Sirah Nabawiyah

Keteladanan Mu'adz bin Jabal dalam Berdakwah

Jumat, 7 Februari 2025 | 13:00 WIB

Keteladanan Mu'adz bin Jabal dalam Berdakwah

Ilustrasi padang pasir. Sumber: Canva/NU Online

Ketika kita membaca biografi para sahabat, maka kita akan menemukan lautan keteladanan yang tidak pernah habis memberikan kita hikmah hidup dan perjuangan dalam Islam. Termasuk dalam berdakwah, para sahabat merupakan teladan terbaik dalam mendakwahkan Islam hingga tersebar ke seluruh penjuru dunia. 


Salah satu sahabat yang terkenal sebagai da’i utusan Rasulullah SAW adalah sahabat Mu’adz bin Jabal, da’i yang diutus langsung oleh Rasulullah saw ke negeri Yaman, serta pelopor ijtihad dalam memutuskan perkara yang tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan hadits.   


Imam Adz-Dzahabi menyebutkan bahwa nama lengkap beliau  Mu'adz bin Jabal bin 'Amr bin 'Aws bin 'A'adz bin 'Adi bin Ka'ab Al-Khazraji dengan nama kunyahnya Abu Abdirrahman. Ketika masuk Islam, usianya mencapai 18 tahun dengan paras tampan, perawakan kekar, postur tubuh tinggi dan kulit putih bersih (Siyar A’lamin Nubala, [Beirut: Muassasah Ar-Risalah, Cetakan ketiga, 1985 M/1985 M], jilid I, hlm. 443). 


Mu’adz bin Jabal menyaksikan Aqabah bersama tujuh puluh orang Anshar. Ketika Mu'adz bin Jabal masuk Islam, dia menghancurkan berhala-berhala Bani Salamah, bersama Tsa’labah bin ‘Anmah dan Abdullah bin Unais. Ketika Rasulullah saw bersama sahabat-sahabat muhajirin berhijrah ke madinah, Mu’adz bin Jabal dipersaudarakan dengan Ja’far bin Abi Thalib, sepupu Rasulullah saw yang saat itu masih belum pulang dari hijrahnya dari Habasyah.


Imam al-Mizzi menyebutkan bahwa Mu’adz bin Jabal merupakan salah satu dari 313 ahli badar, dimana beliau ikut dalam pasukan badar saat usianya meginjak 20 tahun. Setelah kemenangan di Badar, Mu’adz senantiasa mengikuti peperangan yang diikuti Rasulullah (Tahdzibul Kamal Fi Asmair Rijal, (Beirut: Muassasatur Risalah, Cetakan Pertama 1992 M], jilid XXVIII, hlm. 107).


Mu’adz adalah salah satu dari sekian banyak sahabat yang dikaruniai kecerdasan yang luar biasa. Beliau tercatat sebagai salah satu perawi hadits dengan hadits yang berliau riwayatkan berjumlah 157 hadits.  Beliau dipuji oleh Rasulullah saw sebagai orang yang paling mengetahui halal dan haram dari kalangan umat islam. Serta menjadi salah satu dari 4 sahabat ahli Al-Quran yang direkomendasikan Rasulullah bersama Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab dan Salim Maula Abi Huzaifah (Siyar A’lamin Nubala, jilid I, hlm. 445).


Salah satu keistimewaan beliau adalah ketika Rasulullah saw mengutusnya ke negeri Yaman untuk mengajarkan Islam di sana. Beliau lah yang pertama kali ditanya Rasulullah saw mengenai ijtihad seorang da’i jika menemukan masalah yang tidak beliau temukan dalam al-Quran dan Hadits. 


Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits, bahwa Mu’adz bin Jabal berkata, “Ketika Rasulullah saw mengutusku ke Yaman, beliau bersabda, 'Apa yang engkau putuskan jika ada perkara yang datang kepadamu?' Aku menjawab: 'Aku akan membuat keputusan berdasarkan Kitabullah (Al-Qur’an).' Rasul bertanya lagi, 'Jika engkau tidak menemukan keputusan di al-Qur’an?' Aku menjawab: 'Jika tidak ada di dalam Kitab Allah, Aku akan memutuskan dengan apa yang telah diputuskan oleh Rasulullah.' Beliau bersabda, 'Jika tidak ada di dalam apa diputuskan oleh Rasulullah?' Aku menjawab: 'Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam ijtihad).' Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz dan berkata: 'Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa yang diridhai Rasulullah'.” (Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, [Beirut: Muassasatur Risalah, 2001], jilid XXXVI, hlm. 333).

 
Dari hadits ini, kita bisa menyimpulkan bahwa salah satu tugas seorang da’i adalah memutuskan berbagai masalah sosial keagamaan dengan ijtihad setelah Al-Qur’an dan hadits. Percakapan Mu’adz dan Rasulullah SAW ini juga menunjukan kecerdasan Mu’adz dan kepercayaan Rasulullah SAW kepadanya. Dengan kecerdasan dan kebijaksanaan Mu’adz bin Jabal dalam berdakwah, masyarakat Yaman kemudian berbondong-bondong memeluk agama Islam.


Setelah Rasulullah saw wafat, Mu’adz tidak hanya menjadi da’i di wilayah Yaman, melainkan menyebarkan Islam ke berbagai wilayah yang baru ditaklukkan Islam, khususnya di daerah Syam. Di akhir masa hidupnya, Mu’adz bin Jabal diangkat oleh Umar bin Khattab sebagai Gubernur di Syam pasca wafatnya Abu Ubaidah bin al-Jarrah yang terkena wabah Tha’un Amwas. Mu’adz bin Jabal kemudian wafat pada tahun 18 hijriah karena terserang wabah yang sama dalam usia sekitar 34 tahun (Siyar A’lamin Nubala, jilid I, hlm. 461).

 
Semoga keteladanan dan kecerdasan Mu’adz bin Jabal dalam keseharian serta dakwahnya bisa dicontoh oleh umat Islam pada masa sekarang, terlebih para da’i dan tokoh umat Islam. Amiin.


Muhamad Iqbal Akmaludin, Alumni Darus-Sunnah International Institute For Hadith Sciences dan UIN Jakarta