Sirah Nabawiyah

Kisah Rasulullah dengan Abul Ash, Menantunya yang Non-Muslim (Bagian I)

Rab, 2 Januari 2019 | 06:30 WIB

Dialah Amr bin Al-Ash bin Rabi’ atau biasa dikenal Abul Ash bin Rabi’. Suami dari putri tertua Rasulullah, Sayyidah Zainab. Abul Ash merupakan seorang bangsawan Quraish. Ia memiliki nasab dan status sosial yang baik dan terhormat. Sebetulnya, Abu Ash masih kerabat dengan Rasulullah. Dia adalah anak dari Halah binti Khuwailid, saudara perempuan dari istri Rasulullah, Sayyidah Khadijah binti Khuwailid.

Abul Ash juga seorang dengan tampang yang rupawan dan harta yang bergelimangan. Dia ahli dalam dunia perdagangan. Ia berdagang ke luar Makkah pada musim dingin dan musim panas. Kafilahnya mencapai 200 orang dan 100 ekor unta. Semua dagangan yang dibawanya selalu habis terjual dan banyak laba yang didapatkannya. 

Abul Ash dan Sayyidah Zainab menikah sebelum Rasulullah diangkat menjadi seorang nabi dan rasul. Keduanya saling mencintai. Setelah Rasulullah menerima risalah kenabian, Sayyidah Zainab menyatakan diri untuk memeluk Islam. Sementara Abul Ash tidak. Merujuk buku Bilik-bilik Cinta Muhammad: Kisah Sehari-hari Rumah Tangga Nabi (Nizar Abazah, 2018), Abul Ash masih setia dengan agama lamanya, menyembah pagan. 

Meski demikian, kehidupan keduanya masih berjalan baik-baik saja karena pada saat itu belum ada larangan Muslim menikah dengan non-Muslim. Sayyidah Zainab selalu berdoa agar suaminya itu mendapatkan hidayah dari Allah untuk masuk Islam. Hidayah yang diiinginkan Sayyidah Zainab itu tak kunjung datang, butuh proses dan waktu yang panjang.

Sayyidah Zainab masih tinggal di Makkah ketika Rasulullah dan umat Islam hijrah ke Madinah. Dia masih menjaga dan merawat suaminya dengan penuh cinta. Begitu pun dengan Abul Ash. Bahkan, Abul Ash juga tidak pernah mengusik dan mengganggu keislaman istrinya. Dia baik-baik saja dengan hal itu.

Saat Perang Badar meletus, Abul Ash berada di barisan kafir Quraisy Makkah. Keadaan ini membuat Sayyidah Zainab dilema. Di satu sisi, ia mengkhawatirkan ayahandanya, Rasulullah. Di sisi lain, ia cemas apabila terjadi suatu hal yang buruk terhadap suaminya, Abul Ash.  

Singkat cerita, pasukan kafir Quraisy kalah dan Abul Ash menjadi salah satu tawanan perang umat Islam. Sebagaimana kebijakan yang diterapkan kepada para tawanan lainnya, Abu Ash akan dibebaskan manakala kerabatnya di Makkah memberikan uang tebusan. 

Kabar itu sampai di telinga Sayyidah Zainab. Seketika itu juga, Sayyidah Zainab mengutus saudara Abul Ash untuk berangkat ke Madinah –dengan membawa harta tebusan- untuk menjemput suaminya itu. Setelah sampai di Madinah, utusan Sayyidah Zainab itu langsung menemui Rasulullah dan menyerahkan harta tebusan dari Sayyidah Zainab.

Rasulullah langsung menitikan air mata ketika melihat harta tebusan itu. Bagaimana tidak, harta tebusan yang diberikan Sayyidah Zainab untuk membebaskan Abul Ash itu adalah kalung yang dulu dipakai  Sayyidah Khadijah. Kalung itu kemudian dihadiahkan Sayyidah Khadijah ketika Sayyidah Zainab menikah dengan Abul Ash. 

Baca juga:Kisah Rasulullah dengan Abul Ash, Menantunya yang Non-Muslim (Bagian II-Habis)

Setelah melihat kalung itu, Rasulullah teringat dengan kenangan-kenangannya bersama istri tercinta, Sayyidah Khadijah. Keadaan ini membuat Rasulullah sulit; tetap menerima harta tebusan atau mengembalikannya. Rasulullah sendiri condong untuk mengembalikan Abul Ash dan tebusan itu kepada Sayyidah Zainab. Akan tetapi, Rasulullah tidak semena-mena memutuskan hal itu. Ia kemudian bermusyawarah dengan para sahabatnya apakah menerima atau menolak harta tebusan untuk Abul Ash itu. 

Para sahabat yang mengerti keadaan Rasulullah berpendapat bahwa Abul Ash dibebaskan tanpa uang tebusan. Namun ada syarat, yaitu mengizinkan Sayyidah Zainab untuk hijrah ke Madinah. Abul Ash menyanggupi hal itu dengan berat hati karena dia masih sangat mencintai istrinya itu. 

Kejadian usai Perang Badar itu rupanya belum membuat Abul Ash mendapatkan hidayah. Setelah Abul Ash hidup beberapa hari di Makkah –usai ia dibebaskan Rasulullah- bersama Sayyidah Zainab, turun wahyu bahwa Muslim dilarang menikah dengan orang musyrik. Rasulullah pun meminta Abul Ash untuk menceraikan anaknya. 

Abul Ash juga menunaikan janjinya, yaitu membiarkan –bahkan mengantarkan- Sayyidah Zainab untuk berhijrah ke Madinah. Setelah persiapan keberangkatan selesai, Sayyidah Zainab yang ditemani adik iparnya, Kinanah bin Rabi’, berangkat ke Madinah dengan menaiki unta yang sudah dilengkapi dengan ‘haudaj’. Semacam kubah yang dirancang sedemikian rupa untuk melindungi dari sengatan matahari dan hawa panas. 

Namun sayang, ketika sampai di daerah yang bernama Dzy Thuwa mereka dicegat dan diganggu oleh seorang kafir Quraisy, Habbar bin al-Azwad bin al-Muthalib. Sebagaimana diceritakan buku Membaca Sirah Nabi Muhammad dalam Sorotan Al-Qur’an dan Hadits-hadits Shahih (M Quraish Shihab, 2018), Habbar menakut-nakuti Sayyidah Zainab dengan mengacung-ngacungkan panahnya. Kinanah bin Rabi’ yang ditugaskan untuk menemani dan menjaga Sayyidah menghunuskan anak panahnya. Siap untuk menyerang Habbar. 

Kejadian itu membuat Sayyidah Zainab terjatuh dari untanya sehingga membuatnya keguguran. Pada saat itu, Sayyidah Zainah tengah mengandung anak Abul Ash.  

Namun tiba-tiba Abu Sufyan datang. Ia berusaha untuk menengahi agar tidak terjadi pertumpahan darah. Abu Sufyan juga mengusulkan agar Sayyidah Zainah dan Kinanah putar balik ke Makkah dan pergi lagi ke Madinah pada malam hari agar tidak diketahui orang. Kinanah dan Sayyidah Zainab setuju dengan usul Abu Sufyan itu. Mereka mengadakan perjalanan ke Madinah lagi pada malam hari.

Sementara itu, Rasulullah mengutus seseorang dari Anshar dan Zaid bin Haritsah, untuk menjemput Sayyidah Zainab. Dalam buku Sirah Nabawiyah (Syekh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, 2012), sebagaimana perintah Rasulullah mereka menunggu Sayyidah Zainab di perkampungan Ya’juj. Selang beberapa waktu, Sayyidah Zainab sampai di perkampungan Ya’juj dan utusan Rasulullah itu langsung membawanya ke Madinah. (A Muchlishon Rochmat)

Bersambung....