbah atau memcintai pada umumnya karena adanya tiga sebab yakni: (1) Adanya persesuaian dan kecocokan dengan dirinya semisal perkara-perkara yang indah, makanan atau minuman yang lezat dan lain sebagainya; (2) persesuainya dengan akal dan hati pada sesuatu yang mulia yang bersifat batiniyah semisal mencintai ulama, orang-orang saleh dan orang-orang yang mempunyai tingkah dan perilaku yang baik; dan (3) perilaku kebaikan orang lain yang diterima dan dirasakan.
 

Jika diperhatikan, tiga sebab di atas seluruhnya ada pada diri Nabi Muhammad saw yang harusnya menjadi sebabkan mahabbah kepadanya, keelokan paras Nabi saw dan kesempurnaan akhlaknya tidak diragukan lagi, banyak riwayat yang telah menceritakannya. Kebaikannya kepada umatnya juga tidak ada celah untuk meragukannya lagi. Bahkan Allah sendiri menyifati Nabi Muhammad saw dengan sifat belas kasih, pemberi petunjuk, kasih sayang kepada umat, menyelamatkan umat dari neraka, dan menjadi rahmah bagi alam semesta.
 

Dengan demikian, lantas kebaikan apa yang dapat melebihi kebaikan Nabi saw kepada seluruh umatnya? Kebaikan apa yang manfaatnya lebih luas dan faedahnya lebih banyak ketimbang kebaikan Nabi Muhammad saw kepada umatnya?
 

Nabi Muhammad saw adalah wasilah bagi manusia untuk menetapi hidayah, menyelamatkan dari kebutaan dan kebodohan, mengajak menuju keberuntungan dan kemuliaan.  Nabi Muhammad saw menjadi wasilah bagi umatnya untuk mengenal Allah, pemberi syafaat kepada umat dan kelak akan menjadi saksi untuknya. Semua hal itu akan mengantarkan umat pada kehidupan yang penuh kenikmatan lagi kekal. Demikian itu menjadikan Nabi Muhammad berhak mendapatkan mahabbah atau cinta yang hakikki.
 

Jika seseorang mencintai orang lain yang telah berbuat baik kepadanya dengan memberinya satu dua kali hal dalam urusan dunia, atau menyelamatkannnya dari kerusakan atau madharat saat ia mengalami penderitaan, hal itu merupakan urusan sepele yang nantinya akan ada waktu kesudahannya, maka seseorang yang memberinya nikmat yang tidak akan pernah sirna, serta yang telah menyelamatkanya dari neraka, akan lebih utama untuk dicintainya.
 

Jika orang mencintai seorang raja atau seorang hakim karena pengaruhnya, hingga ia dapat menapaki jalan yang lurus, maka Nabi Muhammad saw yang dalam dirinya terkumpul berbagai kemuliaan seperti di atas lebih berhak untuk dicintai. 
 

Mengukuhkan penjelasan ini, di mana Nabi Muhammad saw dapat membuat siapa saja yang melihat dan berada di sekelilingnya akan merasa segan dan langsung mencintainya, Sayyidina Ali berkata:
 

من رَآهُ بَدِيهَةً هَابَهُ وَمنْ خَالَطَهُ مَعْرِفَةً أحَبَّهُ
 

Artinya, "Siapa saja yang memandang wajahnya seketika pasti merasa segan kepadanya, dan siapa saja yang mengenal dekat dengannya pasti timbul rasa cinta kepadanya.”
 

Dijelaskan pula oleh sebagian sahabat bahwa mereka tidak memalingkan pandangannya dari Nabi Muhammad saw karena kecintaan kepadanya. Demikian penjelasan Qadhi Iyadh tentang hakikat cinta Nabi. Semoga semakin menambah kecintaan kita kepadanya. Wallahu 'alam. Al-Qadhi Abul Fadhl Iyadh bin Musa bin Iyadh la-Yahshabi al-Andalusi as-Sabti,  As-Syifa bi Ta'rifi Huquqil Mushtafa, [Oman, Darul Faiha': 1407 H], juz II, halaman 66- 70.

 

Ustadz Muhammad Hanif Rahman, Dosen Ma'had Aly Al-Iman Bulus dan Pengurus LBM NU Purworejo