Sirah Nabawiyah

Mengenal Sayyid Idris I: Pendiri Dinasti Islam Pertama di Maroko

Sabtu, 2 November 2024 | 08:00 WIB

Mengenal Sayyid Idris I: Pendiri Dinasti Islam Pertama di Maroko

Ilustrasi seseorang sedang menyusuri padang pasir. (Foto: NU Online)

Sayyid Idris bin Abdullah tiba di bumi Maghrib pada tahun 172 H, sebuah perjalanan panjang yang mengantarkannya jauh dari tanah kelahiran dan membawa harapan yang telah lama dirajut. Berasal dari garis keturunan yang mulia, Idris adalah cicit dari Rasulullah, lahir dari jalur Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Nabi Muhammad. Garis ini tidak hanya memberinya darah yang agung, tetapi juga kepercayaan diri dan martabat yang memancar alami.

 

Namun, status sebagai keturunan Nabi justru menempatkannya dalam bahaya, terutama di masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah yang memandang garis keturunan ini sebagai ancaman yang harus dipadamkan. Pengejaran Abbasiyah yang kejam terhadap keluarga Sayyidina Ali bin Abi Thalib membuat Sayyid Idris hidup dalam ancaman konstan.

 

Peristiwa kelam terjadi pada tahun 169 H di sebuah tempat bernama Fakhkh, dekat Makkah. Saat itu, banyak dari keturunan Sayyidina Ali yang bangkit menentang kekuasaan Abbasiyah. Namun, pemberontakan ini dengan cepat dipadamkan, dan keluarga Nabi yang terlibat dalam peristiwa itu dibantai tanpa ampun. Dari sedikit yang berhasil lolos, Sayyid Idris adalah salah satunya.

 

Dengan luka mendalam dan tekad untuk bertahan hidup, ia menempuh perjalanan panjang melintasi padang pasir dan pegunungan hingga tiba di Afrika Utara, wilayah yang pada saat itu masih jauh dari jangkauan pusat kekhalifahan Abbasiyah. Ia tiba di bumi Maroko sebagai seorang pengungsi yang terluka tetapi juga sebagai seorang pemimpin yang membawa warisan besar.

 

Sebagaimana dicatat oleh Khairuddin az-Zirikli, seorang sejarawan terkemuka kontemporer berkebangsaan Lebanon, ia bernama lengkap Sayyid Idris bin Abdullah bin Hasan al-Mutsanna bin Hasan bin Ali, suami Sayyidah Fatimah az-Zahra binti Rasulullah saw,

 

هُوَ إِدْرِيْسُ بْنُ عَبْدِ اللهِ بْنِ الْحَسَنِ الْمُثَنَّى ابْنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِي بْنِ أَبِي طَالِبٍ

 

Artinya, “Ia Bernama lengkap Idris bin Abdullah bin Hasan al-Mutsanna ibn Hasan bin Ali bin Abi Thalib.” (Khairuddin az-Zirikli, al-A’lam, [Darul Basyair al-Islamiah: tt], jilid I, halaman 279).

 

Saat pertama kali menginjakkan kaki di tanah Maghrib pada tahun 172 H, Idris bertemu dengan suku-suku Berber yang menghuni wilayah ini. Penduduk setempat, walaupun sudah mengenal Islam, masih hidup dengan tradisi dan adat yang kuat, menjadikan mereka kelompok yang memiliki identitas budaya tersendiri.

 

Kendati demikian, kedatangan Idris disambut hangat dan baik oleh masyarakat setempat. Ia diterima bukan hanya sebagai tamu, tetapi sebagai pemimpin yang dinanti. Kehadirannya memancarkan kharisma dan wibawa yang menenangkan, dan para pemimpin suku Berber ini segera melihat kualitasnya. Di dalam sosok Idris, mereka menemukan sosok pribadi seorang pemimpin yang tidak hanya cakap dalam ilmu agama tetapi juga penuh ketulusan dan keberanian.

 

Idris memutuskan untuk menetap di sebuah kota bernama Walili atau Walilah, yang sekarang juga dikenal Volubilis, sebuah daerah yang dikelilingi oleh bukit-bukit hijau, aliran sungai yang tenang, dan tanah yang subur, berada di dekat kota Moulay Idriss Zerhoun di wilayah utara Maroko, berdekatan dengan kota Meknes. Walili menjadi saksi awal dari perjuangan dan mimpi-mimpi besarnya. Di tanah yang indah ini, ia mendirikan pusat pemerintahan yang sederhana namun penuh dengan cita-cita untuk membangun sebuah negeri yang berdaulat dan penuh keadilan,

 

وَنَزَلَ بِمَدِيْنَةِ وَلِيْلِيْ، عَلىَ مُقَرَّبَةٍ مِنْ مَكْنَاس. هُوَ مُؤَسِّسُ دَوْلَةِ الْاِدَارسَةِ فِي الْمَغْرِبِ

 

Artinya, “Ia menetap di kota Walili, sebuah kota yang dekat dengan Meknes. Dia adalah pendiri Dinasti al-Idrisiah di Maroko.” (Az-Zirikli, al-A’lam..., I/280).

 

Di kota Walili, ia menyadari betul bahwa masyarakat di sekitarnya perlu bersatu untuk menghadapi tantangan dari luar. Dengan penuh kesabaran, ia mulai merangkul setiap suku dan kelompok yang ada, memperkuat hubungan antar-komunitas, dan menjadikan Islam sebagai landasan moral dan etika yang menyatukan antar kelompok saat itu.

 

Sebagai seorang pemimpin, ia memiliki pendekatan yang sangat baik dengan rakyatnya. Ia tidak memimpin dari atas kursi kekuasaan, tetapi juga terlibat langsung dalam kehidupan masyarakat. Ia mendengarkan keluhan, mengunjungi desa-desa, dan memahami masalah yang dihadapi oleh rakyatnya. Cara kepemimpinan ini membuat dirinya sosok yang dicintai dan dihormati oleh semua masyarakat saat itu.

 

Sayyid Idris menunjukkan bahwa kekuasaan bukanlah sekadar alat untuk menguasai, tetapi tanggung jawab untuk melayani dan membimbing. Kepemimpinannya berhasil mempersatukan suku-suku Berber yang sebelumnya sering berselisih. Dengan bijaksana, ia menanamkan ajaran Islam yang tidak menghapus tradisi lokal, tetapi memperkaya dan membimbingnya agar selaras dengan nilai-nilai ajaran Islam.

 

Ia juga mengajarkan Islam dalam bentuknya yang sederhana dan penuh makna. Dalam khutbah dan pertemuan-pertemuan yang dilaksanakan, ia menyampaikan ajaran Islam sebagai agama yang mengedepankan kedamaian, keadilan, dan persaudaraan. Kehidupan masyarakat di bawah kepemimpinannya menjadi lebih teratur dan damai, dan ajaran-ajarannya membuat banyak orang memahami Islam dengan cara yang lebih mendalam. Di bawah bimbingannya, masyarakat Berber menemukan harmoni antara tradisi dan agama, sesuatu yang memberikan warna unik bagi Islam di tanah Maroko.

 

Namun, kejayaan Dinasti Al-Idrisiah yang dibangun oleh Sayyid Idris dan pengaruhnya di wilayah Maghrib tidak lepas dari perhatian Dinasti Abbasiyah. Baghdad, pusat kekuasaan Abbasiyah saat itu, merasa bahwa pengaruh Sayyid Idris bisa menjadi ancaman bagi kekuasaan mereka di Afrika Utara. Para penguasa Abbasiyah menyadari bahwa kekuatan politik yang tumbuh di Maghrib, dipimpin oleh seorang keturunan Nabi, dapat menggoyahkan kekuatan mereka di kawasan tersebut.

 

Oleh sebab itu, tepat pada tahun 175 H, mereka mengutus seorang mata-mata yang menyamar sebagai tabib untuk mendekati dan menyelidiki Sayyid Idris. Dalam suatu pertemuan, mata-mata ini berhasil meracuninya. Ia kemudian meninggal dunia setelah perjuangan yang singkat namun berarti, sehingga ia meninggalkan duka yang mendalam bagi rakyatnya. (Ismail Mursi, as-Sirah al-Malikiah Mulukud Daulah al-Abbasiah, [Maktabah al-Arabiah], halaman 207).

 

Kepergian Sayyid Idris tidak hanya menjadi kehilangan bagi masyarakat yang mencintainya, tetapi juga meninggalkan jejak sejarah yang akan dikenang selama berabad-abad. Meskipun ia hanya sempat memimpin dalam waktu yang relatif singkat, namun pengaruhnya telah merasuk dalam jiwa rakyat Maroko.

 

Sebagai pemimpin pertama yang mendirikan pemerintahan Islam di Maroko, Sayyid Idris telah menanamkan semangat Islam dan kesadaran akan pentingnya persatuan dan kedaulatan. Ia telah menciptakan pondasi yang kukuh bagi berdirinya Dinasti Idrisiyah, dinasti pertama yang berkuasa di Maroko dan menjadi simbol independensi wilayah ini dari pengaruh luar.

 

Warisan Idris diteruskan oleh putranya, Idris II, yang melanjutkan mimpi besar sang ayah dengan mendirikan kota Fez (Fes). Fez kelak menjadi pusat peradaban dan ilmu pengetahuan di Afrika Utara, sebuah kota yang di dalamnya mengalir semangat dan cita-cita Sayyid Idris I. Dinasti Idrisiyah yang dimulai oleh Idris I mungkin hanya bertahan selama beberapa generasi, namun pengaruhnya terhadap identitas Islam Maroko tidak pernah pudar. Hingga hari ini, Maroko tetap memandang Idris sebagai bapak bangsa yang pertama kali membawa Islam dalam bentuknya yang damai dan harmonis dengan budaya lokal.

 

Kisahnya adalah kisah tentang ketabahan, pengorbanan, dan tekad seorang pemimpin yang mengabdikan hidupnya untuk mewujudkan sebuah visi besar. Sayyid Idris bin Abdullah mungkin telah tiada, namun jejak langkahnya tetap hidup dalam sejarah Maroko. Ia datang sebagai seorang pengungsi, namun pergi sebagai seorang pemimpin yang meninggalkan warisan besar. Melalui keteladanan, kasih sayang, dan keadilannya, ia membuktikan bahwa seorang pemimpin sejati bukanlah mereka yang mengandalkan kekuatan fisik atau senjata, melainkan mereka yang mampu menaklukkan hati rakyat dengan ketulusan dan visi yang besar.

 

Sayyid Idris telah menyelesaikan perjalanannya, namun benih yang ia tanam terus tumbuh, membentuk peradaban dan melahirkan generasi-generasi baru yang mengenang dan menghormati namanya. Sejarah mencatatnya sebagai peletak dasar Islam di Maroko, seorang pemimpin yang mengabdi tanpa pamrih, dan seorang pelindung yang telah mengorbankan dirinya demi masa depan tanah Maghrib. Warisannya akan terus hidup, membawa inspirasi bagi siapa pun yang ingin mengabdikan hidupnya demi kebenaran dan keadilan. Wallahu a’lam.

 

Sunnatullah, Peserta program Kepenulisan Turots Ilmiah (KTI) Maroko, Beasiswa non-Degree Dana Abadi Pesantren Kementrian Agama (Kemenag) berkolaborasi dengan LPDP dan Lembaga Pendidikan di Maroko selama tiga bulan, 2024.