Sirah Nabawiyah

Kisah Khalifah Umar bin Khattab Memecat Panglima Perangnya

Sel, 29 November 2022 | 14:00 WIB

Kisah Khalifah Umar bin Khattab Memecat Panglima Perangnya

Ilustrasi Umar bin Khattab. (Foto: NU Online)

Tidak ada yang meragukan kecerdasan sahabat Nabi Muhammad, Khalid bin Walid bin Mughirah dari Bani Makhzum dalam strategi melakukan penaklukkan sebuah wilayah.


Ketika Sayyidina Umar bin Khattab menjadi khalifah, ia mendaulat Khalid bin Walid sebagai Panglima. Amanah yang juga dipegang Khalid saat kepemimpinan Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Khalid bin Walid bin Mughirah berasal dari Bani Makhzum. Ia dikenal cerdas dalam hal strategi di medan perang.


Kala itu Khalid mendapat tugas yang amat berat dari Khalifah Umar, yaitu menaklukkan kekuasaan Persia. Imperium besar yang dalam sejarahnya pernah menaklukkan Kerajaan Romawi ini mampu ditaklukkan Khalid di bawah perintah Umar bin Khattab.


Keberhasilan menaklukkan Persia disambut pesta gemilang oleh seluruh pasukan. Namun, tidak demikian dengan Khalifah Umar. Dia membuat kaum muslimin terhenyak ketika tiba-tiba memecat Panglima Khalid. Umar merupakan satu-satunya kepala negara yang berani mengambil keputusan memecat Panglimanya yang hebat.


KH Saifuddin Zuhri dalam memoarnya, Berangkat dari Pesantren (2013: 688) mengungkapkan, Khalifah Umar memecat Khalid bin Walid lantaran khawatir melihat gejala didewa-dewakannya Khalid oleh rakyat. Sang Khalifah juga memikirkan kepentingan pribadi Khalid. Karena gejala tersebut bisa merusak moral dan mental Khalid sendiri sebagai manusia yang bisa lupa daratan.


Menerima kenyataan dipecat dari jabatan Panglima tidak membuat Khalid berang maupun marah, justru ia ikhlas karena Khalifah Umar justru lebih memahami itu. Khalid pun tetap setia mendampingi Khalifah Umar.


Khalifah Umar memang dikenal dengan ketegasannya. Tetapi di balik kharisma kepemimpinannya, ia merupakan sosok yang sangat sederhana. Maulana Jalaluddin Rumi dalam Al-Matsnawi, mengisahkan, bahwa pada suatu ketika seorang penasihat kekaisaran Byzantium dari Constantinople datang untuk menghadap khalifah Umar bin Khattab di Madinah. 


Penasihat itu adalah seorang filsuf, cendikiawan, dan negarawan terkemuka. Setelah memasuki Madinah, utusan dari Byzantium itu merasa heran karena tidak melihat adanya istana kekhalifahan. Ia lalu bertanya kepada salah seorang penduduk Madinah.


“Dimanakah istana raja kalian?”tanya sang utusan. Orang yang ditanya oleh ksatria Byzantium itu hanya tersenyum, dan dijawabnya: “Raja kami tidak memiliki istana megah, karena istana termegahnya adalah hati dan ruhnya sendiri yang senantiasa diterangi oleh cahaya takwa.”


Utusan kekaisaran Byzantium itu merasa heran. Ia lalu kembali bertanya. “Lalu dimanakah raja kalian yang namanya kini tersohor itu, penakluk dua benua, penakluk dua imperium, Persia dan Byzantium itu?” tanya sang utusan.


“Tidakkah tadi engkau sadar, di bawah pohon kurma yang baru saja kau lewati itu, seorang lelaki tengah memandikan dan memberikan makan kepada seekor unta?” kata seorang penduduk Madinah.


“Mengapa memang?” tanya sang utusan semakin penasaran.


“Itulah sang khalifah dambaan kami, Umar ibn Khaththab. Ia tengah memberi makan dan memandikan unta milik baitul mal, milik anak-anak yatim, dan para janda.”


Utusan itu kemudian tergetar. Ia benar-benar telah melihat sesosok raja besar yang sangat bersahaja. 


“Beritahu aku lebih jauh lagi perihal orang mulia itu,” kata sang utusan Romawi.


“Bersihkanlah dahulu hatimu dari kotoran-kotoran duniawi, terangi ia dengan cahaya lentera ketaatan, barulah kau bisa mengenalnya dengan baik, dan akan melihat kemegahan istana sang khalifah kami yang berupa ketakwaan, dan kau pun bisa memasuki istana itu bersamanya,”


Utusan itu kemudian mendekati Umar, dan bertanya mengapa ia melakukan pekerjaan kotor ini, memandikan unta dan memberinya makan. Tidakkah hal tersebut bisa dilakukan oleh bawahannya?


Umar berkata: “Ini adalah tanggung jawabku, tuan. Unta ini adalah milik anak-anak yatim dan para janda, milik rakyatku yang sepenuhnya menjadi tanggungan dan tanggung jawabku. Aku takut jika kelak Allah akan menanyakan kepadaku sejauh mana aku memimpin rakyat-rakyatku, apakah mereka menderita dan merasa diterlantarkan dan tak diurus olehku ...”


Sang utusan pun kian terguncang. Ia melihat sosok negarawan ideal yang selama ini digambarkan dalam kitab Republik Plato itu benar-benar ada di hadapannya.  Tak lama kemudian, sang utusan Byzantium itu pun bersyahadat dan mengikrarkan keislamannya di hadapan Umar. (Fathoni Ahmad)