Sirah Nabawiyah

Montgomery: Afirmasi Kenabian Muhammad dan Kritik Pengaruh Kristen dan Yahudi terhadap Ajaran Islam

Senin, 23 September 2024 | 12:00 WIB

Montgomery: Afirmasi Kenabian Muhammad dan Kritik Pengaruh Kristen dan Yahudi terhadap Ajaran Islam

Ilustrasi William Montgomery Watt. Sumber: NU Online

Ketokohan Nabi Muhammad SAW tidak hanya menarik perhatian umat Islam saja, tetapi juga umat-umat lain yang tidak menjadikan Islam sebagai agama mereka. Kajian seputar kehidupannya tak pernah berhenti kendati Nabi telah wafat hampir satu setengah milenium yang lalu. Salah satu golongan non-muslim yang getol mengkaji sosok Nabi Muhammad adalah akademisi Barat yang kerap disebut orientalis.


Tidak dipungkiri bahwa banyak kajian mengenai Nabi Muhammad yang dipelopori oleh orientalis yang bernada sumbang. Namun fakta ini tidak menggoyahkan fakta lain bahwa beberapa orientalis menilai positif tokoh Nabi Muhammad.


Salah satu orientalis Barat yang condong membela Nabi adalah William Montgomery Watt (1909-2006). Dosen di Universitas Edinburgh sekaligus uskup Gereja Anglikan berkebangsaan Skotlandia ini mengenal Islam lewat seorang imigran muslim asal India. Ia kemudian menekuni kajian Islam di bawah bimbingan Richard Bell. Di antara karya-karya Montgomery yang dikenal luas adalah Muhammad at Mecca, Muhammad at Madina, dan Muhammad: Prophet and Stateman. 


Ia tak sungkan mengafirmasi kenabian Muhammad yang banyak disangsikan oleh para orientalis. Ia mengakui bahwa Muhammad mendapat wahyu pertama saat ia tengah mengasingkan diri untuk beribadah dan bermeditasi di Gua Hira’. Yang menjadi catatan adalah Montgomery mengklaim bahwa pada awalnya Muhammad mengira bahwa yang mendatanginya adalah Tuhan sendiri. Setelah ingat akan ajaran Yahudi bahwa Tuhan tak bisa terlihat, Muhammad baru sadar bahwa yang mendatanginya adalah Malaikat Jibril (William Montgomery Watt, Muhammad: Prophet and Statesman, [Oxford: Oxford University Press, 1961], hal. 11-15).


Profesor tamu di sejumlah universitas seperti Universitas Toronto dan Universitas Georgetown ini juga menampik beberapa tuduhan miring yang mengikis kemaksuman Nabi. Banyak orientalis yang menganggap Nabi menderita epilepsi sehingga berhalusinasi mendapatkan wahyu dari Tuhan. 


Montgomery berpendapat bahwa jika benar Muhammad terkena epilepsi, tentu ia akan menjadi penyintas kecacatan fisik ataupun mental sebagai efek sampingnya. Pada kenyataannya, tidak ada sumber yang mengatakan bahwa Muhammad memiliki keterbatasan mental maupun fisik seumur hidupnya (Watt, 1961: 19).


Ia juga menepis isu bahwa motif pernikahan Nabi dengan Sayyidah Khadijah adalah motif ekonomi. Seperti yang kita tahu, Muhammad muda adalah seorang yatim-piatu yang miskin namun punya integritas dan kemampuan berdagang yang tinggi. Banyak orientalis menganggap bahwa Nabi memanfaatkan dua hal ini untuk mendapatkan cinta bosnya sendiri, Khadijah, saudagar kaya yang menempati strata tinggi di kalangan masyarakat Makkah.


Montgomery mengatakan bahwa jika memang motif Nabi mempersunting Khadijah adalah harta, mengapa Nabi tak langsung menikah dengan wanita lain selepas wafatnya Khadijah? Bahkan di beberapa riwayat dijelaskan bahwa satu-satunya istri Nabi yang dinikahi dalam keadaan perawan, ‘Aisyah RA, sering cemburu kepada Khadijah RA, kendati istri pertama Nabi itu tidak pernah ditemuinya sama sekali.


Hal ini berkaitan dengan Nabi yang sering mengucapkan kebaikan Khadijah RA di hadapan putri Abu Bakar RA itu. Fenomena ini menunjukkan bahwa Nabi benar-benar mencintai Khadijah dengan tulus dan mendalam.


Banyak sumber juga mengatakan bahwa Nabi benar-benar mendapatkan ketenangan batin ketika beristri Khadijah. Ia menguatkan Sang Putra Abdullah kala dakwahnya mendapat banyak rintangan. Ia juga yang menjembatani pertemuan Muhammad dengan Waraqah bin Naufal, sepupu Khadijah yang dikenal mempelajari Injil. Waraqah pula yang memberi informasi bahwa Muhammad adalah seorang Nabi yang telah menerima wahyu (Watt, 1961: 10).


Namun, sebagaimana orientalis lain, Montgomery punya beberapa kritik mengenai fragmen-fragmen keislaman. Ia berpendapat bahwa banyak ritual dan budaya pemeluk Islam berasal dari tradisi-tradisi lisan Yahudi dan Kristen.


Ia menjelaskan bahwa klaim bahwa Muhammad adalah seorang buta huruf bisa menyelamatkannya dari tuduhan bahwa ia telah membaca Injil dan Talmud. Namun, hal ini tak bisa menyelamatkannya dari tuduhan bahwa Muhammad telah mendapat informasi-informasi tentang Kristen dan Yahudi dari pemeluk-pemeluknya yang tersebar di Jazirah Arab. 


Montgomery mengklaim bahwa bangsa Yahudi yang banyak tinggal di sekitar Madinah bisa saja telah memberi informasi tentang ajaran-ajaran Yahudi kepada Nabi Muhammad mengingat Sang Nabi menetap kurang lebih sepuluh tahun di sana.


Status Makkah sebagai kota yang ramai akan perniagaan juga menghadirkan dugaan bahwa banyak orang-orang Yaman yang beragama Kristen banyak datang ke sana, baik sebagai budak ataupun pedagang. Dalam situasi tersebut Montgomery berpendapat bahwa interaksi Nabi Muhammad dan penganut-penganut Kristen terjadi.


Profesi Nabi Muhammad sebagai pedagang yang diceritakan telah berniaga ke pelbagai negeri juga menjadi celah bagi tuduhan Montgomery. Kendati Nabi Muhammad buta aksara, ia tentu telah banyak melihat tradisi-tradisi para pemeluk Kristen maupun Yahudi di daerah-daerah yang disinggahinya. Di sinilah interaksi antara Muhammad ‘Sang Calon Nabi’ dan tradisi Kristen-Yahudi terjalin. (Watt, 1961: 40).


Lebih ‘jauh’ lagi, Montgomery juga mengklaim bahwa peristiwa bertemunya Muhammad kecil dengan Pendeta Bukhaira adalah legenda belaka. Cerita ini berakar dari dongeng-dongeng kuno yang tidak bisa dipertanggungjawabkan validitasnya. Cerita ini juga menyebar karena framing bahwa Muhammad adalah sosok magis yang telah bergelimang keajaiban, bahkan sejak ia belum diangkat menjadi nabi (Watt, 1961: 2-3). 


Kendati bersikap skeptis terhadap autentisitas ajaran Islam, namun secara umum, Montgomery menjadi salah satu orientalis terbesar sepanjang masa yang mengafirmarsi kenabian Muhammad. Ia juga memandang secara luas tindak-tanduk Nabi Muhammad, sehingga mendapat hasil pengamatan yang jernih dan non-bias terhadap kebijakan-kebijakan Nabi yang sering kali mendapat penilaian jelek dari orientalis-orientalis kebanyakan.

 


Rifqi Iman Salafi, alumnus Sastra Inggris UIN Jakarta, Pesantren Al-Hikmah 2 Brebes, dan Pesantren Darus-Sunnah Ciputat