Sirah Nabawiyah

Muhammad Kecil Sang Yatim Piatu

Sen, 24 Mei 2021 | 12:30 WIB

Muhammad Kecil Sang Yatim Piatu

Ilustrasi Nabi Muhammad SAW. (Foto: NU Online)

Semasa kecil, Nabi Muhammad saw sudah merasakan ditinggal orang-orang tercinta. Sang ayah pergi saat masih di kandungan. Disusul ibunda tercinta, lalu sang kakek, dan berikutnya sang paman. Tapi, di balik semua itu memiliki hikmah dan pelajaran besar.


Nabi Muhammad lahir dari ibunda bernama Siti Aminah binti Wahab. Sementara ayah beliau bernama Abdullah bin Abdul Muthalib. Ibunda Nabi, Siti Aminah dan ayahanda, Abdullah, keduanya masih memiliki ikatan kekerabatan dengan bertemu jalur nasab di Abdu Manaf.


Ketika usia Nabi Muhammad Saw. masih enam bulan dalam kandungan ibunda, sang ayah tercinta dipanggil oleh Allah Swt. Saat Aminah dan jabang bayi dalam kandungan seharusnya mendapat perhatian dan kasih sayang dari Abdulah tercinta, sang suami justru pergi untuk selamanya. Begitulah, sebelum Muhammad Saw. lahirpun sudah ditinggal sang ayah mulia. Muhammad sudah yatim sejak dalam kandungan.


Rasulullah Saw. dilahirkan di tengah kabilah besar bernama Bani Hasyim, di kota Mekah pada hari Senin, tanggal 9 Rabi’ul Awal. Menurut para pakar, kelahiran Rasulullah Saw. bertepatan dengan tanggal 20 atau 22 April  tahun 571 M, sebagaimana hasil analisa ulama besar bernama Muhammad bin Sulaliman al-Manshurfuri dan seorang astrolog (ahli ilmu falak) bernama Mahmud Pasha.


“Semesta bersinar menyambut kelahiran Muhammad sang mulia. Kegembiraan menyelimuti seantero jagat raya. Burung-burung berkicau ria menyambut Baginda. Tiada yang menandingi cahaya terangnya.” Begitulah penyair menggambarkan kelahiran Muhammad Saw.


Sebagai tanda kerisalahan beliau sebelum diangkat menjadi Nabi, kelahiran Muhammad Saw. ditandai dengan peristiwa-peristiwa luar biasa, bahkan terbilang ‘di luar raisonal’. 


Dalam beberapa kitab Sirah Nabawi (sejarah Nabi) seperti Zad al-Ma’ad karya Ibnu Qayyim, Raudhatul Unf karya Ibnu Hisyam, Sirah Ibnu Hiysam karya Ibnu Hisyam, Rahiq al-Makhtum karya Safyurrahman al-Mubarakfuri, dan beberapa kitab otoritatif lainnya, dijelaskan bahwa pancaran cahaya terang benderang muncul bersamaan dengan lahirnya Muhammad dari rahim Siti Aminah. Saking terangnya, sampai-sampai sinarnya sampai ke negeri Syam.


Tidak hanya munculnya sinar terang, bertepatan dengan kelahiran calon Nabi akhir zaman itu juga ditandai dengan runtuhnya empat belas beranda istana kekaisaran Persia, padamnya api yang biasa disembah kaum Majusi, dan ambruknya gereja-gereja di sekitar danau Sawah setelah sebelumnya airnya kering.


Setelah lahirnya putra mulia, sang ibunda segera mengutus orang menemui Abdul Muthalib, untuk mengabarkan kabar gembira ini kepada sang kakek. Mendengar kabar menggembirakan ini, sang kakek segera menemui Aminah dan menggendong cucunya ke Ka’bah untuk berdoa dan bersyukur kepada Allah Swt. atas kelahiran cucu laki-lakinya.


Aminah adalah istri yang setia terhadap suaminya. Bahkan setelah sang suami wafat pun masih menziarahi makamnya yang berada di luar kota, kota Yatsrib, sebelum namanya diganti menjadi Madinah. Sebagai wujud kesetiaannya, Aminah rela menempuh perjalanan jarak 500 km untuk berziarah ke makam Abdullah. Ia ditemani Muhammad kecil yang masih berusia enam tahun dan seorang pembantu bernama Ummu Ayman. 


Sesampainya di Yatsrib, Aminah menetap di sana selama satu bulan. Namun naas, saat  perjalanan pulang menuju kota Mekah, Aminah sakit di tengah perjalanan, hingga akhirnya meghembuskan nafas terakhir di daerah bernama Abwa’ yang letaknya di antara Mekah dan Yatsrib (Madinah). Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Muhammad yang sudah ditinggal sang ayah sejak di kandungan, kini di usianya yang masih sangat belia juga harus rela melepas kepergian ibunda.


Muhammad dibawa pulang oleh sang kakek, Abdul Muthalib. Setelah kedua orang tua Muhammad tiada, ia diasuh oleh sang kakek tercinta. Abdul Muthalib memahami betul, semua ini terlalu berat untuk anak sekecil Muhammad. Beban duka yang dialaminya teramat mendalam. Dengan penuh kasih sayang sang kakek merawat Muhammad kecil. Bahkan, kasih sayangnya melebihi kasih sayang yang dicurahkan untuk anak-anaknya sendiri. 


Dikisahkan bahwa Abdul Muthalib memiliki singgasana khusus berupa permadani yang terletak di bawah naungan Ka’bah. Sebagai rasa hormat pada Abdul Muthalib, tak ada satu pun dari anak-anaknya yang berani menduduki tempat sang ayah. 


Suatu ketika Muhammad menduduki tempat itu. Melihat hal ini para pamannya mencegahnya. Berani-beraninya menempati singgasana khusus itu. Tapi bukan Muhammad yang kena marah, justru paman-paman Nabi tadi yang mendapat teguran dari Abdul Muthalib. “Jangan kau ganggu cucuku! Demi Allah! Sesungguhnya suatu saat dia akan menjadi orang besar! Tegas sang kakek pada anak-anaknya.


Abdul Muthalib pun duduk bersama Muhammad di tempat itu sambil mengusap-usap punggung cucunya dengan tangan penuh kelembutan dan kasih sayang. Mungkin sang kakek ingin mengatakan bahwa ia tidak akan pernah memarahi cucu kesayangannya. Ia justru merasa senang dengan apa yang dilakukan Muhammad, duduk di tempat kebesaran miliknya.


Namun sayang, kasih sayang sang kakek juga tidak berlangsung lama. Baru dua tahun Muhammad berada dalam asuhannya, sang kakek dipanggil oleh Allah Swt. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Saat itu usia Muhammad sudah menginjak delapan tahun.


Sempurnalah sudah kesedihan Muhammad kecil. Setelah sang ayah sudah pergi saat masih dalam kandungan, disusul ibunda tercinta saat baru usia enam tahun, dan kini, kakek yang teramat menyayanginya juga harus ikut pergi. Selepas kepergian kakeknya, Muhammad diasuh oleh pamannya sendiri, Abu Thalib, sampai berusia di atas empat puluh tahun.


Hikmah dan Pelajaran


a) Membentuk sikap kasih sayang Rasulullah


Sejak kecil, bahkan saat masih dalam kandungan ibunda, satu persatu orang-orang tercinta Rasulullah Saw. pergi meninggalkannya. Saat Muhammad masih terlalu kecil untuk memahami semua ini. Saat tangan dan kakinya masih terlalu mungil untuk memikul beban duka yang teramat berat ini. Apa hikmah di balik semua ini?


Rasulullah Saw. adalah pembawa risalah Tuhan, nabi akhir zaman dan sosok yang diamanahi untuk menyebarkan ajaran suci agama Islam. Sebagai seorang pemimpin kelak, Allah Swt. sudah mengkadernya sejak dini, bahkan saat masih dalam kandungan ibunda. Dengan beban berat yang dialaminya sejak kecil, tentu akan membentuk karakter kasih sayang Rasulullah saw. yang sangat mendalam.


Beliau sudah susah sejak kecil, agar kelak memimpin umat bisa merasakan sakitnya umat yang kesusahan, ikut merasakan sakitnya lapar jika ada umat yang kelaparan, ikut merasa gundah jika ada umatnya yang masih belum tercukupi. Sehingga beliau bisa berbuat adil seadil-adilnya terhadap umat yang dipimpinnya. 


Bukankah pemimpin yang baik adalah pemimpin yang ikut merasa menggigil jika ada rakyatnya yang kedinginan. Ikut merasa perih jika ada rakyatnya yang seharian belum merasakan sesuap nasi. Ikut berlinang air mata jika ada rakyatnya mendapat musibah. Semoga kita semua dijadikan pemimpin yang adil terhadap rakyat-rakyatnya. Paling tidak, pemimpin dalam rumah tangga.


b) Hanya berharap kepada Allah swt


Di samping untuk membentuk jiwa welas asih Nabi Muhammad Saw, kepergian orang-orang tersayang juga sebuah didikan langsung dari Allah Swt. agar Muhammad tidak terlalu berharap pada manusia. Agar Muhammad selalu dekat dengan Allah Swt. dan hanya kepada-Nya-lah dia meminta dan berlindung dalam segala situasi dan kondisi, terlebih jika kelak cobaan demi cobaan menimpa saat mengemban misi risalahnya. 


Pendek kata, Muhammad Saw. akan menghadapi badai cobaan yang sangat besar, kekuatan dahsyat dari orang-orang yang memusuhinya, bahkan mengancam keselamatan nyawanya. Tapi, dengan kekuatan Allah Swt, semua itu tidak berarti apa-apa. Sebesar apapun masalah, sebesar  apapun badai menerpa, jika Allah memudahkan, tak ada yang perlu ditakuti adanya.


Muhamad Abror, Pengasuh Madrasah Baca Kitab, alumnus Pondok Pesantren KHAS Kempek Cirebon