Sirah Nabawiyah

Kisah Kepedihan Bani Hasyim dan Bani Muthalib saat Diboikot Kafir Quraisy

Kam, 17 Juni 2021 | 12:15 WIB

Kisah Kepedihan Bani Hasyim dan Bani Muthalib saat Diboikot Kafir Quraisy

Ilustrasi Kota Makkah zaman dulu. (Foto: Pinterest)

Berbagai upaya sudah ditempuh kaum musyrikin untuk menghalangi dakwah Rasulullah. Bahkan, mereka pernah bersekongkol untuk membunuhnya. Tapi semua itu selalu gagal. Di belakang Rasulullah ada Bani Hasyim dan Bani Muthalib yang membela mati-matian, apapun risikonya. Akhirnya, sampailah puncak kepanikan kaum musyrikin.


Puncak kegeraman orang Qurasiy itu berujung pada upaya untuk memakzulkan Rasulullah, berikut para pengikutnya, dan semua dari kalangan Bani Hasyim dan Bani Muthalib yang melindunginya. Orang Quraisy membuat kebijakan sepihak agar para pembela Rasulullah dirugikan.


Kebijakan ‘curang’ itu berisi tentang larangan menikahi kedua suku Bani Hasyim dan Bani Muthalib, melakukan transaksi dengan mereka, membuka jalan nafkah untuk mereka, berdamai dengan mereka, dan membantu mereka, sampai pihak Bani Muthalib bersedia menyerahkan Rasululllah saw untuk dibunuh.


Kebijakan-kebijakan kejam itu mereka tulis di atas sebuah shahifah (lembaran) yang berisi perjanjian dan sumpah, “Bahwa mereka selamanya tidak akan menerima perdamaian dari Bani Hasyim dan tidak akan berbelas kasihan terhadap mereka, kecuali jika mereka bersedia menyerahkannya (Rasulullah saw, pent.) untuk dibunuh.” (lihat Al-Mubarakfuri, Rahiq al-Makhtum, hal. 106)


Perjanjian itu dilaksanakan dan digantungkan di dalam Ka’bah. Bani Hasyim dan Bani Muthalib, baik yang sudah beriman atau yang masih kafir, tetap bersikukuh untuk membela Rasulullah saw. Mereka pun terisolasi di celah bukit milik Abu Thalib pada malam pertama bulan Muharram tahun ke-7 kenabian, ada pula yang menyebutkan selain tanggal tersebut (lihat Al-Mubarakfuri, Rahiq al-Makhtum, hal. 106)


Orang-orang yang sudah beriman dikucilkan di bukit itu lantaran keyakinan yang mereka anut. Sementara mereka yang belum beriman dan tetap mendapat pengucilan itu karena dianggap melindungi Rasulullah. Artinya, seluruh anggota Bani Hasyim dan Bani Muthalib diboikot, kecuali hanya satu orang, Abu Lahab.


Pemboikotan itu berlangsung selama tiga tahun. Dari bulan Muharram tahun ke-7 kenabian sampai bulan Muharram tahun ke-10 kenabian. Selama tiga tahun itu, Bani Hasyim dan Bani Muthallib sangat menderita. Tidak ada makanan yang bisa mereka makan. Bahkan, sampai mereka terpaksa memakan dedaunan dan kulit-kulit. Tidak hanya itu, jeritan kaum wanita dan bayi-bayi mengerang di balik kelaparan yang mencekam.


Setiap ada sahabat Rasulullah saw datang untuk membeli makanan dari kafilah yang datang ke Makkah, Abu Lahab berseru pada kafilah itu agar melipatgandakan harganya, sehingga sahabat tadi tidak mampu membelinya. “Wahai pedagang, naikkan harga kalian untuk para sahabat Muhammad, supaya mereka tidak dapat membeli apapun!” Seru Abu Lahab. (lihat Al-Buthi, Fiqh al-Sirah, hal. 86)


Setelah tiga tahun dalam masa pemboikotan. Tindakan itu dikecam oleh beberapa orang dari kalangan Bani Qushay. Mereka bersepakat untuk membatalkan perjanjian itu. Sementara di waktu yang bersamaan, Allah telah mengutus pasukan rayap untuk memakan lembar perjanjian yang digantungkan di Ka’bah. (lihat Al-Buthi, Fiqh al-Sirah, hal. 86)


Allah memberitahu kepada Rasulullah bahwa kini lembaran berisi perjanjian itu telah dimakan rayap. Akhirnya, Nabi memberitahukan kabar itu pada pamannya, Abu Thalib. Lantas, Abu Thalib menghampiri orang Quraisy dan menyampaikan apa yang baru saja didengar dari ponakannya. Abu Thalib kemudian menuntut mereka untuk membukanya.


Singkat cerita, orang Quraisy menyetujui permintaan Abu Thalib. Mereka menurunkan lembaran dari Ka’bah dan perlahan membuka lembaran yang masih tergulung itu. Semua mata tertuju. Benar saja, setelah dibuka, lembaran itu telah rusak dimakan rayap dan hanya menyisakan lafal Allah. Namun, orang Quraisy mengelak, dan menganggap itu hanya sihir Muhammad saja. “Ah, ini semua adalah sihir keponakanmu itu.” Kekufuran mereka semakin menjadi. (lihat Al-Buthi, Fiqh al-Sirah, hal. 87)


Tidak lama kemudian, lima pemuka Quraisy tampil untuk mencabut embargo yang telah mereka lakukan. Kelima orang itu adalah Hisyam bin Amr bin Harits, Zuhair bin Umayyah, Muth’im bin ‘Adi, Abul Bakhtari bin Hisyam, dan Zam’ah bin Aswad.


Dari kelima orang itu, yang pertama kali maju secara terang-terangan untuk mencabut embargo adalah Zuhair bin Umayyah. Disusul keempat tokoh yang lain. Muth’im bin ‘Adi kemduian merobek lembar perjanjian itu. Berikutnya, kelima orang tadi menemui Bani Hasyim, Bani Muthalib, dan orang-orang yang diboikot di Syi’b Bani Muthalib. Mereka pun bebas dan kembali ke rumah masing-masing.


Hikmah dan Pelajaran


Meneladani Ketabahan Rasulullah


Orang-orang yang beriman dan memilih untuk membela Rasulullah hingga merasakan penderitaan itu, sesungguhnya mereka telah berhasil meneladani kepribadian Rasulullah saw. Ketabahan mereka untuk membantu satu sama lain adalah karena Allah. Tidak peduli mereka menderita di dunia, asalkan tetap berada di jalan yang benar dan mendapat ridha Allah swt. (lihat Al-Buthi, Fiqh al-Sirah, hal. 87)


Lalu bagaimana dengan mereka yang tidak beriman tetapi tetap membela Rasulullah? Untuk mereka yang tidak beriman dan tetap membela Rasulullah, sikap mereka merupakan budaya yang sudah terbentuk sejak zaman jahiliyyah (al-hamiyyah al-jahiliyyah). Sebuah sikap pembelaan setia (fanatisme) untuk membela golongan sendiri, tidak peduli yang dibela itu berada dalam jalan yang benar atau salah. Jadi, perlindungan mereka bukan karena misi kerasulan, tapi karena hubungan kekerabatan. (lihat Al-Buthi, Fiqh al-Sirah, hal. 88)


Masuk Islam Bukan Karena Tujuan Duniawi


Pembelaan orang-orang Muslim terhadap Rasulullah sampai harus merasakan kelaparan, kemiskinan, segala bentuk penderitaan lainnya, merupakan bukti bahwa tujuan masuk Islam mereka bukan karena alasan ekonomi. Bahkan, dalam peristiwa hijrah, banyak para sahabat yang meninggalkan seluruh harta yang mereka miliki. Setelah hijrah itu, tidak sedikit para sahabat konglomerat yang tiba-tiba menjadi miskin papa.


Menurut Syekh Said Ramadhan al-Buthi (w. 2013 M), fakta di atas menjadi bukti atas niat orang-orang yang masuk Islam memang murni karena Allah. Bukan tujuan duniawi. Persoalan nasib ekonomi mereka membaik setelah masuk Islam dibanding sebelum masuk Islam, itu adalah kehendak Allah. Bukan menjadi motif mereka masuk Islam.


Pasalnya, pada masa-masa awal dakwah di Makkah, mereka yang memeluk Islam banyak dari kalangan fakir miskin, budak, dan orang-orang lemah. Setelah mereka masuk Islam, Allah mengangkat nasib ekonomi mereka dan hidup berkecukupan. Begitu pun setelah Islam berhasil menaklukkan beberapa wilayah, kehidupan para sahabat menjadi lebih mapan.


Tapi, sekali lagi, fakta ini tidak menunjukkan watak hedonisme mereka, yang mau masuk Islam demi kepentingan dunia. (lihat Al-Buthi, Fiqh al-Sirah, hal. 90)


Muhamad Abror, Pengasuh Madrasah Baca Kitab, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon, Mahasantri Ma'had Aly Saidusshiddiqiyah Jakarta